OBROLAN BILIK SEBELAH Bagian 26: RUU Kesehatan, Apa dan Siapa yang Diamputasi?

  • Whatsapp
RUU Kesehatan, Apa dan Siapa yang Diamputasi (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sehat, serta sejahtera lahir dan batin.

Pembangunan kesehatan masyarakat harusnya berpegang pada pilar paradigma sehat, pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Permasalahan dan gangguan kesehatan pada masyarakat akan menimbulkan kerugian besar bagi negara, menghambat pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta menjadikan transformasi sektor kesehatan dan layanan kesehatan dari hulu hingga hilir tidak dapat dilaksanakan dengan baik bagi tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Read More

Selain itu, pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

Itulah sejumlah alasan mendasar mengapa Pemerintah merintis RUU Kesehatan, RUU yang disebut sebagai bentuk penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistic.

Sayangnya penolakan berlaku masif.

Belakangan ini kita menyaksikan ribuan tenaga kesehatan turun ke jalan melakukan demonstrasi penolakan melalui aksi damai.

Dalam aksinya mereka yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia melakukan penolakan atas RUU Kesehatan Omnibuslaw.

Mereka menilai, RUU Kesehatan 2023 tidak adil dan masih banyak masalah, bahkan perlu dihentikan.

Menurut mereka, pembahasan ini tidak menampung masukan dari organisasi kesehatan.

Mereka juga menilai RUU Kesehatan berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan, dan kepastian hukum tenaga kesehatan.

Di sisi lain, sebagian pihak menyebut RUU Kesehatan ini justru sangat bermanfaat untu Kemandirian, semacam membatas dominasi pihak tertentu dalam praktik pencegahan dan pengobatan.

Mereka juga berpendapat RUU Kesehatan akan memberi ungkitan bagi lahirnya kebijakan negara untuk fokus pada upaya mencegah masyarakat jatuh sakit (promotif dan preventif).

Bagaimana caranya? Yaitu dengan memberdayakan Posyandu dan Puskesmas.

Dengan demikian, masyarakat yang sehat akan mengurangi beban keuangan keluarga dan negara, serta mendorong ketahanan negara di mana masyarakat akan menjadi produktif.

Pendekatan pro lainnya adalah bahwa RUU ini akan meningkatkan akses masyarakat terhadap dokter dan dokter spesialis serta fasilitas kesehatan yang berkualitas sehingga masyarakat yang berobat menggunakan BPJS tidak didiskriminasi dan harus antre berhari-hari.

Juga bahwa masyarakat kelas menengah dan atas tidak akan lagi berbondong-bondong berobat keluar negeri.

Mereka juga menyebut RUU ini juga akan mengurangi harga obat-obatan dalam negeri serta menjamin ketersediaan obat-obat terbaru terutama untuk penyakit dengan tingkat kematian dan biaya tertinggi di Indonesia yaitu kanker, jantung, stroke, dan diabetes.

Lalu RUU akan dapat membuka pintu rezeki umat di tanah air melalui pembukaan lapangan pekerjaan di sektor kesehatan. Di mana upaya peningkatan ketahanan kesehatan akan mendorong produksi obat, vaksin dan alat kesehatan dalam negeri sehingga dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri.

Salah satu semangat RUU Kesehatan memberikan perlindungan hukum untuk para dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas mulia mereka yang di UU sebelumnya tidak ada.

Begitukah? Tunggu dulu.

Alumni Unhas yang ada dalam grup Kolaborasi Alumni Unhas, Hasan Rahim, menyebut,  hal-hal yang disebutkan tersebut perlu dikajia.

“Perlu dianalisis mendalam sejauh mana efektifitas dan efisiensi anggaran termasuk alokasi 5 persen yang selama ini telah jadi perdebatan,” ucapnya.

Akbar Endra, aktivis 98 juga menilai  RUU ini perlu dikritisi karena ada beberapa pasal bermasalah.

“Kalau memang membawa persoalan, tolak!” sebut Akbar.

Hasan menambahkan, yang pasti kalau kalangan perawat dan bidan sangat dirugikan karena mencabut leg spesialis yang sudah ada.

“Semestinya diangkut juga ke dalam RUU tersebut sebagaimana mekanisme OBL,” ujarnya.

Dia juga menyebut pada posisi transformasi atau change ke arah perbaikan kita semua setuju.

“Tentu dengan perbaikan-perbaikan pasal bermasalah dengan pelibatan semua pihak termasuk OP.,” tambahnya.

“RUU itu perlu mengakomodasi 1,6 juta perawat atau bidan kita,” kata Hasan.

Harapan berbeda disampaikan Mappabali. Ketua IKA Unhas Samarinda itu menyebut RUU bisa berimpilkasi  positif jika diterapkan dengan baik.

Salah satu yang dia tanggapi adalah layanan rumah sakit atau balai pengobatan dalam negeri yang belum optimial.

“Sekarang, contohnya, ngapain kita menghabiskan banyak duit dan tenaga untuk pergi berobat kenegara tetangga?” tanyanya.

“Itu menandakan ada yang msh kurang dalam sistem kesehatab kita, itulah yang perlu diperbaiki dengan UU baru itu,” ucapnya.

Penghapusan mandatory spending dan konsekuensinya

Dia menyebut Mandatory Spending atau alokasi anggaran wajib hendak dihapuskan.

“Ini bisa berakibat meningkatnya biaya kesehatan yang akan ditanggung rakyat,” kata dia

Dia juga menyebut siap-siap saja iuran BPJS Kesehatan akan naik atau kualitas pelayanan kesehatan BPJS akan menurun.

“Yakin personal health insurance yang dimiliki saat ini (jika punya) sudah cukup?” tambahnya.

Dia menyebut implikasi itu nyata adanya.

“Dihapusnya Mandatory Spending yang selama ini 5 persen APBN/APBD di luar gaji, tentu akan berdampak pada kemampuan biaya operasional kesehatan yang selama ini dibiayai melalui APBN,” Jelasnya.

“Itupun belum memenuhi 5 persen. Jikalau pun benar-benar duhapuskan maka tentu fasilitas layanan kesehatan dituntut untuk memaksimalkan upaya promotif preventif di tingkat pertama dengan Pemberdayaan Masyarakat,” tambahnya.

Pemenuhan alokasi 5 persen itu sesuai UU No 26/2009 yang disahkan di masa Pemerintahan SBY.

Bagi Hasan, saat ini, di era UHC, maka ada dua pendekatan yang harus dilakukan yaitu bagaimana penguatan FKTP sebagai gate keeper didorong pada upaya promotif dan preventif melalui Deteksi Dini (Early Diagnosis and Prompt Treatment).

“Salah satunya dengan Integrasi Layanan Primer melalui penguatan Posyandu Prima, inputnya dengan memenuhi tenaga perawat dan bidan masing-masing minimal duia orang per desa atau kelurahan, plus tentu penyediaan BMHP berbasis sasaran.

Sehingga, lanjut Hasan, pada akhirnya kita akan miliki peta faktor risiko penyakit berbasis populasi (Health risk factors population based).

“Intinya FKTP (Puskesmas) selaku gate keeper bagaimana menekan angka kesakitan, Yang sehat tetap sehat,” tegasnya.

“Berikutnya untuk fasilitas Kesehatan Rujukan tingkat lanjut (RS) adalah bagaimana penguatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan salah satunya dengan pemenuhan SDM baik sisi quantity maupun kualitas,” tambahnya.

“Demikian pula sarana prasarana, peralatan kesehatan, BMHP. Intinya, bemana RS bisa melayani yang Sakit dengan efisien dan efektif, memperpendek lama hari Rawat,” kuncinya.

 

REDAKSI

 

 

Related posts