AMAN dialogkan peta jalan tambang di Tana Luwu, Dr Sawedi ingatkan 10 hal

  • Whatsapp
Dr Sawedi Muhammad saat menjadi penanggap pada diskusi publik yang digelar AMAN bertema: “Peta Jalan Pertambangan Tana Luwu”. (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Dr Sawedi Muhammad. penulis buku Gelombang Perlawanan di Tepian Matano: Resistensi Masyarakat Sorowako terhadap PT INCO menjadi penanggap pada dialog publik bertema: “Peta Jalan Pertambangan Tana Luwu”.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sabtu, 31 Juli 2021.  Tidak kurang 130 peserta hadir dalam kegiatan daring Zoom dan disiarkan via Yotube ini.

Read More

Sawedi, pria yang sejak November 2016 menjadi pengajar Teori Pembangunan hingga Sosiologi Birokrasi di Universitas Hasanuddin ini pernah menjadi General Manager, Provincial Government and Community Relations pada PT International Nickel Indonesia, Tbk antara bulan April 2009 hingga September 2012.

Dia bertanggung jawab untuk memastikan lisensi pemerintah dan sosial dari level provinsi hingga ke level lokal termasuk menyiapkan peta jalan strategis untuk menunjukkan citra perusahaan sebagai bereputasi baik.

Lantaran itu, peraih Doktor Sosiologi pada Universitas Negeri Makassar dan Masteral Degree pada area pembangunan sosial pada the Ateneo de Manila University, the Philippines dianggap relevan untuk memberikan pandangannya terkait isu-isu pertambangan di Tanah Luwu.

Sawedi mengapresiasi gelaran dialog publik yang digelar AMAN ini. “Jarang ada kegiatan seperti ini, high level, ada pusat, adat, pelaku pertambangan,” kata pria yang mengaku pernah kerja di PT Vale – dulu INCO selama 10 tahun ini.

Dia sebut demikian sebab pada acara ini hadir Sekjen KLHK, anggota Komnas HAM, AMAN, peneliti LSM lingkungan hingga Bupati Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu dan tokoh masyarakat Luwu Raya.

10 hal

Menurut pria yang giat menulis di media massa ini, kompleksitas di dunia pertambangan telah menjadi persoalan utama, di mana-mana, terus menerus. Pelakita.ID mencatat sepuluh poin atau dimensi yang diutarakan Sawedi Muhammad tentang peta jalan tambang di Tanah Luwu.

Pertama, kompleksitas yuridis formal, dan kompleksitas kewenangan.

“Terlalu banyak regulasi di Indonesia dan sangat tidak terintegrasi dengan baik.  Membingungkan banyak stakeholder dan buat susah orang banyak,” katanya.

Bagi Sawedi, para pelaku tambang telah melakukan aktivitas di lapangan berdasarkan undang-undang yang berlaku. “Di dunia pertambangan itu ada dua, yuridis formal, government license dan social license,” sebutnya.

Dia mengaitkannya dengan sisi kepemerintahanan, regulasi dan kebijakan. “License itu ada aturan.  Coba kita lihat sangat luar biasa rupanya, di duia pertambangam, di rezim kntrak kerja, ada lex specialis derogat legi generali,” katanya.

 “Mereka memilik keistimewaan tertentu, dan UU lain tidak bisa mengatur UU pertambangan. Contoh, kalau hutan, UU lingkungan bisa mengatur,” katanya.

Karena itu menurutnya, banyak banyak perusahaan di rezim kotrak karya seperti Newmont Nusantara, di Nusa Tenggara Barat, KPC, Inco atau Vale dimana yang ada hanya operator pertambangan saja, dan mereka sangat taat aturan yang berlaku.

Meski demikian dia menyebut ada yang menarik. Meski terdapat begitu banyak pelanggaran, yang sesungguhnya disalahkan adalah aparatur negara, sebab negaralah yang seharusnya melindungi warga negaranya.

Dia juga menyinggung tentang pemaknaan pada UU 1945 yang telah menegaskan pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran bersama, untuk kepentingan rakyat meski ada juga yang menyebut bahwa tingkat kemakmuran masyarakat atau kualitas hidup masyarakat tidak berbanding lurus dengan aktivitas tambang di sekitarnya.

Pada konteks tambang dan sumberdaya alam yang melimpah, meminjam istilah ‘resources curse’, Sawedi menyebut tetang kutukan sumberdaya di ranah tambang.

Natural Resource Curse atau kutukan sumber daya alam adalah istilah paradoks dari melimpahnya sumberdaya alam. Ada fenomena dimana negara yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi negara yang makmur. Namun sebaliknya, justru jadi kutukan bagi pemiliknya.

Hal kedua yang disampaikan adalah masih adanya tumpah tindih kewenangan.

“Kita semakin mengarah ke rezim yang semakin terbuka tetapi rezim perundang-undangan makin bergeser pusat, semua kewenangan ditarik ke pusat,” katanya sembari menyebut UU pertambangan tahun 2009 hingga UU CK 22/2020.

“Jelas semua ditarik ke pusat, semua residu ada di kabupaten tetapi residu perekonomian ke Pusat, dan dana perimbangan saja seperti PAD,” katanya.

Pria kelahiran Pinrang ini juga mengapresiasi inisiatif Pemda Lutim yang membuka ruang dialog dengan PT Vale dengan menyampaikan isu strategis melalui surat.

Hal yang disebutnya kemajuan sebab semasa dia bekerja di INCO dia mengalami beberapa kebingungan dalam memberi penegasan posisi perusahaan dan kepentingan masyarakat terutama masyarakat adat di Luwu Timur.

Dia juga menegaskan bahwa tidak semua personil di usaha tambang sebagai sekadar mengeksploitasi.  Sesuai pengalamannya, disebutkan beberapa pihak seperti personil dari Australia dan Kanada yang punya komitmen dan solusi yang terbaik untuk di lingkar tambang.

“Memang ada masalah koordiasi, cooperation dan cara komunikasi kita yang belum ketemu,” katanya seraya memuji unit kerja AMAN yang sudah melakukan komunkasi dengan Pemda Lutim dan berujung surat ke PT Vale tersebut.

Poin ketiga yang disampaikan adalah kompleksitas dampak. “Memang negara kita telah berjuang memberi dampak tambang yang lebih besar, yang positif, dan yang negatif berkurang, tapi pengelolaan sumberdaya alam selalu kontraversional, ada harapan dampak ekonomi, dan pendapatan negara meningkat, serapan tenaga lokal bisa maksimal,” sebutnya.

“Dan dampak negatifnya adalah hutan lindung ditambang,” sebutnya.

Pria yang doyan mengenakan topi ini menyebut bahwa hutan di Luwu Timur masuk dalam garis Wallacea.

“Saya kira poinnya, adalah keanekaragaman yang terunik di dunia, banyak spesies endemik di sana dan harus diperhatikan supaya dampak pertambangan tidak menggerus keanekaragaan di wiayah itu,” harapnya.  

Poin keempat yang disampaikannya adalah dampak sosal dan lingkungan.

Menurutnya, Negara saat ini kurang tegas pada perusahaan tambang karena adanya ungkapan bahwa kalau kita hentikan tambang, makanya ekonomi tidak berputar. “Perlu dijadikan catatan penting bahwa dampak negatif ini berlangsung karena kita tidak asertif, untuk penegakan aturan di lapangan,” ucapnya.

Asertif adalah kualitas menjadi percaya diri dan percaya diri tanpa menjadi agresif. Di bidang psikologi dan psikoterapi, itu adalah keterampilan yang dapat dipelajari dan cara komunikasi.

Yang kelima menurut Sawedi adalah kompleksitas sosio-kutural.

“Bahwa banyak di anatara rezim kontrak karya seperti batu bara, diberikan secara top down, ruang bersuara masyarakat adat, tidak dibuka sama sekali oleh pemerintah pusat,” ungkapnya.

Menurut temuannya, jelas sekali bahwa banyak proses konsultatif bidang tambang yang mengabaikan masyarakat lokal. “Tidak dilibatkan sama sekali dalam proses perlindungan atau renegosiasias kontrak karya,” tambahnya.

Terkait itu Sawedi mengaitkannya dengan tidak dilibatkannya kabupaten, sehingga daerah kabupaen menggunakan kekuatan lain yaitu ‘social license’ yang non yuridis formal.

“Supaya diperhitungkan dan ada ruang bernegosiasi,” katanya, meski menurutnya, beberapa poin yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Timur ke PT Vale sebagian besar tidak berkaitan dengan kewenangan kabpaten.

“Isu strategis Pemda Luwu Timur ke PT Vale, kalau saya cermati kewenangannya tidak di kabupaten tapi di pemerintah pusat, jadi pemerintah pusat terlalu mendominasi,” katanya.

Sawedi juga mengingatkan para peserta diskusi publik tentang status lahan-lahan di sekitar lokasi tambang seperti Luwu Timur dimana banyak lahan yang dulu ditinggalkan oleh warga lokal setelah masuknya DI/TII di sana.

Menurut Sawedi, sejak masuknya PT Inco tahun 1968, sesuai hasil catatan etnografi peneliti Kathryn Robinson pada buku Stepchildren of Progress., tentang suku-suku di sekitar lokasi INCO di mana banyak yang mengungsi dan kembali mencari lahannya meski kemudian sudah berubah menjadi fasilitas di area tambang.

Menurut Sawedi, di buku itu disebutkan, PT Vale (dulu INCO) masuk ketika seluruh masyarakat Karonse dan Dongi berdiaspora ke Sulteng dan Sulut karena datangnya pemberontak DI/TII.

Dia juga menyebut bahwa meski pernah ada utusan Komnas HAM ke Luwu Timur beberapa waktu lampau namun hingga saat ini tidak ada rekomendasi terkait isu-isu yang disukan atau disuarakan saat itu.

“Tidak ada rekomendasi bahwa PT Inco melakukan pelanggaran HAM selama operasi,” sebutnya.

Hal keenam yang disinggungnya adalah komplekstas kepentingan di usaha tambang. “Di dunia tambang kepemilikan saham adalah segalanya, mereka yang mengendalikan perusahan, mereka memiliki modal terbanyak dan keuntungan sangat besar,” katanya.

Di mata Sawedi, jika melihat komposisi saham itu bisa dinegosiasikan tapi ini tidak berarti untuk masyarakat lokal. “Karena itu business to business, Pemda tidak diberikan peluang yang sama,” katanya.

Dia lalu mencontohkan bagaimana Pemerintah Indonesia memberikan 10 persen saham ke Pemda Papua dan Mimka. Hal yang disebutnya pilihan cerdas dan perlu back up di lapangan dan bisa urun rembug kebijakan strategis perusahaan dan bisa mendapatkan dividen.

Kedelapan, adalah kompleksitas kepentingan. Hal yang menurut Sawedi terkait kepentingan ini adalah banyaknya pihak yang terlibat.

“Terlalu banyak pelaku, kita melihat sikap TNI Polri, mem-back up di Free Port, di Buyat, di Kalimantan, keterlibatan TNI Polri, tidak bisa luput perhatian kta semua,” ucapnya.  

Hal yang disebut oleh Sawedi dalam konteks kepentingan pengamanan obyek obyek vital nasional meski bisa jadi ada perlakuan salah penerapan SOP. “Dalam coallition building kita tidak memahami apa itu stakeholder mapping di lapangan,” imbuhnya.

Poin kesembilan yang ditekankannya adalah kompleksitas ketahanan energi dan sumberdaya alam.

“Di negara khatulistiwa, saya kira pemerintah dituntut untuk hati-hati dalam manajemen sumberdaya alam, di satu sisi tidak terlalu maksimal, padahal kalau tidak dikelola profesional akan fatal,” ucapnya.

Untuk wilayah Luwu ke depan, Sawedi menyebut perlunya keterlibatan semua stakeholder untuk terlibat. Dia setuju adanya agenda yang bisa diadvokasi – seperti oleh jejaring AMAN agar kegiatan di sektor pertambangan akan banyak manfaatnya ke stakeholder.

Untuk itu, dia menyarankan adanya proses penguatan kapasitas. “Penguatan yang harus dilakukan, adalah penguatan advokasi, penting sekali, karena kita tidak mungkin melawan negara dengan pemberontakan, dengan menghentikan pertambangan. Yang pertama adalah dengan mengumpulkan fakta lapangan,” sebutnya.

“Kemudian bentuk tim kuat dan profesional, dan data obyektif dan perlu membuat coallition building,” katanya seraya menyebut bahwa tidak semua mental di urusan tambang ini.

“Saya kira tidak semua mental merusak, banyak juga yang baik. Strategi komunkasi penting sekali, kalau tidak bagus akan kontraproduktif,” lanjutnya.

Yang kesepuluh yang disampaikan Sawedi adalah faktor endurance. Dia menyebut ini sembari memuji beberapa pihak yang terus menerus mengadvokasi isu tambang. Yang terus menerus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran HAM di lokasi tambang.

“Apakah ada pertambangan yang dibesarkan oleh prinsip HAM?” katanya bertanya dengan menjawab bahwa di Brazil, ada praktik baik dimana perusahaan memindahkan fauna di kawasan tambang ke lokasi yang aman.

“Mereka punya kebun binatang dan diselamatkan. Kedua yang pernah saya kunjungi di Pasifik, di New Caledonia, masyarakat punya hak tentang enironment license, dan ini bisa di-endorse,” kuncinya. (KA)

 

Related posts