PELAKITA.ID – Penggunaan kata “lagi” memberi penekanan bahwa kita pernah berswasembada pangan, khususnya beras.
Saya masih ingat betul, hari itu saya sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Eropa di Paris (bukan Parigi Selatan yaa đ¤), ketika Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAOâPBB di Roma.
Itu terjadi pada tahun 1996. Penghargaan internasional tersebut bahkan menjadi salah satu topik menarik yang dibahas dalam pelatihan di aula kantor Dubes RI.
Kini, pemerintahan Prabowo Subianto kembali mencanangkan target swasembada pangan.
Pemerintah pusat mendorong seluruh pemerintah daerah untuk berpartisipasi, dan pemerintah daerah pun mengharapkan dukungan semua pihakâtermasuk perguruan tinggi.
Pertanyaannya: bagaimana cara mencapainya?
Mari kita bahas secara sederhana namun fokus, agar mudah dipahami dan dilakukan.
Saya teringat satu prinsip penting: âThink big, do small, but move fast.â (Berpikir besar, bertindak sederhana, namun bergerak cepat.)
Ambil contoh komoditas berasâpangan pokok mayoritas rakyat Indonesia.
Apa Itu Swasembada?
Swasembada sangat berkaitan dengan produksi dan produktivitas. Keduanya berurusan dengan jumlah, tapi punya satuan berbeda, Produksi: total hasil dalam satu wilayah dan waktu tertentu.
Contoh: X ton beras di tahun 2025 pada wilayah tertentu. Produktivitas: hasil per satuan luas atau per satuan tanaman. Contoh: X ton per hektar, atau X kilogram per pohon.
Swasembada juga menyangkut ketersediaan, kecukupan, dan kebutuhan.
Jika ketersediaan melebihi kebutuhan (subsisten), akan ada kelebihan yang bisa dijual atau diekspor. Artinya, swasembada bukan hanya soal cukup makan, tapi juga soal surplus dan ketahanan.
Dari Produksi ke Solusi
Produksi pangan dipengaruhi oleh dua hal utama; Luas lahan tanam dan produktivitas tanaman
Produktivitas itu sendiri tergantung pada sarana dan prasarana produksi (saprodi). Tanpa perlu data rinci pun kita tahu, jika swasembada belum tercapai, kemungkinan besar karena produksi masih kurang.
Mari kita lihat lebih dekat. Saat ini, rata-rata produktivitas beras kita sekitar 5 ton per hektar. Padahal, potensi maksimumnya bisa 8â10 ton per hektar, tergantung varietas.
Jadi, masalahnya ada di saprodiâbukan lahannya. Solusinya: intensifikasi pertanian. Dulu, zaman Presiden Soeharto, kita kenal dengan program Bimas berbasis revolusi hijau.
Kalau Sudah Maksimal Tapi Masih Kurang?
Kalau produktivitas sudah optimal namun swasembada belum tercapai, maka ekstensifikasi atau perluasan lahan tanam menjadi pilihan. Tapi ini tak bisa sembarangan.
Kita perlu memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan agar tak menimbulkan bencana ekologis. Dokumen seperti ekoregion, RTRW, RDTR, dan KLHS bisa dijadikan acuan.
Jika intensifikasi dan ekstensifikasi sudah dilakukan tapi hasilnya belum juga mencukupi, maka pilihan ketiga adalah diversifikasi. Diversifikasi bisa dalam bentuk: Jenis pangan: tak hanya beras, tapi juga ubi, jagung, dan pangan lokal lainnya. Pola konsumsi: mengubah kebiasaan makan masyarakat agar tidak tergantung pada satu jenis bahan pangan saja.
Dengan begitu, jelaslah apa yang harus kita lakukan dan bagaimana melakukannya untuk mencapai swasembada lagi.
Mengapa ini penting? Robert Malthus pernah mengingatkan: saat populasi tumbuh cepat (deret ukur), sementara produksi pangan tumbuh lambat (deret hitung), hanya ada dua kemungkinan buruk yaitu wabah penyakit dan perang
Keduanya sudah pernah terjadi, dan sangat mengerikan.
Semoga tak terjadi lagi.
Wallahu aâlam bis-shawab.