Catatan dari KOPIZONE: Membaca Makna di Balik Cawe-Cawe Politik Nasional

  • Whatsapp
Ngopi di Hometown Kopizone dan menyesap makna move politik nasional (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Harusnya pilih yang punya leadership kuat, teruji, kompeten dan mau mendengarkan aspirasi dan tujuan hidup rakyat.

PELAKITA.ID – LANTARAN hadir sosok Ketua DPD Demokrat Sulsel Ni’matullah Rahim Bone di Hometown Kopizone kemarin, Senin, 20 Juni 2023, penulis kembali menulis  peristiwa politik nasional pada salah satu destinasi ngopi di Jantung Kota Makasssar itu.

Bukan hanya KB, begitu sebutan saya untuk sohib-nya Agus Harimurti Yudhoyono itu tetapi juga sejumlah kolega yang telah berbagi pokok-pokok pikirannya sedari siang hingga malam hari.

Read More

Bolehlah menyebut beberapa nama tempat penulis berdiskusi dan membicangkan sejumlah peristiwa, manuver dan refleksi makna atas cawe-cawe aktor dan representasi organisasi partai politik.

Ada Iqbal Arifin, Muhammad Ramli Rahim, Ondha, Ni’matullah RB, Marwan Hussein, Yarifai Mappeati, Pak Presiden  Syamsul Bahri ‘Ancu’ Sirajuddin, Didies Abubaeda, Hidayah Muhallim, Hermansyah Oher,

Untuk membuatnya lebih jelas, penulis mengutarakan sejumlah pertanyaan yang kemudian menjadi pembahasan.

Pertama, apa makna move Projo Sulawesi Selatan yang mengejutkan sangkaan publik bahwa mereka pasti mengusung Ganjar Pranowo dan faktanya, di depan ratusan relawan dan ditonton banyak orang menyebut mengusung Prabowo – Airlangga.

Pertanyaan ini saat penulis duduk dengan Bang Chikon, Ramli dan Iqbal.

Kedua, tidakkah menggambarkan bahwa Demokrat melalui AHY yang bertemu Puan Maharani sebagai ‘anak emas’ PDI Perjuangan dapat mengusik soliditas atau stabilitas kebatinan koleganya di Nasdem dan PKS yang selama ini bulat tekad mendukung Anies Rasyid Baswedan?

Ketiga, mengapa Partai Politik saat ini semakin jauh dari fungsi edukasinya, semakin melenceng dari semangat pendiriannya untuk menjadi bagian dalam mendorong proses demokratisasi yang memberdayakan rakyat?

Apa yang membuat partai-partai nyaris disorientasi keseluruhan?

Keempat, pemimpin seperti apa yang kita mesti pilih untuk masa depan NKRI.

Apakah mereka yang lahir dari rahim pendiri partai, dari pendiri bangsa, atau mereka yang punya leadership tangguh, teruji dan telah berbuat baik dan nyata bagi NKRI.

Sosodara, tentu saja masih banyak tema atau bahasan kemarin itu, ke mana-mana.

Ada juga tentang  bagaimana menjadikan IKA Unhas di level manapun untuk menjadi jangkar membangun Indonesia bagian timur, bagaimana dengan jearing pemantau pemilu yang harusnya bisa menjadi penjamin bahwa Pemilu atau Pileg 2024 jauh dari praktik money politic, dimana semua mata memeriksa proses dan gelagat para Caleg.

Pendek kata, “mengapa tak berkompetisi saja atas nama kejujuran dan kompetensi?”

Pertama, ada yang menyebut, move Projo Sulawesi Selatan tak perlu dianggap sebagai sesuatu yang spektrumnya kuat dan mengubah banyak keadaan.

Yang perlu dipahami adalah yang terjadi saat ini adalah menunggu ‘hasil ma’manu-manu’ para wakil Parrtai.  “Kalau perlu tunggu sampai dia hamil,” ujar Ondha.

Sah-sah saja kalau Projo untuk mengusung Prabowo – Airlangga tapi itu harus dilihat sebagai move non partai. Berlaku juga untuk semua unsur untuk ikut mengusung calonnya.

Meski demikian, peristiwa tersebut bisa juga dimaknai sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari tokoh di balik Projo, atau, kepada siapa selama ini dekat.

Artinya, bisa saja ada pesanan atau arahan untuk memproses muara harapan anggota Projo agar nanti bisa menjadi ‘daya gedor’ untuk lahirnya opsi-ospi baru selain misalnya saat ini hanya ada Ganjar, Prabowo atau Anies sebagai tiga Cpares ideal.  “Semua bisa terjadi.”

Lalu muncul celetukan. “Kenapa tidak berpikir bahwa bisa saja ada calon keempat?” kurang lebih begitu pandangan mereka bahwa ada calon lain yang bisa menjadi alternatif ketika ada kebuntuan dan ketidaksepakatan elite.

Kedua, tidak boleh ada batasan untuk ide-ide baik dan berpotensi menjadi role mode merekatkan anak bangsa seperti silaturahmi antara AHY dan Puan itu.

Itu pandangan yang muncul. Itu harus dilihat sebagai agenda bagus untuk menata dan membetulkan Indonesia untuk tidak lagi terjebak pada persoalan-persoalan ‘baperan’ para tetua.

Tentang move AHY, apakah berimplikasi pada kesolidan Demokrat, Nasdem dan PKS, harusnya memang harus dianggap sebagai hal biasa dan bisa jadi sudah dibicarakan di antara mereka.

Relevan dengan itu, Muhammad Ramli menyebut ada empat organisasi ‘sayap’ relawan Anies yang terhubung dekat selama ini dan paham bagaimana tim partai pengusung selalu berbagi kabar, ide dan bermufakat untuk mengawal harapan mereka agar Anies Presiden dan mengenai calonnya diserahkan ke Anies.

Meski begitu, kata Ramli, segala sesuatu bisa terjadi termasuk dengan siapa Anies nanti maju.

Tentang fakta bahwa Partai Politik saat ini semakin jauh dari fungsi edukasinya ditampik oleh peserta ngopi bahwa seperti yang dialami dan terlihat selama ini, PDI Perjuangan punya dua sebutan, ada fungsionaris dan kader.

Ganjar, bisa disebut fungsionaris, sudah lama bersama PDI Perjuangan jadi wajar sekali jika diusung Megawati.

Sebutan kader itu untuk mereka yang bisa saja baru bergabung, atau mereka yang tidak mau kepengurusan partai namun mencintai atau loyal.

Tentang fungsi partai sebagai bertanggung jawab dalam mendorong proses demokratisasi yang memberdayakan rakyat, telah dilakukan PDI Perjuangan sejak lama. Fungsionaris, kader, telah lama berinteraksi dan menjaga semangat pendirian partai.

Yang mungkin harus dibedakan dan ditelaah adalah bagaimana partai menjaga kemurnian tujuan pendiriannya, merawat ideologinya, tentang harapan founding fathers-rnya, aspek militansi, dan proses-proses literasi politik yang mewujud dalam program atau straegis partai.

Mencuat dua nama partai yang disebut punya platform kaderisasi yang sangat kuat, terbukti langgeng dan bisa menjadi contoh bahwa menjadi orang Partai harusnya bermakna siap menjadi bagian dalam mendorong pendidikan politik bagi rakyat.

Kedua partai itu PDI Perjuangan dan PKS. Partai lain mungkin ada juga tetapi kedua partai itu disebut paling mengemuka.

Keempat, pemimpin seperti apa yang kita mesti pilih untuk masa depan NKRI.

Harusnya yang punya leadership kuat, teruji, kompeten dan mau mendengarkan aspirasi dan tujuan hidup rakyat.

Mereka bisa saja lahir dari rahim pendiri partai, dari pendiri bangsa, atau mereka yang punya leadership tangguh, teruji dan telah berbuat baik dan nyata bagi NKRI namun harus diajak untuk bertemu rakyat, berbagi kisah dan harapan-harapan, berbagi pandangan dalam menjalin mimpi-mimpi besar perubahan bangsa.

Pendek tulisan, ke depan, tantangan sosial politik kita semakin berat.

Kita semua bertanggung jawab dalam memperkuat proses demokratisasi, bertanggungjawab dalam memastikan proses Pemilu yang berkeadilan, transparan dan jauh dari praktik money politic karena ini tercela.

Menangkal money politic adalah tugas bersama, salah satu pintu masuknya adalah penyadaran politik untuk paham substansi berdemokrasi.

Selain itu dia pun perlu kepastian hukum, perlu penegakan hukum.

Ancaman besar saat ini adalah ambiguiitas sejumlah (yang konon, megklaim diri) sebagai pemimpin. Juga ketidakpastian zaman dan kerentanan akar rumput, sekali ada yang teriak kebenaran yang lain ikut-ikutan tanpa menelaah.

Hanya dengan pendidkan politik dan rasionalitas yang baik yang bisa menjadi bekal masa depan kita dalam berdemokrasi.

Pembaca sekalian, ada contoh menarik disampaikan Iqbal Arifin.

Di luar sana, kata Iqbal Arifin, seorang politisi muda, perempuan muslim, sukses menawarkan kebaruan dan harapan bagi kaum muda Amerika.

Iqbal bilang, perempuan muda itu bisa mengalahkan politisi gaek yang telah beberapa periode menjadi senator di Negeri Paman Sam.

 

Penulis: K. Azis

 

Related posts