Diari touring KGC di Bantaeng bagian 2: Hangat persahabatan di ketinggian 1500 mdpl

  • Whatsapp
Hangat persahabatan di ketinggain 1 500 mdpl (dok: K. Azis)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Sabtu, 26 September 2020. Waktu menunjuk pukul 14.00 Wita. Lantaran peta google keliru, Erik yang sedianya menjemput di Rujab Wali Kota Makassar kesasar ke Sungai Saddang. Saya berdiri menunggu sekitar 20 menit sebelum adik bungsu ‘Acil’ Tamsil, Klaner 99 ini datang.

“Salah shareloc-ta tadi, titiknya di Sungai Saddang,” kata Erik sebelum membuka pintu belakang mobilnya. Seli Pacific saya naikkan.

Read More

Erik baru saja selesai menghabiskan malam minggu dengan teman-teman kuliahnya di UNM sementara saya baru saja menuntaskan Rapat kerja Pengurus Pusat IKA Smansa Makassar periode 2020-2024.

“Supaya tidak kemalaman-ki,” jelas Acil yang meminta saya supaya dijemput oleh Erik.

“Saya kumpul sama teman-teman kuliah di Galesong Utara kak, ada villa-nya,” kata Erik, mahasiswa semester sembilan UNM Jurusan Administrasi Bisnis ini saat kami melintas di Poros Galesong – Takalar.

Siang itu, kami bergerak menuju Bantaeng, saya melongok ke bar indikator bensin, nampak penuh.

Adalah komunitas Klaners Gowes Community yang sedang menggelar gathering dan touring sepeda di Hutan Pinus Rombeng dan ke Permandian Eremeras. Gawe ini dilaksanakan setelah mereka sukses menggelar di Bira, Paputo Pare dan terakhir Bollangi. Ocis, Klaner 96 dan Herawaty, Klaner 98 yang jadi tuan rumah. Owners Algae Food Bantaeng ini yang berjibaku menyiapkan trip dan perkakas lapangan. Rombeng ada di ketinggian 1 500 mdpl menurut Mbah Google. 

Setahu saya, saat itu ada beberapa rombongan. Yang pertama Cahyadi dan Izzak bersama beberapa anggota keluarga, lalu ada Irham ‘Rappunk’ Rapy, Nukie, Accank, Kasmal, Chuba sekeluarga plus tuan rumah Ocis dan Hera.

Tiga orang memilih bersepeda dari Makassar – Takalar – Jeneponto – Bantaeng. Mereka Acil, Doger dan Edo. Gilak!  

Keriangan Edo dan anak-anak yang diceritakan itu (dok: K. Azis)

Bantaeng, 16.00 Wita. Sekitar pukul 4 sore kami sampai di Pantai Seruni Bantaeng setelah melewati jalan utama Takalar – Jeneponto. Pantai Bangkala, tambak garam dan pesisir Jeneponto nan khas jadi pemandangan.

Di Seruni – meski kami sempat salah jalan – sudah ada Boger serta keluarga plus beberapa peserta yang sudah menunggu. “Kami duluan ke Rombeng ya,” sambut Cahyadi di grup WA. Dia duluan bersama Izzak.

Di Pantai Seruni, saya merasa ada yang hilang. Auranya tidak seperti saat beberapa tahun silam. Apa karena pandemi ya? Atau karena musim kemarau?

Saya merasa Pantai Seruni tak lagi seru. Saya bisa rasakan ini saat selesai melaksanakan shalat ashar di kompleks itu.

Sekitar pukul 5 sore, kami berangkat ke Rombeng. Saya bareng Erik dan Acil. Jalur yang kami lalui adalah jalur tradisional atau jalur biasa. Dan dari sini, saya bisa menyaksi kan Kota Bantaeng di sisi selatan yang melandai, di kiri kanan jalan ada tebing, perkebunan jagung dan rumah warga yang nampak mewah dan memukau.

“Bagus-bagus rumah orang sini ya,” sayup-sayup saya dengar suara Acil di belakang.

Oh ya, rumah-rumah di jarak sekira 30 menit dari Kota Bantaeng ini memang nampak berbeda, elok dan moderen. Sekitar 30 menit sebelum sampai di Rombeng, saya disambut sunset yang memukau di sisi barat. Saya mengabadikan matahari yang tergelincir di bahu Lompobattang.

Sesekali saya membuang pandangan ke lansekap Kota Bantaeng di belakang arah perjalanan kami. Juga mengabadikan beberapa momen di tikungan dan pemandangan jelang senja di atas bukit.

Kurang lebih pukul 7 malam, kami sampai di Rombeng. Sekelompok anak muda mengarahkan kami untuk parkir di lapangan samping rumah.

“Jalannya rusak, mobil tak bisa lewat,” kata salah seorang dari mereka yang nampaknya kenal Erik. Mereka pula yang menjadi juru parkir dan meminta uang parkir sejak awal.

“Bayar memangmi,” kata seorang lainnya.

Saya bergerak turun ditemani Acil dan Erik yang membawa air galon.Jalan gelap. Air galon sempat jatuh, saya pun tergelincir. Tidak lama, Boger datang dengan mobil double cabin. Saya duduk di depan. Jarak sudah dekat ke lokasi tenda saat Boger datang. Di atas mobilnya terdapat beberapa unit sepeda.

Tiga puluh menit sebelum Rombeng (dok: K. Azis)
Dusambut sunset (dok: K. Azis)

Di padang hutan pinus Rombeng, Ocis dan istri bersama beberapa sanak keluarganya rupanya telah sibuk menyiapkan makanan dan minuman. Senang menyaksikan sate ayam, kuah shabu yang menyembulkan uap, lalu ada api unggun. Beberapa anak terlihat menikmati api unggun ini.

Rombeng, 19.00 Wita.

“Selamat datang senior,” tos Acis saat kami bersitatap.

Putra-putri Chuba ‘founder Klaners Gowes Community’ terlihat bersukacita dengan api unggun ini. Demikian pula Ruri dan Sofie, anak Boger. Mereka riang gembira di sekitar api unggun. “Mereka sejenak melupakan keriuhan Warkop 52 nih,” batinku.

Saya berbisik dalam hati, anak-anak ini sungguh bebas dan bahagia. Tak satupun saya dengar bentakan atau peringatan berlebih dari orang tuanya saat anaknya berkerumun dan berloncatan di tepi api.

Mereka sungguh merdeka. Ini berarti mereka, orang tuanya, paham persis bagaimana memberi rasa merdeka pada anak-anaknya. Nampaknya, gathering dan silaturahmi, berolahraga kayak gini jadi ‘modus’ mereka untuk melempangkan situasi ideal tersebut.

Suasana di ketinggain 1500 mdpl (dok: K. Azis)
Makan malam berlatar pinus dan tenda (dok: istimewa)

Ada peristiwa lucu saat Brieco Ayani, anak Chuba bertanya beberapa soal dalam bahasa Makassar dan melihat ke saya. Menurutnya ini pelajaran bahasa daerah yang harus dia jawab, jawaban difoto dan dikirim ke gurunya. Langsung dari Rombeng.

“Apa artinya appallu? Ammembeng? Angngangka’?” tanya Brieco yang memantik senyum kedua orang tuanya.

Hingga pukul 21.00 Wita semua peserta telah tiba. Terakhir tiba adalah Imran Lapong yang datang bersama istri dan ketiga anaknya.

Kami sempat khawatir sebab saat Imran bergerak dari Bantaeng, suasana semakin gelap dan rute Bantaeng – Rombeng bukanlah rute ecek-ecek, kabut dan jalan terjal berliku membuat kami khawatir.

Malam itu saya kebagian satu tenda. Ocis, rupanya sudah siapkan.

“Khusus untuk kita sudah ada kanda,” katanya sembari mempersiapkan bentangan kabel dan colokan untuk ngecas. “Ini luar biasa, hanya kita yang dapat pasokan listrik,” kata Chuba sembari melihat ke Ocis.

“Aih, ndak seru, kalau ada lampu,” goda yang lain.  Saya beringsut dari sisi Chuba dan mencas hape, powernya tersisa 20 persen.

Cie, anak tenda-tenda (dok: istimewa)

Tidak mudah tidur di tenda, apalagi di tengah keramaian kaum muda yang juga ada di area itu. Saya menghitung ada kurang lebiih 40 –an tenda di Rombeng malam itu. Ada yang sudah pasang hammock, ada pula yang sudah bernyanyi mesti suaranya dipelankan.

Menyaksikan Edo Maddusila dan anak-anak bermain, menyaksikan para peserta menikmati makanan sajian Hera yang pas banget karena ada kuah atau sup shabu, sate, plus daging lembut yang di-barbecuelive from the venue‘ oleh peserta rasanya jadi bonus atas ikhtiar perjalanan yang saya sebut perjalanan menuju makna persahabatan di ketinggian 1 500 mdpl selama kurang lebih 5 jam melata dari Makassar – Rombeng.

Lebih dari itu, bersilaturahmi dan salling mengingatkan di tengah pandemi – situasi yang serbadilematis ini – membuat kami semangat.

“Semoga kita semua sehat walafiat, niatnya adalah silaturahmi,” ini perbincangan saya dengan diri sendiri, sembari memandangi anak-anak KGC berinteraksi dari balik tenda. Dari layar Oppo, saya membalas sapaan istri yang juga sedari tadai bertanya lokasi.

“Di Rombeng-ma, koneksi tak bagus,” balasku.

Meski sempat lelap 1-2 jam, saya terbangun sebanyak empat kali karena dua alasan: hujan dan suara anak-anak muda pakaseno yang menyanyi hingga dinihari.

Selamat malam, Rombeng! (dok: istimewa)

“Minum-ki sarabba kanda, tambai susu,” kata Cece, anak Kelautan paling muda di antara kami yang masih terjaga di jarum jam pukul 3 dinihari. Saya lihat Cece sebagai penjaga malam itu, penjaga untuk tidak kurang 15 tenda yang kami pasang.

Saya mengambil dua biji ubi boreng, dingin tapi disiram air sarabba. Jadi hangat! Dari kejauhan anak-anak muda slenge’an saling sambut teriakan, sesekali menyanyi dengan suara yang – saya kira tak ikhlas karena perutnya keroncongan. Ha-ha-ha!

Saya sempat tertawa sendiri saat salah seorang dari mereka berteriak. “Oiii…tenda goyang.”

Rombeng, 03.00 Wita. Setelah itu saya lelap lagi, bermimpi ke Eremerasa dengan bersepeda, melata dari ketinggian 1 500 mdpl menuju kolam permandian terbaik di selatan Makassar.

 

Penulis: K. Azis

Related posts