Obrolan Bilik Sebelah #OBS25 Pelajaran penting pasca polemik penelitian relasi etnis Unismuh

  • Whatsapp
Perwakilan Adat Tolaki dan Kampus Unismuh Makassar mengakhiri polemik terkait skripsi mahasiswa (dok: Detik Sulsel)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Usai sudah, polemik dan potensi konflik telah diredam. Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, menarik skripsi mahasiswanya yang isinya dianggap menghina suku Tolaki.

Kebijakan itu diputuskan Rektor Unismuh Makassar Prof Dr Ambo Asse seusai pertemuan bersama pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Adat Tolaki (LAT) di ruangan Rektor Unismuh Makassar pada Kamis (13/4/2023).

“Atas nama pimpinan Universitas Muhammadiyah Makassar menyatakan menarik skripsi tersebut agar tidak lagi menjadi rujukan dan kutipan oleh siapa pun,” tegas Ambo Asse dalam pernyataan sikapnya, seperti dilansir detikSulsel.

Read More

Skripsi alumni Prodi Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar itu menuai polemik di masyarakat. Judul skripsinya, yakni ‘Asumsi Masyarakat Bugis terhadap Ideologi Suku Tolaki di Kolaka Utara’.

Sivitas akademika Unismuh Makassar memohon maaf jika skripsi tersebut menimbulkan ketidaknyamanan suku Tolaki, sama sekali tidak ada niat untuk mencederai semangat kebersamaan antara masyarakat Tolaki dan masyarakat Bugis yang telah terbina selama ini,” ucap Rektor Unismuh.

Konteks persoalan

Akdemisi Universitas Negeri Makassar Aslan Abidin mengaku sudah baca kesimpulan penelitiannya. Jelas dituliskan bahwa yang diteliti adalah asumsi.

“Jadi dugaan yang tentu saja bukan fakta. Penelitiannya mengasumsikan, tapi penyebar isunya menyebut mengatakan. Asumsi dan mengatakan tentu saja berbeda. Pihak Unismuh mestinya bicara membela hasil penelitian mereka,” ujar Aslan.

Sesuai pembacaan Aslan, peneliti mengumpulkan asumsi-asumsi atau dugaan-dugaan negatif sekelompok orang etnis lain ke etnis lainnya.

Dia menyayangkan bahwa ‘masalah’ sehingga menjadi kasus adalah orang yang membaca hasil penelitian ini memahami kata asumsi sebagai mengatakan.

“Dia mengubah kata asumsi menjadi mengatakan atau mungkin memang  tidak tahu arti kata asumsi,” ucapnya.

Pendek cerita, bagi Aslan judul dan abstrak penelitiannya sehingga berpotensi konflik itu memang menegaskan kalau asumsi.

“Jadi hanya dugaan sekitar 12 responden yang kurang pengetahuan mengenai Tolaki,” sebut Aslan.

Terkait ini, maka yang perlu dilakukan adalah perlunya memberi kapasitas tamabhan bagi mahasiswa untuk bisa melakukan riset dengan tepat.

“Perlu kita diberikan asupan gizi ilmu lagi mengenai konten lanjutannnya,” lanjutnya.

Terkait posisi Unismuh, Nurdin Amir menyebut Unismuh memang harus menjawab masalah ini.

“Penguji dan pembimbingnya perlu ditanya, bagaimana prosesnya sehingga skripsi asumsi ini bisa lolos,” sebutnya.

Apa yang disampaikan Nurdin itu, menurut Aslan tepat. “Unismuh mesti meluruskan kesalahpahaman dengan tetap fokus menggunakan sudut pandang ilmu pengetahuan,” tanggapnya.

Terkait penelitian itu, Muhammad Korebima alumni Komunikasi Unhas yang bermukim di Ambon memberi respon.

“Bukannya penelitian itu untuk menjawab apakah asumsi itu valid atau tidak? Dan bukan mengasumsi lagi?” tanyanya.

Pertanyaan Mad itu dianggap oleh Syamsir Anchi sebagai mahasiswa yang bersangkutan kekuranghati-hatian mengangkat sebuah judul.

“Terlepas apakah ini asumsi untuk dibuktikan kebenarannya, tetapi yang nampak dipermukaan lebih cenderung “rasisnya”, akhirnya, ya kejadian seperti ini,” jelasnya.

“Kalau pun tetap mengangkat tema asumsi soal ini, pandangan ini mestinya tetap difokuskan pada suku dimaksud itu sendiri, seperti apa pendekatan dan metode penelitian yang dipakai,” terang Syamsir. Anchi.

Yang pasti, lanjut Ostaf Al Mustafa dua perbedaan kata yang ternyata amat berbahaya, dari ‘asumsi’ menjadi ‘mengatakan’.  Asumsi pada arah penelitiannya, lalu “dikatakan” oleh publik kemudian.

“Kita tidak akan menyangka dua kata itu, efeknya amat berbeda, hingga mungkin terjadi kasus skripsi ini,” imbuh dia.

Seperti diberitakan di beberapa media online, terkait kasus itu, pihak kepolisian disebut telah melakukan pengamanan untuk mahasiswa J.

“Yang dimaksud dalam berita ini bersifat pengamanan, penulisnya diamankan oleh pihak kepolisian agar terhindar dari potensi anarkisme orang yang tidak terima materi tulisannya, setelah itu pimpinan kepolisian memfasilitasi dialog dengan pihak-pihak terkait, mudah-mudahan tidak ada penindakan hukum dari sisi pidana,” sebut Syahrir Cakkari.

Sehingga, perlu mengedepankan pendekatan terukur petugas hukum.

“Petugas yang menggunakan tiga pendekatan, preventif, persuasif, dan represif, mka perlu juga ketahui kembali metode penelitian, obyek penelitian, sumber primer dan sekunder, interpretasi dan hasilnya,” sebut Syamsir Anchi.

Mahasiswa yang melakukan  riset sosial atau seperti bidang Sosiologi terkait relasi dua etnis di Sulawesi Tenggara itu menurut Syamsir Anchi perlu difasilitasi dengan baik.   Selain mediasi atau diskusi solutif di pihak kepolisian, maka para peneliti atau akademisi pun perlu mencari pendekatan terbaik.

“Dalam hal ini petugas wajib mendatangkan ahli termasuk ahli bahasa, ahli hukum, dan lain-lain sehingga jika terjadi pemidanaan itu memang murni dugaan pelanggaran, bukan karena tekanan,” jelas Syamsir.

Realitas terkait etnis di Sulawesi Tenggara juga di beberapa wilayah lain di Indonesia menurut Ostaf bisa dilihat dari konsentrasi mereka di kawasan-kawasan pinggiran.

“Tersingkirkan dalam.hal pemilikan lahan,” imbuhnya.

Peran kampus

Rumaisah, peserta diskusi WAG Kolaborasi Alumni Unhas juga memberi pandangannya.

“Semestinya kontrol dari pihak pembimbing, penguji, fakuktas dan universitas untuk suatu karya akademik.  Semestimya dipastikan  ada 3 kemanfaatan untuk bisa diterima, untuk  penulis, untuk masyarakat dan untuk komunitas akademik lainnya demi pengembangan keilmuan terkait ke depannya,” tanggapnya.

“Jadi bukan sekadar proyek agar bisa lulus. Peranan pembimbing strategis di sini.  Apalagi jika menyangkut sesuatu yang sensitif macam SARA,” tandasnya.

Apa yang disampaikan Rumaisah itu oleh Aslan direspon bahwa penelitian itu deskriptif kualitatif.

“Bahwa asumsi negatif itu ada, ya penelitiannya menunjukkan begitu,” tambah Aslan.

“Tapi hasil itu kan tergantung kelompok responden mana yang diteliti. Kalau respondennya punya pengetahuan luas mengenai Tolaki, sangat mungkin hasil penelitiannya berbeda atau positif,” imbuh dia.

Yang pasti, bagi Ostaf Al Mustafa, konteks SARA ini entah mengapa dilewatkan begitu saja oleh pembimbing dan entah bagaimana alur berpikirnya hingga masalah supersensitif dan hanya jadi perbincangan umum itu bisa menjadi pilihan penelitian.

Apa yang dipaparkan di atas bagi Mad Korebima menyisakan pertanyaan juga. “Mengapa dia memilih suku Bugis secara spesifik ya?” tanya.

Sebagai pembelajaran ke depan, mestinya pihak kampus tetap memberi atensi untuk tumbuh kembangnya riset sosial seperti itu dengan penyempurnaan dan penguatan-penguatan.

“Pembimbing dan pihak universitasnya mesti maju membela hasil penelitian mereka sebab skripsi itu merupakan produk bersama dengan mahasiswa,” tanggap Aslan.

Pesan penting

Pertama, stereotype keburukan pada etinis tertentu bukanlah hal elok. Betapa banyak kebaikan-kebaikan dan keluhuran ada di banyak etnis di NKRI.

Kadang streteotipe tentang suku tertentu tidak didasarkan atas fakta dan hanya pembicaraan ngawur saja. Namun itu yang hidup dalam percakapan saat minum kopi. Bisa sebagai pembicaraan humor, malah serius juga, terutama pada pembicara yang memang sering bergaul dengan suku tertentu.

Kedua, yang keliru dari penelitian itu kalau tidak menyebut secara jelas orang Bugis dari kelompok dan level pengetahuan mana. Sehingga harus ada kejelasan metodologi, informasi spasial, lokasi, nama, penggambaran latar belakang responden.

Ketiga, sesuai hasil penelitian itu, ada manfaat yang diharapkan peneliti, antara lain adalah bahwa masih ada sekelompok kecil orang Bugis yang berpandangan negatif mengenai suku tertentu. Ini yang perlu dicari latar belakangnya, konteks dan latar belakang penilai.

Empat, perlu diskusi terbuka dan terus berupaya mengurangi salah paham terhadap masalah seperti ini. Perlu mediasi dan penyelesaian secara kekeluargaan sebelum berlanjut pada pemidanaan mahasiswa peneliti, apalagi penelitian ini telah lama dilaksanakan pada 2016.

Lima, ini bukan hal pertama. Kasus yang mirip pernah terjadi di Palu.  Tentang Rektor pertama universitas Tadulako Prof. Dr. Mattulada, dosen Unhas yang dipinjamkan untuk universitas Tadulako, beliau meriset tentang budaya orang suku Kaili yang kesimpulan membuat publik meradang.

Enam, meski ini merupakan produk perguruan tinggi yang mengadopsi pendekatan atau juga punya metode namun sebagai warga negara kita pun harus mewaspadai sejumlah perihal konflik sosial karena adanya agenda lain seperti politik pemilihan perwakilan dan disparitas pembangunan. Semua pihak harus menjaga agar tidak ada penggiringan opini yang bisa berpotensi konflik horizontal.

Media tulis, perwarta,  lembaga adat, masysarakat luar tetap peduli atau punya linterasi yang baik dalam menangkal konflik-konflik sosial.

Tujuh, faktanya, ada beberapa laki-laki Bugis menikah dengan perempuan Tolaki, hidupnya juga cukup baik, harmonis dan bahagia.  “Jadi tesis ini hanya asumsi belaka, bisa dibantah dengan pendekatan empiris, kebetulan ada beberapa orang yang saya kenal baik yang melakukan pernikahan silang antar kedua suku dimaksud,” tutup Syahrir Cakkari.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts