Ibrahim Zaman Now: Hakekat Qurban dan Haji dalam Renungan Para Sufi

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Menjadikan nilai-nilai Qur’an dan ibadah sebagai pedoman hidup berarti menanamkan tauhid dalam semua aspek: ekonomi yang adil, politik yang jujur, dan sosial yang peduli.

PELAKITA.ID – Di padang yang tandus—tempat langit mencium bumi dalam kepasrahan—berdirilah Ibrahim. Ia tak membawa apa-apa selain cinta dan kepatuhan.

Di sisinya, Ismail, anak yang lahir dari doa panjang, kini menjadi persembahan. Tapi di sana, bukan darah yang diminta, melainkan jiwa yang rela tunduk sepenuhnya.

Itulah qurban dalam makna terdalam. Bukan sekadar menyembelih hewan, tapi melepaskan segala keterikatan—kecuali kepada-Nya.

Qurban dalam Pandangan Sufi

Bagi para sufi, qurban bukanlah ritual berdarah, melainkan pelatihan ruhani. Ia adalah latihan menyembelih ego (nafs), menyayat kesombongan, dan memotong keakuan.

“Siapa yang belum menyembelih nafsunya, belumlah ia berqurban,” ujar Jalaluddin Rumi. Qurban bukan soal kambing atau sapi, tetapi tentang menyerahkan hal-hal duniawi yang paling kita cintai kepada Yang Maha Cinta. Itulah maqam tauhid: tiada yang patut dicintai, kecuali Allah.

Qurban sebagai Jalan Pembebasan

Ali Shariati, pemikir revolusioner dari Iran, memaknai qurban dari kacamata sejarah dan sosial. Menurutnya, qurban adalah pesan perlawanan terhadap penindasan. Ibrahim bukan hanya nabi, tapi simbol keberanian melawan tirani Namrud. Ismail bukan hanya anak, tapi cerminan pengorbanan generasi muda demi visi tauhid dan keadilan.

Qurban adalah bahasa simbolik: setiap perjuangan butuh pengorbanan. Tanpa qurban, tak ada pembebasan.

Bagi Shariati, ritual Islam harus dimaknai sebagai sistem nilai, bukan formalitas kosong.

Qurban sejati adalah ketika egoisme, harta, dan kenyamanan kita diserahkan untuk membela yang lemah, mengangkat kaum tertindas. Maka, qurban adalah kritik terhadap gaya hidup hedonis, dan seruan menuju solidaritas sosial.

Haji: Ziarah Ruhani Menuju Diri

Jika qurban adalah pemotongan ego, maka haji adalah perjalanan menuju keabadian. Haji bukan sekadar wisata rohani, melainkan teater tauhid.

Dari mengenakan ihram yang seragam, berjalan ke Ka’bah, berlari di antara Shafa dan Marwah, hingga melempar jumrah—semuanya adalah simbol penyucian diri.

Para sufi menyebut haji sebagai suluk kabir—perjalanan agung. Bukan hanya ke Mekkah, tapi ke pusat ruhani manusia: keikhlasan, tawadhu, dan kehambaan.

Di Mina, kita tinggalkan nafs. Di Arafah, kita telanjangi hati di hadapan Sang Hakim. Di Muzdalifah, kita kumpulkan bekal amal. Dan di Ka’bah, kita thawaf mengelilingi cinta yang abadi.

Shariati menyebut haji sebagai revolusi spiritual. Dalam bukunya Hajj: Reflections on Its Rituals, ia menulis bahwa haji adalah pembebasan manusia dari segala bentuk berhala—termasuk dirinya sendiri.

Ia menolak materialisme, rasisme, dan sekularisme. Dengan mengenakan ihram, manusia melepaskan kasta sosial dan ego-identitas. Semua sama. Semua hamba.

Qurban dan Haji sebagai Pedoman Hidup

Di era kapitalisme spiritual—ketika ibadah sering kali menjadi simbol status dan prestise sosial—umat Islam perlu kembali pada ruh ibadah.

Qurban bukan soal harga hewan, tapi harga keikhlasan. Haji bukan tentang paket VIP, tapi kesediaan menanggalkan ego dan dunia.

Menjadikan nilai-nilai Qur’an dan ibadah sebagai pedoman hidup berarti menanamkan tauhid dalam semua aspek: ekonomi yang adil, politik yang jujur, dan sosial yang peduli.

Qurban dan haji mengajarkan pengorbanan, kesetaraan, solidaritas, dan kebebasan dari hawa nafsu. Itulah prinsip-prinsip hidup Islami yang sejati.

Sikap seorang muslim bukanlah sekadar menunaikan qurban dan haji secara ritual, tetapi menjadikannya sebagai jalan transformasi diri dan masyarakat.

Muslim sejati adalah mereka yang menjadikan Ibrahim sebagai teladan keberanian spiritual, dan Muhammad sebagai simbol kasih sayang universal. Bukan Islam simbolik, tapi Islam yang substansial.

Menjadi Ibrahim di Zaman Ini

Kita hidup di zaman yang membutuhkan banyak Ibrahim: mereka yang siap berkorban demi kebenaran. Kita juga butuh banyak Ismail: generasi muda yang rela menyerahkan kenyamanan untuk masa depan ummat. Dan kita butuh haji setiap hari: perjalanan menundukkan ego, menunaikan cinta, dan bersatu dalam tauhid.

Qurban dan haji bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sikap harian. Ia adalah narasi besar Islam tentang cinta, perjuangan, dan pembebasan.

Jika kita benar-benar memahami maknanya, maka kita tak hanya menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih kezaliman dalam diri dan masyarakat. Kita tak hanya berjalan ke Ka’bah, tapi menuju Tuhan yang lebih dekat dari urat leher kita.

Wallahu A’lamu bissawaab.
–Moel’S @09052025