“Kanda Opu”, sebuah surat terbuka: Ilham Anwar

  • Whatsapp
Ilham Anwar dan Kanda Opu. (dok: istimewa)

DPRD Makassar

“Mengalir begitu saja, sampai menemukan muaranya sendiri.”

Andi Moch. Yayath Pangerang : 1958 – 2020.

Read More

 

Dear, Kanda Opu.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam terang, lapang, dan sejahtera.

Apa kabar, Kanda Opu?

Saya, juga kami semua sahabat dan kerabat Kanda Opu, tetap dalam doa dan keyakinan bahwa Kanda Opu dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Kami semua, –meski situasi belum membaik terutama karena wabah—, pun terus berusaha bersiasat sebaikbaiknya menghadapi kenyataan, yang pada hakikatnya kaya “nutrisi hikmah” ini.

Sebelum lebih jauh menuliskan surat ini, izinkan saya mengutip secara verbatim sebaris kalimat yang Kanda Opu torehkan sebagai tag-line pada laman blog pribadimu: http://mochyayathpangerang.blogspot.com. untuk menjadi “prolog” surat –yang saya mohon perkenan pula—menjadi sebuah “surat terbuka”.

Itu sekaligus sebuah upaya agar orang-orang yang tak mengenalmu menjadi paham siapa dirimu.

Lalu akar ingatan orangorang yang telah mengenalmu akan semakin kokoh. Itu menurutku penting untuk seorang tokoh dan karakter yang “tak biasa” sepertimu.

Ya Kanda Opu, dirimu sungguh adalah yang “mengalir begitu saja, sampai menemukan muaranya sendiri”. Karena itu, perkenankan saya juga bertutur secara “mengalir begitu saja” lewat surat ini.

Saya yakin, dari hulu manapun narasi saya bermula, dari sosokmu yang sungguh bersegi-segi, atau meminjam ungkapan Nirwan Ahmad Arsuka tentangmu: “penuh warna”, akan tiba jua kita pada muara kedirianmu yang “solid”, yang membentangkan samudera dan horizon tentang banyak hal yang terkait dengan dirimu. Meski mungkin tak bisa terhindari, saya akan berusaha menyedikitkan ungkapanungkapan bernada puja-puji tentangmu.

Selain saya yakin dirimu tak begitu suka, saya ingin apa yang saya tuliskan tentang dirimu adalah sesuatu yang “otentik”. Baik yang hadir lewat interaksi langsung kita secara personal selama ini, lewat forum “resmi” maupun kongkow bareng kawan-kawan di warung kopi saat-saat kita mengguyur kerongkongan dengan perbincangan tentang beragam topik yang kadang ajeg, kadang acak, namun pastinya: tak kadul. Maupun lewat membaca buah pikirmu lewat berbagai tulisan. Ada yang sempat kita bincangkan lebih jauh, ada yang tidak. Serupa dengan pengalaman banyak sahabatmu, juga banyak kisah tak tertuturkan (untold stories) sepanjang kita bersama, Kanda Opu.

Sepanjang riwayat kita berkomunikasi, ini untuk pertama kali saya menulis surat kepadamu Kanda Opu.

Tak seperti lazimnya, berbincang langsung –tak jarang hingga larut tak terasa kita harus membasuh diri dengan wudhu subuh—, atau chatting dan sms, dan saling menelepon.

Kanda Opu, juga orang-orang yang (akan) membaca surat ini, pasti paham sepenuh maklum. Kanda Opu Yayath, nan senantiasa dirahmati Allah SWT tak berbatas. Cukup lama kita tak saling berkabar. Seingatku, terakhir kita berbalas pesan melalui aplikasi whatsapp, juga lalu telpon-telponan, pada awal hingga pertengahan September 2020.

Topik percakapan terakhir kita, saat saya mengabarkan bahwa Prof. Dr. Salim Said – bersama Zulfikar Yunus— sedang akan melanjutkan upaya penerbitan buku memoar Rahman Arge, yang telah diupayakan om Arge secara autobiografik, namun terhenti kerena Beliau berpulang.

Saya menyampaikan pesan Zulfikar untuk meminta kesediaan Kanda Opu untuk mengkontribusikan tulisan tentang Om Arge kepada dua tokoh budayawan yang mereka anggap penting –dan saya sependapat— untuk bisa menyumbang tulisan dalam buku yang akan diterbitkan itu: Andi Moch. Yayath Pangerang dan Nirwan Ahmad Arsuka.

Ketika itu, Kanda Opu tak tegas mengiyakan atau lebih tepatnya tak menyimpan janji untuk menyampaikan tulisan.

Kanda Opu hanya bilang, akan cari waktu menulis. Itu saya paham sepenuhnya, selurus saya paham bahwa Kanda Opu sedang berusaha melanjutkan lagi upaya menghimpun perhatian dan sinergi para “pemangku kepentingan” (terutama para birokrat pusat dan daerah, akademisi lintas disiplin, budayawan, dunia usaha/industri – terutama yang berbasis sumber daya alam—, dan tak kurang pentingnya: kalangan civil society), dalam melihat betapa asa me(re)vitalisasi Teluk Bone akan berdampak dahsyat bagi masyarakat dan tentu saja bagi negeri ini, bila terkelola dengan baik.

Seperti kata Kanda Opu, Teluk Bone adalah “halaman belakang” (backyard) selangkang nusa Celebes yang tak – cukup— terurus secara cakap sehingga semestinya bisa menjadi lebih “cakep”!.

“Mari kita belajar pada kecenderungan laku kultural “orang barat” yang menata “ruang hidup” mereka secara menyeluruh, tak terkecuali: halaman belakang”, katamu dalam nuansa komparatif.

Itu membuat saya menduga Kanda Opu sedang berhikmah lewat layar realitas kultural kita –tak terkecuali dan khususnya: dalam kultur Bugis-Makassar— yang lebih terkonsentrasi menata serambi depan dan “ruang tamu” dalam konteks “mappakaraja tauana” (memuliakan tetamu).

Tak peduli bagian lainnya apik atau tidak. Dan, seperti kelaziman Kanda Opu bila menanggapi respon, apalagi bila (nampak) jitu atau meleset jauh, akan terbahak.

Ketika itu Kanda Opu memekik dalam tawa renyah: “Nah. Itu! Ha..ha..ha…!”.

 

***

Seperti biasa dan yang sudah-sudah, Kanda Opu begitu getol mengajak orang melihat kemungkinan-kemungkinan baik bagi masa depan. Terutama untuk masyarakat. Dan itu mulia semulia-mulianya, bahkan meski sejak berwujud niat ataupun gagasan.

Saat saya merogoh kantong ingatanku tentangmu, satu hal yang begitu kuat memancang: dirimu adalah semacam hulu gagasan yang tak pernah paceklik. Dan itu mancur dari begitu kentalnya kepedulianmu terhadap berbagai fenomena, terutama sosial dan kultural, yang ada di sekitar dirimu.

Sekitarmu yang dekat, maupun yang jauh namun datang mendekati pikiranmu.

Terkadang banyak hal yang luput dari perhatian orang. Sebut misalnya: Koperasi Seniman, yang didirikan di Gedung Kesenian Makassar. Atau, bila sebagian orang baru belakangan memikirkan ekonomi kerakyatan –sebagai pikiran yang turut diwariskan oleh founding father negeri kita Bung Hatta—, Kanda Opu sejak dulu masygul tentang surutnya perhatian orang pada itu, seiring makin merebaknya kapitalisme di negeri yang sejatinya berkultur ekonomi “gotong-royong” ini.

Kanda Opu mengajak kawan-kawan menggelar kegiatan kubudayaan berbalut gerakan menumbuhkan kesadaran ekonomi, bertajuk “Kemah Seni dan Pasar Rakyat” di Taman Miniatur Sulawesi Selatan (Sulsel), di areal cagar budaya Benteng Somba Opu. Tak tanggung-tanggung, Kanda Opu berhasil mendatangkan seorang ekonom Universitas Gajah Mada yang dikenal sebagai penggagas “Ekonomi Pancasila”: Prof. Dr. Moebyarto (alm.), menjadi pembicara utama dalam seminar yang menyertai event itu. Atau ketika masyarakat memperingati hari jadi provinsi Sulsel yang “diperbaharui”, itu juga tak lepas dari kerja “gerilya” Kanda Opu. Sebuah “tugas khusus” dari Gubernur HZB Palaguna.

Kanda Opu bersama sejumlah kawan –Salahuddin Alam, salah satunya— menggelar seminar pada 18 dan 19 Juli 1995 di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulsel, yang menyajikan 19 makalah utama dari para pakar lintas disiplin ilmu, dalam upaya perumusan kembali hari jadi Sulsel. Walhasil, ditetapkanlah hari jadi provinsi Sulsel “yang baru”: 19 Oktober 1669, yang kemudian dikukuhkan dengan mendapatkan persetujuan parelemen provinsi lewat Peraturan Daerah Sulsel Nomor 10 Tahun 1995.

Di pembukaan seminar itulah untuk pertama kali dalam sejarah hidupmu menjadi dirijen “Indonesia Raya”, memandu Gubernur Sulsel, para pejabat teras, dan ratusan hadirin meresapi lagu kebangsaan kita itu.

Tapi, seberapa sering Kanda Opu lupa hal-hal baik yang pernah Kanda Opu lakukan sepenuh hati, serupa lupa pada hari jadi provinsi Sulsel yang dikucuri peluhmu itu? Untunglah Andi Panduaji Warani Paoladeceng, anakmu penyuka Taekwondo itu pernah mengingatkanmu, seperti yang Kanda Opu ceritakan di artikel: “Hari Jadi Orang Sulawesi Selatan”. https://makassar.tribunnews.com/2014/10/21/hari-jadi-orang-sulawesi-selatan.

Kanda Opu Yayath, nan santun dalam tutur dan laku.

Mari mengulik lagi lembar-lembar ingatan tentang gagasan dan kiprah Kanda Opu dalam berbagai ladang dedikasi: lembaga kemahasiswaan, kelompok diskusi, riset sosialbudaya, organisasi pergerakan mahasiswa, ke-pramuka-aan, pencinta alam, olahraga (panjat dinding), kesenian/kebudayaan, koperasi, lembaga swadaya masyarakat, –bahkan partai politik!—, dan sebagainya.

Segala cara dan siasat pernah Kanda Opu coba untuk memberi makna dan guna bagi masyarakat. Sungguh surat terbuka ini butuh menjadi buku dengan bab-bab panjang untuk itu. Semoga kelak para sahabat dan kerabat bisa berhimpun untuk mengupayakan terbitnya buku serupa itu. Agar resonansi atas gagasan-gagasanmu nan mulia dapat menginspirasi lapis-lapis generasi bangsa kita selanjutnya.

 

***

Saya dan Kanda Opu telah merajut persaudaraan sekitar 31 tahun lamanya. Sebuah rentang masa yang bisa dibilang tak singkat, memang. Namun, lewat pengalaman yang diceritakan sejumlah senior aktivis mahasiswa se-almamater kampus kebanggaan kita Universitas Hasanuddin (Unhas) maupun luar kampus, selalu saja ada rasa “iri” jika menyimak berbagai riwayat nostalgik tentangmu.

Kisah-kisah itu bagiku sungguh “epic”. Rasanya ingin berada di sana, melompat masuk pada tiap peristiwa seru yang dikisahkan orang-orang tentang pengalaman mereka bersamamu.

Ketika pertama kali mengenalmu, membaca namamu di dokumen-dokumen resmi organisasi yang kerap saya temui –yang di atasnya sering berbubuh tanda tanganmu yang simple tapi unik—, saya semula mengira Kanda Opu seorang berdarah Sunda yang lahir dan dibesarkan di Makassar. Tapi, lama kelamaan “kecurigaan” yang saya simpan sendiri itu pelan-pelan terjawab dengan mengindera gesture, tutur dan pilihan katamu, juga kharismamu.

Misalnya, tak lagi banyak orang yang sesekali memegangi pucuk lututnya, bila berbincang dengan tokoh senior atau yang di-tua-kan.

Terlihat benar Kanda Opu sesungguhnya adalah seorang yang memiliki “darah biru” Bugis. Tak bisa disembunyikan.

Saya pun, tak pernah bertanya mengapa predikat yang –bagi banyak orang Bugis— begitu dibanggakan, harus Kanda Opu simpan untuk publik?

Sampai akhirnya kami yang tak tahu, bisa memastikan ketika pada sekitar tahun 2010, Kanda Opu mem-publish akun facebook dengan nama ‘Andi Yayath Pangerang’. “Itu desakan orang di Kampung, dhek. Mereka takut saya ‘hilang’. Maklumilah, kasian….”, katamu memohon berbalut canda.

Lantaran itu kemudian ada “perdebatan ringan dan lucu” antara kita, Kanda.

Ketika saya memutuskan mengganti sapaan bertahun-tahun: dari “Kak Yayath” menjadi “Kanda Opu”.

“Awwah… Biasayya mo, dhek…” responmu.

Saya menyodorinya alasan, “Izinkan saya sebagai orang Bugis menggunakan sapaan pada tempatnya, Kanda. Kehormatan bagi yang berhak”, kataku setengah berkelakar tapi sesungguhnya serius.

“Suka-sukamu kalo gitu, dhek. Kak Yayath boleh. Opu boleh. Asal saya jangan dipanggil kejaksaan atau kepolisian! Ha…ha…ha…!”, katamu menyerah dengan riang gembira.

Perdebatan kecil dan singkat itu usai. Sejak itu saya secara konsiten memanggilmu: Kanda Opu. Tentu tanpa ada debat lagi, dan tanpa menghilangkan “suasana egaliter” dan “demokratis” yang selalu Kanda Opu bangun dalam pergaulan di mana-mana.

 

***

Saya jadi ingat perbincangan dengan kakanda (alm.) Andi Marioriwawo Mochtar, yang juga lebih suka disapa “Kak Utta” –seperti Kanda Opu merasa lebih nyaman dipanggil “Kak Yayath” dalam percakapan kasual. Pung Utta bilang, sesungguhnya kesejatian seorang “bangsawan” ada pada sikap dan laku personalnya di tengah masyarakat dan bagaimana seseorang memikirkan “bangsa”-nya. Juga pada tutur katanya. Tak peduli garis darah. Itulah Bangsawan! Oleh karena itu ada ungkapan yang sesungguhnya amat dalam: “bahasa menunjukkan bangsa”.

Dan itu Kanda Opu banget!

Kelak di kemudian hari, saya lalu membaca tulisanmu, yang lagi-lagi sangat subtil. Judulnya “Gerakan Defeodalisme, Keharusan Masa Depan” di forum para penulis kompasiana. Wow! www.kompasiana.com/yayathpangerang/54ff78b0a33311f94b51038a.

Kanda Opu, nan budiman. Pertalian saudara di antara kita terjalin pertama kali pada tahun 1989, menjelang saya lulus dari SMA Negeri 3 Makassar.

Ketika itu, salah seorang junior Kanda Opu di Unhas dan Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM) –yang juga sutradara saya di Teater Tiga Makassar ketika itu—, kanda Moch. Hasymi “Ami” Ibrahim, mengajak saya bergabung ke SMPM. Ini salah satu momen penting yang membuat saya merasa beruntung dan selalu saya syukuri.

Karena dengan itu terbentang jalan bagi saya menyerap begitu banyak hal dari para senior pembina SMPM. Sebuah kelompok seniman muda di Makassar yang pada masanya begitu diwarnai dengan pendekatan “akademis” nan konseptual dan “metodologis” dengan “ruh aktivisme” cendikia kampus dalam kiprah berorganisasi dan berkesenian.

Ketika itu, sebagai sebagai anggota anyar yang nota bene masih siswa SMA, saya bagai menjalani tahapan “pre-college”, sebelum benar-benar akhirnya lulus menjadi mahasiswa Unhas pada tahun yang sama.

Betapa tidak, para pengurus dan anggotanya ketika itu terdiri dari para “scholars” dan penggiat seni-budaya dari kampusnya masing-masing: Unhas, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar), Universitas Muslim Indonesia, dan Institut Agama Islam Negeri Sultan Alauddin (kini Universitas Islam Negeri Makassar).

Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya: dramawan dan sastrawan Yudhistira Sukatanya, Ami Ibrahim, Baso Natsir, Asniar Ishak (alm.), Hermanto Dg. Siroang (alm.), penulis dan kritikus sastra Patta Nasrah, dramawan dan sastrawan Asia Ramli Prapanca, koreografer Andi Abu Bakar Hamid –yang juga alumni Padepokan Tari Bagong Kussudiardja Yogyakarta, koreografer dan musisi Abdi Bashit yang kemudian turut membesarkan Yayasan Anging Mammiri (YAMA), dan tentu saja dirimu: kanda Opu Yayath, yang ketika itu kuat dugaaan saya adalah salah satu “solidator” dan “konseptor” yang menghimpun segenap potensi pembina dan merancang disain pembinaan di SMPM.

Semua kalian begitu guyub dengan karakter dan style masing-masing –juga kapasitas personal— yang “puzzling” saling melengkapi, dalam membina kami lapis demi lapis generasi yang datang menempa diri ke “perguruan” SMPM.

Selain itu, penting untuk dicatat tentang persinggungan kami “anak-anak Merah Putih” dengan para aktivis dan penggiat seni-budaya dari kampus dan luar kampus, yang tak bisa dilepaskan “untuk dan atas nama” persahabatan mereka denganmu Kanda Opu dan pengurus SMPM lainnya.

Sekadar menyebut beberapa nama tokoh yang kerap diminta dan/atau tanpa diminta turut memberi support dalam pembinaan generasi SMPM, antara lain: Prof. Dr. Andi Qashas Rahman (alm.), Ridwan Effendy, MA. (alm.), Andi Marioriwawo Mochtar (alm.), Machfud Ramly (alm.), Prof. Dr. Amran Razak, Drs. Fahmi Syariff, Alwy Rachman, MA., Luna Vidya Matulessy, Roell Sanre, Basri B. Sila, Asdar Muis RMS (alm.), Shaifuddin Bahrum, M.Si. (alm.), Prof. Dr. Halilintar Latief, Dicky Chandra, Firman Djamil, Goenawan Monoharto, Armin Toputtiri, Moelawarman, Salahuddin Alam, Sukma Sillanan, dan banyak lagi.

Tak heran bila kami lapis-lapis generasi berikutnya di SMPM, begitu takzim dan menaruh hormat padamu, Kanda Opu –dan tentu saja pada para senior sahabatmu “saudara sedarah” Merah Putih.

 

***

Kami akan terus berkiprah dan mengibarkan semangat yang telah turut Kanda Opu semaikan pada kami.

Untuk sekadar menyebut sejumlah nama generasi SMPM yang terus akan takzim padamu Kanda Opu.

Inilah sebagian itu: Arman Dewarti (eks.ketua SMPM, Meditatif Film: aktor, sineas), Bahar Merdhu (pendiri Rombongan Sandiwara Petta-Puang, maestro teater nasional), Dr. Akbar Faizal, M.Si. (eks. anggota DPR-RI, penggiat media dan lembaga kajian politik), Shinta Febriani (Kala Teater: penyair, tokoh teater nasional), Ilham Latief (aktor dan penyair di Makassar), H. Nasran Mone, S.Ag., MM. (eks. ketua SMPM, mantan anggota DPRD Makassar), Aliem Bahri Prasasti (penyair dan guru SMA di Makassar), Ancoe Ichsan Amar, M.Sn. (aktor, praktisi dan akademisi sinematografi di Jakarta), Andi Amriadi Made Ali (penyair di Kalimantan Timur), Ridwan Aco White (Koreografer di Makassar), Agus Salim Linting (eks. ketua SMPM, fotografer, penjelajah alam), dr. Nurhaedah Azis, Sp.KK. (dokter yang juga membuka studio fotografi di Gorontalo), Idol Dg. Mappuji (sineas, di Bogor), Nasdir Rafli (Sanggar Bolong Ringgi, koregrafer, pembina seni-budaya, dan pejabat pemda Kab. Barru), Sabil Razak Amar (dramawan dan penggiat seni pertunjukan di Jakarta), Haswadi Haruna (politisi, aktivis sosial dan penggiat lingkungan di Makassar), Andi Makmur Burhanuddin (eks. Ketua SMPM, politisi, penggiat sosial di Makassar), Irwan Brutus (eks. ketua SMPM, penyair dan jurnalis di Makassar), Djamal Dilaga (eks. ketua SMPM, dramawan di Makassar), Muhammad Idris (aktor dan jurnalis di Makassar), Darni Samad (penggiat sastra dan aktivis sosial di Jakarta), Bongky Matou dan Ismad Sahupala (aktivis lingkungan dan sosial-budaya di Maluku Utara), Ibnu Hajar Mannassa (pengusaha, tinggal di Tangerang Selatan), Ashari Amirullah, M.Si. (penggiat literasi dan sosial budaya di Kendari), Memet Nalwi, S.Ag. (pengajar musik/biola di Balikpapan), Ahmad Tolis (penggiat sastra, pejabat pemda Kota Toli-Toli), dan masih sangat banyak lagi untuk disebutkan satu-satu “daftar insan berhutang budi” pada para senior pembina SMPM.

Juga –sekali lagi—padamu: Kanda Opu.

Lantaran itu, ketika pada 12 Mei 2020 khalayak disuguhi sebuah warta dari sebuah media daring dengan judul berita: “15 Teater Modern Indonesia Terbaik yang Wajib Kamu Ketahui” https://www.pojokseni.com/2018/12/15-teater-modern-indonesia-terbaik.

Di dalam tulisan itu, yang baru saya baca pada awal November 2020, bersama kelompok teater dan sejumlah tokoh teater negeri ini, SMPM menjadi salah satu kelompok teater modern Indonesia yang “wajib diketahui”.

Sontak saya teringat padamu Kanda Opu, juga barisan pembina SMPM dan sahabat-sahabatnya yang telah saya sebutkan di atas.

Teringat peluh dan semangat kawan-kawan SMPM yang pernah dan semoga akan terus ada. Seperti dirimu Kanda Opu, mungkin kami para generasi berikut SMPM, juga: “mengalir begitu saja, sampai menemukan muaranya sendiri”.

Muara di mana kami menemukan samudera pengabdian pada negeri dengan belajar pada setiap lekuk gelombang dan badai yang niscaya akan selalu datang menguji. Sambil terus berupaya mewariskan semangat “Merah Putih Setiap Hati” pada lapis-lapis berikut generasi masa depan negeri ini.

Kanda Opu Yayath, yang kami kasihi dan mengasihi kami. Sehari setelah 10 Desember 2020, melalui aplikasi whatsapp –karena lantaran saya tak cukup kuat mendengar suara seorang perempuan yang sedang kehilangan pilar hidupnya—, saya mengirimi kalimat-kalimat yang bagi saya perlu saya ucapkan kepada istrimu tercinta, Ratu Dewi Lukman Wahab.

Sembari menanyakan kabar anak-anakmu: Andi Deraya Meuthia Toja, Andi Panduaji Warani Paoladeceng, dan Andi Bebi.

Setelahnya, saya mengirim sticker “bendera Merah Putih setengah tiang”. Kataku: untuk seorang PAHALAWAN negeri ini. Istrimu berterima-kasih menyusuli emoticon cucur tangis. —- Setelah itu saya melanjutkan doa. Bersama orang-orang yang terus berdoa untukmu, lewat wall di lini-masa berbagai aplikasi media sosial dan grup-grup percakapan. Bersama orang-orang yang berdoa diam-diam.

Demikian surat terbuka ini, Kanda Opu.

Engkau telah menggagaskannya pada langit Engkau telah menunaikan pada bumi, Sebaik-baik dan sesempurna yang Kanda Opu bisa. Salam tenang. Salam terang. Salam lapang. Al-Fatihah. Merah Putih Setiap Hati.

 

Wassalam.

Serpong, 11 s.d. 19 Desember 2020

Related posts