CERITA BILIK SEBELAH: Elaborasi alumni atas hasrat perpanjangan jabatan Kades

  • Whatsapp

DPRD Makassar

JAKARTA, PELAKITA.ID – Jakarta, Jantung NKRi riuh oleh aksi demonstrasi sejumlah kepala desa. Mereka mendesak perpanjangan durasi jabatan kepala desa.

Demonstrasi itu berlangsung setelah UU Desa beranak pinak selama hampir satu dekade.

Pemerintah bersama DPR  harus mempunyai pertimbangan objektif, akomodatif dan tanggap akan konsekuensi dampak dalam memutuskan menerima atau menolak usulan revisi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana di dalamnya ada durasi jabatan kepala desa sebagaimana harapan pada Kades itu.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tercatat memiliki 84.096 desa dan kelurahan pada tahun 2021.

Diberitakan 15 ribu Kepala Desa se-Indonesia pada Hari Selasa tanggal 17 Januari 2023 menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR -RI. Mereka menuntut  penambahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Terkait itu, muncul antusiasme alumni Unhas untuk mengelaborasi perlu tidaknya memperpanjang jabatan itu. Apa saja yang seharusnya menjadi prioritas dalam membangun desa, siapa melakukan apa.

Pelakita.ID menyarikan poin-poin kunci dan krusial terkait motif di balik hasrat perpanjangan masa jabatan Kades itu dengan kondisi tak menyebutkan nama pemberi komentar.

Alasan

Ada yang menyebut perpanjangan itu dibutuhkan untuk mengamankan rencana kerja kepala desa yang multiyear.

Mereka berdalih ada banyak rencana pembangunan desa tidak berjalan utuh atau tertahan karena kepala desa habis masa jabatannya.

Ada yang pro dengan perpanjangan ini. Mereka menyebut 9 tahun masa jabatan dan hanya satu periode itu bisa dipertimbangkan dengan upaya pengawasan yang ketat. Ini bisa bermanfaat bagi pemangkasan biaya Pilkades yang selama ini ditanggung APBD Kabupaten.

Pandangan sebaliknya pun mencuat.

Mereka tidak setuju dengan penambahan jabatan dan menyebut Kades harusnya tak melihat dirinya sebagai alasan tetapi bagaimana dia menjalankan atau mengawal masyarakat desa untuk berinisiatif.

Kades harusnya lebih fokus pada usaha menjalankan pemerintahan yang akuntabel, transparan  hingga mengevaluasi program pembangunan desa bersama masyarakatnya, bukan dengan kroni atau cukong perencanaan dokumen seperti konsultan RPJMDes, RKPDes hingga pendirian Bumdes yang kerap bersoal.

Bagaimana pun, usaha minimal seperti mengawal perencanaan yang baik adalah satu salah kinerja atau performa yang layak dibanggakan ketimbang mengelola program tetapi sarat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron perlu merilis data bahwa sedikitnya 686 orang oknum kades dari berbagai daerah di Indonesia telah ‘terjerat’ kasus korupsi berkaitan dengan pemanfaatan maupun penggunaa hingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Data KPK RI  dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi Dana Desa di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, telah menjerat  686 kades di seluruh tanah air.

Kedua, bukan rahasia lagi kalau praktik korupsi di desa sudah menggurita dan menjadi alasan bahwa perlu pengendalian jabatan dan audit sosial atas dampak pembangunan desa.

Oleh sebab itu, Pemerintah dan DPR harusnya fokus pada pemantauan dan evaluasi sehingga dapat memberikan masukan mengenai mekanisme perencanaan dan segala input pendampingannya.

Sejauh ini apa koreksi untuk eksekutif seperti Kementerian Desa? Apa penekanan mereka saat melihat banyak praktik korupsi di penggunaan dana desa?

Ada yang retoris, masa’ banyak Kades korup, solusinya perpanjangan masa jabatan?

Mengapa bukan koreksi atau pengendalian melalui penegakan hukum dan advokasi program berikut upaya pembehahan administrasi dan kelayakan perencanaan misalnya?.

Menurut salah seorang guru besar ilmu hukum dan tata negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tetap perlu untuk memastikan apa yang menjadi alasan perpanjanganya oleh Kades ini.

“Adakah ratio decidendi-nya kades minta masa jabatan 9 (sembilan) tahun itu?” tanyanya.  Menurutnya, orang yang terlalu lama berkuasa cenderung menjadikan kekuasaan nya seperti miliknya sendiri.

“Itulah mengapa perlu dilakukan yang namanya limitation of power. Selain itu, cenderung menyimpang atas abuse of power-nya,” ucapnya.

“Harus dicarikan masa jabatan ideal, misalnya, dua kali masa jabatan dan setiap masa jabatan maksimal 3 tahun oleh karena kepemimpinan pemerintahan di tingkat desa begitu dinamis,” tambahnya.

Dia menyebut, Pemerintahan Desa ujung terdepan pemerintahan pusat sehingga yang menjadi soal utama sebenarnya bukan pada masa jabatan kepala desa namun pada kapasitas SDM aparatur desa yang belum bisa membuat perencanaan desa melalui RPJM Desa.

“Kalau tuntutan kepala Desa itu lebih bersifat politik kekuasaan bukan bagaimana desa lebih berdaya dengan meningkatkan kapasitas SDM atau SDA-nya,” ucapnya lagi.

Dia menilai, tata kelola pemerintahan Desa masih belum baik. “Ini juga yang mengakibatkan kinerja pemerintahan desa sangat lamban melakukan respon warganya alias seringkali keteteran dalam melakukan pelayanan,” tandasnya.

Ada interest politik

Pandangan lain disampaikan alumni Unhas yang saat ini menjadi konsultan pembangunan desa.

Dia menyebut motif kepala desa itu tidak bisa dipisahkan dari interest mereka pada momentum tahun politik dimana Parpol saat ini sedang mencari perhatian publik sehingga mereka, atau politisi, akan tergiur dengan tawaran kades untuk menambah masa jabatannya.

“Tapi seandainya 9 tahun diterima dan itu hanya untuk satu periode saja maka pupuslah harapan kades kades itu padahal Kades demo pun kalau pakai pendekatan kepatutan, mereka menggunakan fasilitas desa rakyat, pantaskah? Ini perlu diselidiki,” ucapnya.

Menurutnya, selama ini posisi kepala desa itu menurut UU, 1 periode setara dengan 6 tahun dan bisa dipilih maksimal 3 periode.

Ide perpanjangan ini datang dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia atau APDESI. Merekalah yang belakangan ini aktif wacanakan untuk 9 tahun. Sekarang rerata mereka sudah masuk periode ke 2.

Pandangan lain juga disampaikan oleh alumni Unhas yang bekerja untuk LBH Makassar.

Menurutnya, timeline workplan RPJM Desa bisa dijadikan pertimbangan; barapa waktu yang logis yang dibutuhkan untuk eksekusi perencanaan desa.

Maksudnya, apakah di dalam rencana itu sudah disebutkan time limit-nya atau waku pelaksanaan program.

Terkait hasrat berkuasa kepala desa itu, peserta diskusi lainnya, seorang alumni penikmat puisi berseloroh, kalau bicara keinginan menambah durasi jabatan ini teringat iklan furniture, kursi merek LIGNA dulu.

“𝙆𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙙𝙪𝙙𝙪𝙠, 𝙡𝙪𝙥𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙧𝙞,” ucapnya.

Kapasitas tambahan dan pengawalan

Bagaimana pun Pemerintah Desa harus punya kapasitas manajerial termasuk teknis pemerinttahan. Mereka umumnya datang dari tokoh yang langka pengalaman pemerintahanan.

Oleh sebab itu, salah seorang pilar IKA Unhas Wilayah Sulawesi Selatan berujar agar dibuatkan serangkaian program penguatan.

“IKA Unhas perlu buat program pelatihan atau pendampingan,” imbuhnya.

Berdasarkan obrolan di grup alumi, Sang Profesor menengarai program otonomi desa belum berjalan secara baik.

“Yang lebih disukai sekarang karena adanya Dana Desa yang mengalir, namun peruntukan dan pemanfaatan itu yang lemah. Ini karena perencanaan, contoh simpel pembentukan Bumbes yang harusnya sesuai dengan potensi desa,” lanjutnya.

Sang Penikmat Puisi berharap adanya pandangan pakar hukum atau politik. “Perlu kejelasan ke mana politik hukum menjawab perpanjangan masa jabatan itu,” katanya.

“Pelatihan memang sangat esensial bagi kepala besa biar merata knowledge para kepala desa itu. Dan kita pasti sepakat dengan Pak Prof  untuk perbaiki perencanaan ketimbang meminta perpanjangan jabatan,” ucapnya.

“Saya kira perlu pembatasan. Ini sudah kategori doktrin hukum Prof Ilmar tentang Limitation of Power. Tanpa 𝙡𝙞𝙢𝙞𝙩𝙖𝙩𝙞𝙤𝙣 𝙤𝙛 𝙥𝙤𝙬𝙚𝙧, 𝙗𝙚𝙧𝙥𝙤𝙩𝙚𝙣𝙨𝙞 𝙢𝙚𝙢𝙪𝙣𝙘𝙪𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙞𝙛𝙖𝙩 𝙤𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙟𝙖𝙗𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙣  itu pasati, 𝙩𝙝𝙖𝙩 𝙞𝙨 𝙖𝙗𝙪𝙨𝙚 𝙤𝙛 𝙥𝙤𝙬𝙚𝙧,” sebut Sang Penyair.

***

Jurnalis Kawakan, salah seorang inisiator grup WA Kolaborasi Alumni Unhas menyebut pekerjaan rumah kita termasuk akademisi, NGO , Kelompok Bisnis dan swasta ini membantu mereka pemerintah desa dan masyarakat desa membuat perencanaan dan  program desanya.

“Sekarang yang harus dilakukan adalah membantu Kades-Kades ini supaya dalam menyusun  program prioritas di desanya dan terkoordinasi dengan program Pemda.  Melatih Kades mengelola. anggaran dan membuat pertanggungjawaban kegiatan adalah pilihan basgu,” ucapnya.

“Program alumni Unhas masuk desa bisa diprogramkan. Mendampingi setiap Kades dalam menyelenggarakan pemerintahan desa,” tambahnya.

“Kita perlu bermimpi, di setiap desa di Sulsel ada alumni Unhas yang menjadi pendamping desa bahkan jadi Kades,” lanjut Sang Pencerah.

“Bagaimana caranya, kita mulai dari FGD desa. Strateginya digodok di situ. FGD bisa melibatkan Kades, bisa dizonasi kegiatannya,” pungkas Tokoh of The Year dari Butta Salewangang versi Pelakita.ID.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts