Kolom Prof Andi Iqbal Burhanuddin: Victim Blaming

  • Whatsapp
Prof Andi Iqbal Burhanuddin (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID –  Sebuah pesawat misterius luar angkasa yang sedang berusaha melarikan diri namun mengalami kerusakan parah akhirnya pesawat nahas itu kandas.  Komandan sekaligus penembak jitu yang sedang melangsungkan operasi untuk menyelidiki pesawat misterius itu harus kehilangan satu persatu anggota timnya dengan sadis di tangan Sang Alien.

Adegan itu menjadi suguhan pembuka pada  sebuah film fiksi ilmiah  yang mengisahkan para pemburu dengan sosok yang mengerikan dengan judul The Predator pada tahun 2018.

Film yang disutradarai oleh Shane Black ini merupakan seri keempat dari semesta Predator.   Film pertama pernah dirilis 30 tahun lalu yang dibintangi Arnold Schwarzenegger kala itu yang melakukan pertarungan brutal dengan sekelompok predator di sebuah hutan.

Read More

Di akhir tahun 2021 ini kita kembali disuguhi  berita media yang heboh tentang adegan kekerasan seks yang terjadi di lingkungan kampus.

Menurut para ahli psikolog bahwa tak adanya ciri-ciri pasti membuat keberadaan predator seks itu ada dimana-mana namun sulit untuk terdeteksi.

Predator seks akan memulai ‘aksinya’ dari melecehkan korban secara emosional dan psikologis untuk kemudian menuju tujuan utamanya.

Sang predator merusak kepercayaan diri korban dengan menggunakan kontrol dan kekuatannya untuk mengendalikan si calon korban. Dengan kata-kata dan tindakan, predator akan melemahkan setiap gerakan korban, mendikte setiap pikiran, membuat korban ketergantungan dan terisolasi dengan lingkungan sosialnya, dan memiliki kendali tinggi atas kehidupan.

Sungguh mengerikan…

Sangat memilukan, kampus sebagai lembaga paling terhormat, garda terdepan penjaga nilai-nilai kebenaran di hati masyarakat mencuat isu kekerasan seksual yang rupanya telah lama tertutup dan bersembunyi dalam selubung etika moralitas yang hipokrit.

Kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi menjadi informasi dan menyebar secara sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat.

Menurut berita dikutip dari Vice Indonesia, Tirto, Jakarta Post, 2019, terkait pelbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia, setidaknya di tahun 2019, terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 provinsi.

Pelakunya dosen, staf, mahasiswa, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain.   Korbannya 96 persen adalah mahasiswi.

Berbagai permasalahan kekerasan seksual yang selama ini terjadi di lingkungan kampus namun tidak tertangani secara tuntas.

Korban pelecehan sungkan melapor ke penegak hukum karena sangat mungkin tak ingin menjadi korban ganda berikutnya atau “victim blaming”, yaitu sebuah istilah tindakan untuk mencari pembenaran yang digunakan untuk menyudutkan korban.

Ketakutan dari pihak kampus bahwa kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan PT akan merusak nama baik kampus menjadikan permasalahan ini juga belum menemui langkah pencegahan dan penyelesaian.

Gagasan Mas Menteri sebagai upaya untuk kondisi zero tolerance kekerasan seksual di kampus dengan dikeluarkannya sebuah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 30 Tahun 2021.

Peraturan tersebut merupakan  langkah yang sangat baik dan konkret pemerintah dalam hal pencegahan dan penanganan terhadap bentuk keresahan di lingkungan kalangan civitas akademika perguruan tinggi.

Banyak dukungan terhadap keluarnya perisai hukum tersebut bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, namun tidak sedikit pula yang mempermasalahkannya.

Bahkan, mereka menolak dikeluarkannya peraturan ini mulai dari politisi, ormas, organisasi pemerintahan dan lain-lain dengan penafsiran terhadap suatu pasal  dalam peraturan Kemendikbudristek itu melegalkan perzinaan atau seks bebas di lingkungan PT di Indonesia.

Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual  di lingkungan Perguruan Tinggi perlu semangat bersama dan sistem yang saling mendukung antara tenaga pendidik, pemangku kepentingan di kampus, penegak hukum.

Jika semua pihak mendahulukan dan mementingkan egosektoralnya masing-masing maka sampai kapanpun kampus sebagai garda terdepan penjaga nilai-nilai kebenaran etika dan moral akan tetap menjadi zona nyaman predator seks.

 

Penulis: Prof Andi Iqbal Burhanuddin (Guru Besar FIKP Unhas)

Baraya 29 Nov 2021

Related posts