Kolom Wahyuddin Junus: Ketidakpercayaan (kepada pemerintah)

  • Whatsapp
Suasana Jalan Antang (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Pertanyaan mengemuka, untuk mendapatkan perhatian, mengapa orang-orang sampai harus turun ke jalan ?

 

Read More

PELAKITA.ID – Belum hilang dari ingatan, tekanan lokalitas warga Antang menggema di atas jalan berlubang. Demi meminta hadirnya suatu institusi yang telah lama dinantikan. Tuntutannya hal mendasar yang paling menyentuh hajat hidup orang banyak. Bahkan sorotan ini telah ikut memenuhi menu pemberitaan media.

Dalam rentang waktu akhir Mei hingga awal Juni 2022, arus pemberitaan Jalan Antang Raya yang rusak mengambil perhatian yang cukup signifikan. Periode akhir bulan Mei (30/5) beberapa media online mengabarkan janji Pemerintah Provinsi Sulsel yang akan memperbaiki jalan rusak di Antang tahun ini.

Esoknya (31/5) tersiar kabar akan adanya aksi tutup jalan jam 12 siang di Jalan Antang Raya. Informasi tersebut tersebar di grUup-grup whatsapp. Namun sebelum adanya aksi, Pemprov Sulsel melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sulsel,

Selasa (31/5/2022) dalam suasana jam 7 pagi langsung melakukan pengukuran terhadap jalan Antang Raya yang mengalami kerusakan. Fakta ini terendus lewat media yang disebar via medsos.

Sesudah aksi yang berlangsung siang hingga sore, esoknya terendus kabar Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel memastikan akan segera melakukan perbaikan jalan antang raya yang saat ini sudah rusak parah. Melalui Kabid Program PUTR Sulsel Irawan mengaku saat ini sedang menyusun Detail Engineering Design (DED) habis itu baru proses lelang fisik.

Pertanyaan mengemuka, untuk mendapatkan perhatian, Mengapa orang-orang sampai harus turun ke jalan ?

Bahkan jika terpaksa, sampai harus melakukan aksi tutup jalan. Pelajaran terbetik dan terbangun stigma harus viral. Termasuk aksi warga Manggala dalam menutup Jalan Antang Raya, Selasa (31/5).

Aksi kali ini menjadi pelajaran bagi para Wakil Rakyat dan Pemerintah dalam hal ini Pemprov Sulsel. Termasuk bagi kita semua agar kita lebih memiliki rasa empati atas kebutuhan dan kepentingan publik. Namun demikian patut disadari, masyarakat kita dihinggapi mengikisnya kesadaran tentang nilai yang bermuara pada ketidakpercayaan.

Ketidakpercayaan terhadap institusi, seperti pemerintah, merupakan hambatan struktural yang dapat menciptakan apa yang disebut sosiolog Emma Brandt (2020) sebagai lingkungan ketidakpercayaan (environment of disbelief). Catatan ini tidak membedakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah sebagai lembaga dari ketidakpercayaan terhadap politisi yang secara personal merefresentasikan wakil rakyat di parlemen.

Kepercayaan memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Institusi Pemerintah dan Politisi sebagai elemen dalam negara demokrasi menjadi sorotan utama dimasyarakat khususnya terkait dengan tawaran janji-janji. Fenomena warga kali ini menggambarkan dinamika ketidapercayaan terhadap keduanya.

Tuntutan warga Manggala dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial. Hal ini termanifestasi oleh Tarrow dalam bukunya Social Movements and Contentious Politics (1998). Buku ini dengan gamblang menjelaskan gerakan sosial.

Menurut Tarrow dalam buku tersebut, gerakan sosial adalah tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang serupa, dalam konteks interaksi konfrontatif melawan kelompok elite, lawan, dan penguasa‛.

Dari pengertian ini Tarrow memandang, pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara.

Keberadaan masyarakat selaku warga negara dalam gerakan sosial tampil untuk merespon dan menawarkan solusi terhadap berbagai problem sosial yang diakibatkan dari kekuasaan politik yang dianggap merugikan.

Dalam persepsi masyarakat, jika pemerintah benar-benar peduli dan berpihak pada kepentingan orang banyak, mereka tak perlu menunggu rakyat harus turun ke jalan. Belum lagi asumsi, andai tak ada desakan warga, apakah hasil rapat anggaran perbaikan benar-benar tersentuh? Ditambah, alam bawah sadar warga sudah mengirimkan sinyalnya, “kami sudah sering dijanji-janji.

Unjuk rasa dinamai secara umum. Dikenal sebagai salah satu bentuk partisipasi dan salah satu wujud dan bentuk aktualisasi perilaku politik dalam gerakan sosial. Oleh Almond (1990), salah seorang penggagas pendekatan perilaku mengkategorikan unjuk rasa sebagai bentuk partisipasi dalam gerakan sosial. Gerakan sosial dipandang punya kesamaan dengan perilaku kolektif (collective behavior). Sama halnya, mass behaviour/perilaku massa (public opinion, fads, fashions, crazes, panics), crowds (street crowds, riots, mobs).

Namun Locher (2002) punya penilaian tersendiri. Baginya gerakan sosial berbeda dengan perilaku kolektif lainnya. Selain mempunyai karakteristik yang khusus yakni relatif memiliki struktur yang terorganisasi. Dapat dilakukan oleh beberapa individu yang memiliki kesadaran dan atas kesengajaan. Mereka terbentuk dan beraktivitas dalam jangka waktu yang lama.

Gerakan sosial berupa aksi di jalan tak harus berbentuk organisasi dan punya struktur. Meski dibangun oleh kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas. Secara ideologi dengan jelas berorientasi pada perubahan. Disertai alasannya kenapa masyarakat kurang atau tidak percaya dengan wakil rakyat.

Tapi sudahlah !Apa yang diaspirasikan oleh masyarakat sudah mendapat “Respon dan Garansi” untuk segera dipenuhi. Namun demikian, mari kita jadikan kejadian ini sebagai pelajaran bagi kita semua tanpa terkecuali, bahwa masyarakat kita sudah semakin cerdas.

Dari diskusi warkop chemistry terurai satu harapan. Mengapa tak terpikir oleh kita untuk menyediakan tempat, membuat “Ruang Simak”, agar sedini mungkin para pemimpin kota ini belajar menyimak dan mendengarkan aspirasi warga kota yang terkadang sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka tawarkan.

Jangan lagi “ruang publik” kita yang ada selama ini, hanya diisi oleh tawaran-tawaran tendensius para kandidat dan simpatisannya saat kampanye. Maka, menurut sohib kami di Manggala Tanpa Sekat, sangat tidak lucu jika ternyata “Parlemen Ngopi” kelak benar-benar terwujud. Karena akibat ketidakpercayaan publik terhadap para Wakil Rakyat dan Pemerintahnya.

Penulis: Wahyuddin Junus
Founder Jurnal Warung Kopi / Penggiat Diskusi Manggala Tanpa Sekat

Related posts