SULBAR BANGKIT: Catatan Cycling Tour 2021 Makassar – Mamuju 444 Km

  • Whatsapp
Para peserta gowes SULBAR BANGIT (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Pagi sekali, hari Kamis 1 April 2021 sekelompok goweser melakukan perjalanan panjang sekira 400 Km lebih jauhnya. Perjalanan touring kali ini kami beri tema “SULBAR BANGKIT, cycling tour 2021. Makassar – Mamuju 444 Km” dengan rencana waktu 3 hari.

Rute pertama, Makassar – Parepare. Rute kedua, Parepare – Majene. Rute ketiga, Majene – Mamuju.

Read More

Touring kali ini bertujuan memberi semangat kepada komunitas pesepeda di Sulbar khususnya kawan-kawan di Mamuju dan daerah yang kami lintasi.

Dari sisi kami sebagai goweser tentu banyak hal yang ingin dicapai. Di antaranya, melatih endurance, melatih mental, olah raga untuk sehat, menikmati wisata murah dan mempromosikannya, sosialisasi new normal life yang terus menerus harus digalakkan dengan menjaga ketat Prokes.

Di samping tujuan utama di atas, kami juga memiliki misi yang tak kalah pentingnya, yakni berbagi buku dengan komunitas literasi. Tadinya, buku akan kami bagikan ditiga kabupaten di provinsi Sulbar yang kami lintasi, yakni Polman, Majene, dan Mamuju.

Karena satu dan lain hal yang berhasil kami komunikasikan hanya, Majene dan Mamuju. Kalau di Majene penyerahan bukunya agak resmi di sebuah aula penginapan, sedangkan di Mamuju karena kepadatan acara gowes sebagai tujuan utama, maka penyerahan bukunya jauh dari kata formal. Diserahkan di bawah pohon saja setelah kami berkomunikasi dengan seorang penggerak literasi di sana.

Jadi, touring kali ini boleh juga disebut touring literasi.

Sejak berangkat dari Makassar, hampir sepanjang jalan peserta touring diguyur hujan hingga memasuki kota Parepare. Dengan situasi seperti ini tentu mengayuh sepedanya punya dinamikanya sendiri.

Tantangan dan kelebihannya sendiri, tidak sua panas matahari tapi gigil dihantam hujan dan angin. Selebihnya para goweser ini sangat menikmati perjalanannya.

Setelah beristirahat semalam, hari masih subuh kawan-kawan peserta touring sudah bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sedang bersiap-siap tiba-tiba hujan deras mengguyur bersama angin kencang yang terpa kota Parepare.

Keberangkatan pun tertunda setengah jam menunggu hujan reda. Hujan lebat, angin kencang, dan mati lampu. Tapi, peserta touring tak patah semangat, senam pamanasan melenturkan tubuh dilakukan di lobby hotel dalam suasana sedikit gelap.

Setelah setengah jam berlalu dan hujanpun tak reda, perjalanan tetap dilanjutkan karena para goweser peserta touring ini juga sudah menyiapkan mantel atawa jas hujan bersepeda. Tepat pukul 7.30 para goweser mengayuh sepedanya di tengah jibun hujan deras menerpa jalan-jalan yang dilintas.

Hanya beberapa kilometer meninggalkan kota Parepare menuju Pinrang, para goweser ini sudah disambut rolling jalan menanjak dan menurun. Walaupun tanjakannya masih terbilang sedang bila dibandingkan dengan beberapa jalan lintas di Sulawesi.

Di beberapa spot yang akan dilintas para goweser ini ada yang di ketinggian lebih dari 2000 MDPL. Jadi lintasan ini termasuk sedikit ringan karena sekira 200an MDPL. Pun masih ditemani hujan rinai yang menyejukkan.

Di tengah kota Pinrang persis di depan masjid raya, kami jeda sejenak untuk regrouping dan keperluan lainnya. Buang air kecil dan menyantap makanan ringan yang tersedia di masing-masing bawaan maupun yang tersedia di mobil support. Pistop resmi selanjutnya berada di daerah Pekkabata.

Di Pekkabata kami dijamu seorang pegowes senior di sebuah kedai dengan rupa-rupa penganan dan minuman. Dari kue dan minuman tradisional hingga buah salak yang khas dari daerah tersebut. Silaturrahim pun terjalin erat. Cerita-cerita tentang event bersepeda yang kerap diikuti mengemuka dalam istirah sejenak itu.

Dari pitstop Pekkabata, kami melanjutkan perjalanan menuju Polman di pistop selanjutnya sekaligus rehat santap siang dan salat. Di perjalanan ini saya dan kawan-kawan mencari-cari gerbang batas kabupaten dan provinsi.

Batas kabupaten Pinrang dan kabupaten Polman (Polewali mandar) sekaligus perbatasan provinsi Sulsel (Sulawesi Selatan) dengan provinsi Sulbar (Sulawesi barat). Tapi, kami tak menemukannya. Hingga mengetahui dari warga bahwa kami sudah mengayuh sepeda di aspal Polman dan Sulbar. Kecuali di beberapa kilometer kemudian setelah memasuki kabupaten Polman terdapat taman di tengah jalan melingkar dan patung sekelompok orang yang seolah menyambut kedatangan kita di Polman dan Sulbar.

Tak seberapa jauh dari taman tersebut sebelum memasuki kota Polewali, kami mampir di sebuah warung makan. Sebagai pistop untuk istirah sejenak mengisi kampung tengah sebagai amunisi agar tetap bertenaga melanjutkan perjalanan. Waktu Jeda ini, juga kami manfaatkan untuk melaksanakan shalat Dzuhur dan Azar.

Dalam setiap persinggahan selalu diwarnai percakapan berbagai hal tentang perjalanan tentunya. Tantangan dan keindahan di rute yang telah dilalui serta strategi kemungkinan-kemungkinan tantangan tanjakan yang berat pada rute selanjutnya. Kondisi pisik dan kondisi sepeda masing-masing peserta. Kekompakan tim mesti terjaga selama perjalanan panjang ini.

Abdul Rasyid Idris (dok: pribadi)

Tak ada awan dan hanya langit biru menemani kayuhan sepeda diterik mentari yang panas menembus sekira 36 derajat celcius. Cuaca panas juga menjadi tantangan selain tanjakan yang cukup terasa berat. Tapi, semangat dan motivasi yang kuat mengalahkan semua tantangan itu.

Tanjakan sedang menghadang kami di beberapa spot menuju gerbang kabupaten Majene. Lintasan Polewali dan Wonomulyo keriuhannya sudah familiar sebagai kota dagang khususnya Wonomulyo.

Pas di depan masjid besar KH. Muhammad Tahir yang di sampingnya terdapat tempat beristirahat (makam) KH. Muhammad Tahir atawa yang dikenal sebagai Imam Lapeo. Ulama besar dari Mandar, saya berhenti sejenak mengirim doa, shalawat, dan Al fatihah untuk beliau walau hanya di luar pagar saja di sisi tunggangan sepeda saya.

Waktu melintas juga bersamaan jelang Ramadhan di mana peziarah ramai datang Ngalam berkah dari berbagai daerah. Nampak kendaraan roda dua dan empat parkir berjejer panjang sebelah menyebelah jalan.

Ini bagian dari misi bersepeda saya ke depan bila diberi kesehatan dan umur panjang. Touring, spiritualitas dan literasi serta mengunjungi tempat-tempat eksotik, alam ciptaan yang maha indah dan maha segalanya. Mengunjungi dan berziarah di makam-makam ulama dan para wali dan silaturrahim dengan para penggiat literasi di sepanjang jalan rute touring yang kami lalui.

Perjalanan kali ini sudah memulainya walaupun belum maksimal seperti yang saya pikirkan karena semua berjalan cukup singkat tanpa diskusi yang mendalam dengan tema-tema yang mestinya ditentukan terlebih dahulu.

Sebelum memasuki gerbang kabupaten Majene, kami disambut tanjakan cukup panjang sekira satu kilometer walau tidak terlalu menukik tapi cukup melelahkan setelah seharian mengayuh pedal dari kota Parepare. Pun hati kami sangat senang memandang gerbang kabupaten Majene sebagai tujuan antara dan istirah semalam sebelum melanjutkan perjalanan di keesokan harinya menuju Mamuju. Penginapan yang kami tuju berjarak sekira tiga kilometer dari gerbang kabupaten Mamuju.

Sebuah hotel sederhana di jalan poros provinsi Mamuju. Semua biaya penginapan, santap malam, dan sarapan pagi difasilitasi oleh seorang goweser dari komunitas pesepeda di Makassar dan Majene, Om Umar Chalid. Beliau bertugas di salah satu Bak BUMN sebagai pimpinan cabang Majene.

Beliau juga yang fasilitasi pertemuan kami dengan komunitas literasi di Majene. Setelah semua peserta touring usai bersih-bersih badan, kami berkumpul di ruang pertemuan penginapan untuk santap malam dan silaturrahim dengan keluarga, Om Umar Chalid dan beberapa penggiat literasi kabupaten Majene.

Suasananya cukup meriah saling berkenalan yang difasiltasi oleh koordinator tim, Om Abdoellah Djabier Atawa yang akrab disapa Om Doel di kalangan goweser, dengan metode brainstorming.

Setelahnya, kami berbagi oleh-oleh kepada penggiat literasi Majene beberapa buku yang kami bawa khusus dari Makassar. Terasa sekali silaturrahim kali ini sangat menyentuh hati sehingga rasa capek dan pegal-pegal yang mengerubuti tubuh kami tak terasakan. Kami berharap momentum seperti ini bisa berlanjut pada touring-touring selanjutnya.

***

Tepat pukul 6 pagi kami sudah di pelataran penginapan bersiap-siap start menuju Mamuju. Di

awali dengan senam ringan melenturkan tubuh. Setelahnya, kami berdoa bersama meminta kepada Tuhan yang maha pengasih dan maha melindungi, agar mengasihi dan melindungi kami sepanjang jalan hingga sampai di tujuan kota Mamuju.

Karena sarapan pagi agak telat datangnya maka kami titip di mobil support dan bersepakat mampir sarapan pagi di kilometer sepuluh di tepi pantai sembari menikmati gemercik ombak pagi.

Setelah sarapan pagi usai kami melanjutkan perjalanan selanjutnya. Sesuai rencana pistop selanjutnya dua puluh kilometer lebih di sebuah spot berbukit.

Di sisi kanan jalan terdapat kedai kecil yang menyediakan rupa-rupa penganan dan minuman sederhana. Kopi, teh, milo, es kelapa, dll.

Di sisi kiri jalan terdapat destinasi wisata mancing yang berpanorama cukup indah. Karena bukit maka menuju tepi mesti melewati anak tangga yang cukup panjang dan curam yang telah dibangun pemerintah setempat. Jalur Majene – Mamuju, melintasi pesisir pantai namun berbeda dengan jalur Polman – Majene yang juga melintasi pesisir laut mamu datar-datar saja. Tapi, jalur Majene – Mamuju melintasi pesisir dengan bukit-bukit yang tanjakannya menantang. Karena jalur pantai kerap kami dihadang oleh angin yang bertiup cukup kencang. Perpaduan yang cukup menyiksa, tanjakan dan rintang angin yang cukup kencang.

Sebelum tiba di rumah makan bukit tinggi sebagai pistop resmi untuk santap siang, salat dzuhur dan azar, dan istirahat sejenak meluruhkan penat, kami dan tim berjibaku menyelesaikan tanjakan yang cukup panjang di daerah Malunda.

Konon, tanjakan jalur ini setelah daerah Tappalang menuju Mamuju yang elevasinya 2250 MDPL termasuk rute tersakral oleh para petouring. Walau menguras tenaga tapi tetap kami santai melaluinya. Bercanda bersama kawan-kawan salah satu cara melawan ganasnya tanjakan. Di pucuk jalan tanjakan ini sebelum menurun di sisi kiri terdapat warung makan bukit tinggi sesuai kondisi alamnya.

Kami kembali mampir mengisi kampung tengah alias bersantap siang dan menunai beberapa keperluan lainnya, diantaranya salat dzuhur dan azar, bersih-bersih badan agar tetap segar diterik matahari yang membakar.

Saya dan beberapa kawan sempat tertidur beberapa menit setelah keperluan lainnya tertunai semua.Kemudian setelahnya kembali menyusuri jalan-jalan panjang dengan cuaca yang cukup menyengat dan rolling jalan yang semakin menantang. Sekira dua kilometer sebelum tiba di pistop selanjutnya di daerah jembatan bolong, kami dapat bonus jalan menurunan yang cukup panjang dan curam sekira dua kilometer.

Di tempat ini kami kembali regrouping persiapan menghadapi tanjakan sangat terjal berliku dan panjang, sembari berfoto-foto ria dengan latar belakang jembatan bolong.

Setelah istirah sejenak dan mengambil gambar usai, kami melanjutkan perjalanan dengan mempersiapkan segalanya khususnya mental dalam menyusuri jalan panjang nan terjal. Dua kilometer pertama saya pribadi sudah sangat terasa tenaga yang terkuras.

Setiap kelokan mengantar kami menjalani pendakian yang cukup tajam. Hampir setiap satu kilometer saya jeda mengambil napas dan menyesap minuman yang tersedia di bidon. Betul kata teman-teman yang pernah touring melintasi jalan ini, bahwa medannya termasuk yang tersulit belum lagi keriuhan kendaraan besar yang lalu lalang membawa barang ke Mamuju.

Semuanya membutuhkan konsentrasi dan kondisi pisik dan mental yang prima.

Etape ini, akhirnya terbagi tiga pleton sesuai kemampuan pisik. Saya berada di pleton ketiga Atawa yang terakhir karena banyak jeda. Jalur berat tapi nikmat jelajahinya. Karena suguhan keindahan sepanjang jalan.

Jurang sebelah menyebelah jalan dan deretan pegunungan nan indah. Daerah Tappalang inilah kala gempa bumi beberapa waktu lalu termasuk yang mengalami goncangan yang cukup kuat dan mengalami banyak korban.

Di beberapa spot sepanjang jalan kami masih menyaksikan bekas longsor yang sudah dirapikan. Sepanjang jalan perkampungan masih banyak warga yang berumah di tenda-tenda. Tenda-tenda organisasi kemanusiaan juga masih terlihat di sana sini.

Setelah bergelut tantangan berat yang memacu endurance sepanjang jalan, akhirnya kami tiba di gerbang kota Mamuju kala mentari sudah pergi di balik semesta lain. Sebagai pleton akhir memasuki gerbang kota, sangat bahagia rasanya disambut meriah para goweser dari berbagai komunitas di Mamuju. Di antaranya, Marsel (Manakarra Sepeda Lipat), MCC (Manakarra Cycling Comunity), MBC, dan ABCC.

Abdul Rasyid Idris saat menjajal jalur SULBAR BANGKIT (dok: istimewa)

Dari gerbang kota Mamuju, kami melanjutkan bersepeda ke kantor cabang PT. Haji Kalla (Toyota) cabang Mamuju. Di kantor yang luas dan sejuk ini kami bersilaturrahim dengan sangat akrab. Juga mengasup pelbagai penganan dan minuman ringan.

Lagi-lagi touring kali penuh suka cita yang mengharukan. Sekira tiga puluh menit di ruang sejuk dan bersih itu, kami sepedaan lagi ke salah satu warung makan milik anggota komunitas untuk bersantap malam. Usai santap malam, kami di antar ke tempat istirahat di lokasi yang paling tinggi di kota Mamuju. Pintu anjoro atawa tujuh kelapa. Di puncaknya tertulis Mamuju City yang nampak dari seluruh spot di kota Mamuju.

Dari lokasi ini kota Mamuju nampak nampak bak pernak pernik hiasan indah di malam hari. Tadinya semua peserta touring akan berkemah, tapi satu dan lain hal hanya satu tenda saja terpasang selebihnya termasuk saya tidur di aula (panggung) yang tidak berdinding tapi cukup menyenangkan. Tempat ini, kami difasilitasi oleh pemerintah daerah setelah sebelumnya kami bersurat.

***

Keesokan paginya bersama komunitas sepeda yang menjemput tadi malam, kami bersepeda mengelilingi kota Mamuju sembari menyaksikan puing-puing bengkalai sisa gempa yang masih nampak di sana sini. Termasuk kantor gubernur yang rusak parah.

Dari kantor gubernur kami diantar ke markas angkatan laut. Di sebuah dermaga yang diparkir sebuah kapal perang berukuran sedang, di sisinya telah tersaji teratur di atas sarapan pagi dengan rupa-rupa penganan termasuk buah dan minuman. Indah sekali jamuan kali ini di sisi sebuah kapal perang dengan pemandangan pulau karampuang yang eksotik nampak di sebelahnya. Silaturrahim terjalin sangat akrab dan rasa syukur pun meluap mengangkasa jauh mengalahkan segala lelah dan letih.

Mamuju yang berjuluk “Bumi Manakarra” yang juga berarti “Bumi pusaka sakti” yang kerap pula dianekdotkan sebagai Mamuju – Maju mundur jurang. Sebagai gambaran kekuatan jiwa dan pekerja keras warganya serta kondisi geografis buminya yang dipenuhi pegunungan dan lembah indah.

Puluhan tahun baru sempat mengunjunginya lagi setelah berdiri sebagai provinsi pada 5 Oktober 2004. Kunjungan perdana setelah sekian lama dengan bersepeda pula. Alhamdulillah semoga kota dan provinsi ini semakin maju dan berkembang dalam berbagai hal.

Peserta touring kali ini sebanyak 15 orang. 10 orang bersepeda dan 5 orang supporting. 2 buah kendaraan roda empat. InshaAllah touring selanjutnya melintasi Sulawesi tenggara dari Bau-bau ke Malili Lutim dengan tema “Beautiful Southeast Sulawesi”

 

Penulis:

Abdul Rasyid Idris

Makassar, April 2021.

 

Related posts