Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M Zulficar Mochtar: Bangun maritim Indonesia timur dengan BUMD

  • Whatsapp
Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M. Zulficar Mochtar, (dok: KKP)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Bro Rivai Center menggelar BRC webtalk Quo Vadis Sumber Daya Maritim Indonesia Timur di Era COVID-19 pada Sabtu, 11 Juli 2020. Menurut founder BRC yang juga akademisi Universitas Pertahanan, Dr Rivai Raas, secara umum, webtalk ini didasari karena belum optimalnya pembangunan maritim Indonesia selama satu dekade terakhir.

Acara ini menghadirkan Dirjen Perikanan Tangkap, KKP, M Zulficar Mochtar, Prof Jamaluddin Jompa (Unhas) serta Dr Herman Khaeron (Demokrat, DPR-RI).

Read More

Dalam paparannya, Zulficar menyebut bahwa potensi perikanan nasional dapat dilihat pada peta 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang ada. “Total potensi saat 12,54 juta. Total allowable catch 80 persen dari jumlah tersebut,” katanya. Jumlah ini masih di luar potensi tuna.

Ditambahkan, di luar potensi perikanan laut, ada perairan darat, sungai, danau, yang punya potensi. “Estimasi sekitar 3 juta ton lagi, ini potensi cukup besar. Data produksi tahun 2019, itu belum sampai 8 juta ton, ada gap yang cukup signifkan.”

Dia juga menyebut bahwa sejak awal Pemerintahan Jokowi, telah ada upaya serius untuk menanggulangi praktik IUFF. “Saat itu, ribuan kapal masuk ke Indonesia mencuri ikan Indoensia dan diekspor, banyak modus,” katanya.

Saat ini, kata Zulficar, merupakan momentum emas untuk mengefektikan pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada.

Mangkrak

“Situasi di lapangan, semua wilayah timur mengklaim potensinya, Papua, Halmahera, Sultra, Sulbar, Gorontalo, mengetahui bahwa ini sangat signifikan ada tuna, kerapu, kakap, cumi, potensi luar biasa, tetapi kita ngecek ke pelabuhan masing-masing bnayak tidak beroperasi ideal,” katanya.

“Ada lebih seribuan pelabuhan, ada 538 pelabuhan ada data base, mayoritas pelabuhan mangkrak, tidak ideal, kenapa? Serba hidup segan, mati ogah. Ada karena pendangkalan, dermaga kurang, tambat labuh dan lain sebagainya,” tuturnya.

Dia menyebut bahwa di Pusat sudah ada standar ISO agar pelabuhan bisa optimal, tetapi di daerah cukup banyak yang mangkrak.

“Kenapa? Karena tidak ada alokasi anggaran signifikan yang dialokasikan. Sumber pamasukan tidak ada, harus ada terobosan di daerah,” imbuhnya.

“Untuk pendanaan, sebenarnya, kenapa daerah tidak punya sumber dana, karena mayoritas provinsi atau kabupaten tidak punya BUMD perikanan tangkap untuk membangun industri perikanan tangkapnya. Tidak ada spesifik aliran dana yang masuk, hanya restribusi,” katanya.

Beberapa rekomendasi

Terkait realitas tersebut, Dirjen Perikanan Tangkap menyampaikan beberapa rekomendasi.

Pertama, yang harus dibangun adalah semangat kemandirian di tingkat daerah, di Indonesia timur. “Perlu trategi kemandirian tata perikanan karena potensi yang ada sangat besar, melalui apa? Hidupkan BUMD,” katanya.

Dia menegaskan ini dengan memberi hitung-hitungan. “1 kapal ukuran 100 groston bisa menghasilkan 8 hingga10 miliar per tahun. Kalau ada 1 kapal, 8 miliar, kalau tata kelola benar, kalau ada 100 kabupaten kota di Indonesia yang punya 20 atau 10 kapal, di WPP 714, 716, 718, 713, bahan 573,” tantangnya.

“Artinya, dengan 20 kapal itu mereka bisa memiliki anggaran sekitar 100 miliar setahun, dengan dana 200 miliar cukup membenahi pelabuhan, fasilitas, alat tangkap, cold storage,” katanya.

“10 atau 20 kapal saja untuk 100 kabupaten, artinya 2000 kapal bisa dikembangkan lagi untuk Indonesia, untuk menambah produksi atau pendapatan kita tentu saja akan berkembang dan distribusi dalam kota akan berkembang,” imbuhnya.

Dengan demikian, kata Zulficar, dampak ikutannya adalah pada tenaga kerja. “Ketika bicara 100 kapal ini akan ada 30 orang akan bekerja di atasnya, ada berapa total tenagah kerja di hulu, ini belum ke hilir, itu akan semakin banyak,” sebutnya.

Kedua adalah menghidupkan pelabuhan. “Mulai hidupkan BUMD dan diikuti pengadaan kapal. Produksi tahun 2019 dan stok, pada 5000 kapal itu belum mencapai MSY. Ini momentum besar, kalau tidak, daerah (di timur) hanya akan jadi penonton dari pelaku dari luar,” ucapnya.

“Kenapa orang bawa ke barat karena infrastrukturnya di sana. Bangun armadanya. bangun BUMD, channeling ke Pemprov untuk dapat dapat anggaran,” tambahnya.

“Lalu kedua, kita banyak produksi tapi kadang-kadang yang lolos ekspor tidak sampai 20 persen. Ikan tersebar di mana-mana, justeru kita kumpulnya di tempat lain. SDM harus dibenahi. Di Sulut, di Bitung itu, kita melihat tangkapan tuna cukup signifikan, ada grade A, B, C, 70 – 80 kg,” jelasnya.

“Kalau grade C dan D bisa belasan ribu saja, ada potensi lost karena saat mengelola perikanan tangkap belum dengan kaidah dan faslitas yang memadai, ikan dijemur,  ada salmonella, sehingga untuk itu cold storage kita benahi,” jelasnya.

“Kita benahi tata kelola, dengan ramah lingkungan. Ini bisa mendorong peningkatan ekspor signifikan bagi daerah, karena ini yang akan menjadi persoalan di lapangan,” lanjutnya.

“Apalagi di wilayah teritorial, di ZEE. Kalau saya lihat di konsentrasinya, banyak di kapal 10 groston, perhatian pun ke nelayan kecil untuk pengadaan yang antara 10-30 groston, ke (ukuran) atasnya perlu mendapat perhatian serius,” ungkapnya.

Zulficar menilai bahwa ada ribuan alumni perikanan, nautika, mekanika ada di luar negeri dan harusnya bisa membantu daerah untuk penankapan ikan. Membangn SDM ini ini dengan menghidupkan bagaimana ketenagakerjan itu. Kita bisa hitung di hulu hilir. “Makanya ini yang perlu menjadi konsentrasi bagimaana SDM, sudah ada vokasi,” tambahnya.

Lebih lanjut dia menegaskan bahwa perlu pelibatan atau inisiatif dari kampus. “Saya mendorong kampus sebagai prime mover, capacity center, untuk mulai masuk ke laut dan kapal-kapal berukuran besar agar efektif di sana. Ini perlu didorong ke depan, butuh ribuan kapal untuk itu,” katanya.

“Ada 1600 kapal di ZEE, akan tetapi perlu ribuan di ZEE itu. Kalau ini kita dorong akan menjadi optimal,” sebutnya.

Dia menyampaikan terima kasih kepada Prof Jamaluddin Jompa, penasehat MKP, yang telah mendorong kolaborasi perguruan tinggi melalui Mitra Bahari, pelaku usaha, NGO, dalam satu forum sehingga ada semangat stakeholder untuk mengisi dari sisi kebijakan.

“Selain ZEE, pelabuhan-pelabuhan hub-hub perlu dirapikan perizinan dan tata kelolanya, ke depan kita akan antisipasi,” lanjutnya.

“Lalu bergesernya pola perikanan berbasis WPP, bersama Bappenas, ISLME FAO, UNDP, ada insiatif mendorong adanya tata kelola berbasis WPP yang efektif, termasuk budidaya. Tidak saja DJPT tetapi semua DJ bisa ke sana, ada scientific authority di sana, kampus bisa di sana,” jelasnya.

Di ujung paparannya, Zulficar menyebut bahwa saat ini ekspor mulai terbuka. “Sempat ada stuck, di triwlan pertama. Kita optimis di triwulan ketga, perikanan tangkap dan budidaya bisa bounch back,” harapnya.

Menurutnya, perikanan tangkap RI potensinya masih sangat signifikan. “Tetapi bukan itu saja, tidak bisa dengan pola itu saja. Perlu inovasi, sistem retail, start up, model IT dan fasilitasi sehingga nantinya tidak bergantung, ada modifikasi,” tutupnya.

Related posts