Bincang Daring WAG KAU, Aslan Abidin: Dulu iklim intelektual hidup, lebih rasional

  • Whatsapp
Aslan Abidin (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Orde Baru memproduksi pendidikan lumayan baik, tetapi intelektualitas itu digunakan untuk memiliki kepekaan.
Aslan Abidin

PELAKITA.ID – Aslan Abidin, alumni Fakultas Sastra Unhas yang kini menjadi akademisi di Universitas Negeri Makassar menjadi salah satu pemantik Bincang Daring yang digelar WAG Kolaborasi Alumni Unhas (KAU), Rabu, 29 Maret 2023.

Kegiatan ini didasari oleh kenyataan pasca pindahnya estafet Rektor, Unhas bersama Prof JJ seperti tak pernah habis dirundung berita tak sedap. Perbincangan publik mengenai Unhas belakangan ini tidak jauh dari sejumlah persoalan.

Read More

Perihal lain adalah sengkarut pemilihan Majelis Wali Amanah yang disebut tak lazim dan dianggap setback sebagai sebuah prestasi. Tanggapan mantan Rektor dua periode Prof Dwia terkait MWA pun dianggap kejutan atau tak disangka sebelumnya.  Ada apa sebenarnya?

Berikutnya adalah sejumlah mahasiswa digunduli, dikenakan baju tahanan setelah disebut terlibat tawuran. Untuk kali pertama, 7 orang mahasiswa dengan baju tahanan dipamer di depan publik. Ini seperti isyarat kesungguhan Rektorat untuk tidak mentolerir mahasiswa tawuran.

Suasana menjadi gaduh sebab mahasiswa itu bakal di-DO. Banyak yang tidak setuju, banyak pula yang setuju.

Karena pertimbangan itu pula, WAG Kolaborasi Alumni Unhas berinisiatif menggelar bincang daring pada Rabu, 29 Maret 2023 untuk mendengarkan aspirasi, pandangan dan gagasan tentang seperti apa Unhas dulu, kini, dan nanti dan dikaitkan masa depan Unhas di tangan Rektor JJ. Acara digelar pada pukul 16.00 sampai 17.30 Wita melalui platform Zoom.

Acara dipandu admin WAG KAU Kamaruddin Azis dan Osraf Al Mustafa. Tema obrolan adalah Membaca Unhas: Dulu, Kini dan Nanti. Tema: Arah Pergerakan Mahasiswa, Jejaring Alumni dan Tantangan Unhas Bersama Rektor JJ

Pandangan Aslan

Demi menjawab tema obrolan, salah satu pemantik Aslan berbagi pengalaman saat menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Unhas. Dia juga berbagi pandangan mengapa situasi menjadi semakin jauh dari harapan ideal semangat pendidikan tinggi.

Dia menyebut masa-masa tahun 80-an hingga 90-an adalah masa dimana generasi muda Indonesia masih mendapatkan bacaan-bacaan sejak SD, SMP, SMA hingga menjadi mahasiswa.

“Saya generasi yang mendapakan banyak bacaan, tahun-tahun ujung 80-an ketika SD, ada perpustakaan sekolah, di SMP sampai SMA, di kecamatan ada perpustakaan,” ucap pria yang lahir dan besar di Soppeng ini.

Itu yang disebut Aslan sebagai latar belakang mengesankan sebelum masuk ke kampus Unhas.

“Kemudian bersama generasi yang lain tahun 1991, masuk ke universitas, jadi kita itu punya latar belakang pengetahuan, istilahnya, suka membaca lalu lanjut di Unhas yang juga punya perpustakaan,” lanjutnya.

Yang menarik, menurut Aslan, daya kritis juga tumbuh.

“Di sisi lain, kita ketika itu berhadapan dengan Orde baru, orde baru yang juga memproduksi pendidikan lumayan baik, tetapi intelektualitas itu digunakan untuk memiliki kepekaan,” ucapnya.

“Terhadap rezim orde baru itu, muncul kelompok diskusi, orang-orang demo punya kualitas diskusi yang bagus, ada banyak contohnya,” katanya.

Yang juga disampaikan Aslan adalah tumbuhnya daya kritis pada laku represi Orde Baru, sementara pada setiap program studi di Unhas tumbuh semangat berkegiatan, ikut pada berbagai kegiatan nasional, aktif berbagi pandangan dengan mahasiswa se-Indonesia.

“Itu yang dilakukan, melakukan kritik terhadap orde baru, usulan kepada orde baru tetapi yang terutama adalah kemampuan utnuk berpikir dan menulis lebih rasional ketika itu,” kenangnya pada masa-masa kemahasiswaannya.

Dia menjelaskan daya kritis itu muncul pada misalnya ketika membuat makalah. “Ketika mereka berkongres, mereka membawakan makalah sendiri, dan itu urusan juga dengan Prodi,” tambahnya.

Maksud Aslan adalah pihak Prodi pun ikut bertukar pengalaman, bertukar pikiran.  “Mereka bertukar pikiran dengan menyiapkan makalah, dengan mahssiswa UI, UGM. Jadi ada iklim intelektual, apakah itu masih ada?” tanyanya.

Yang juga tak kalah penting menurut Aslan adalah keterlibatan pihak Prodi.

“Dulu, syarat pada kongres itu dihadiri ketua Prodi, datang juga mereka sehingga wibawa universitas terbawa pada kemampuan argimentasi ketika membawakan makalah,” jelasnya.

Sehigga, lanjut Aslan, salah satu syarat utnuk menjadi ketua himpunan atau atau jurusan adalah presentasi makalah.  “Apakah mereka bisa, apakah iklim intelektual itu masih ada,” tanyanya lagi.

Dia menyebut momen seperti itu sangat bagus.

“Ketika itu begitu bagus, dan aktivitas keagamaan tak semarak sekarang, sekarang, keagamaan yang lebih marak dan aktivitas intelektual tidak seramai dulu,” ucapnya.

Bagi Aslan itu persoalan pada model pendidikan. “Hampir semua departemen, semua universitas membuat universitas dengan misi model pemikiran berbeda. Saya kira kalau seperti itu, masalah bangsa ini adalah ketidakmampuan berpikir rasional,” tambahnya.

Dia pun mengutip data yang menunjukkan hasil riset yang menempatkan Indonesia pada posisi 130 dengan peringikat IQ sementara masalah literasi dan sains kita di urutan 74, menurut penelitian itu,” terangnya.

“Kemapuan berpikir rasional kita sangat rendah, ya bisa dibilang primitiflah. Kemampuan peringikat 130 itu sulit sekali untuk mengatakan tidak buruk. Sangat buruk,” kata dia.

“Persoalan pada sistem pendidikan kita, apakah dia mengubah kita rasional? Ternyata tidak,” tegasnya.

Kualitas pendidikan karakter

 Dia mengkalim, pendidikan karakter kita semakin jauh dari pikiran rasional, padahal yang mau dibangun harusnya karakter rasional.

Dia memberi contoh betapa kelompok-kelompok diskusi hingga kelas S3 sekalipun semua menjadi religius.

“Kalau ada orang menari pakai jilbab dikritik, orang tidak pakai jilbab dikritik, kita bertengkar pada persoalan, yang tidak rasional,” tambahnya.

“Ada satu pertanyaan, di mana kita, Pancasila atau Alquran? Mereka bertengkar, bahkan Presiden,  Azzumardi Asra tidak bisa jawab, karena kita tidak terbiasa berpikir logis,” katanya.

“Tidak berani menerima kririkan, karena yang menguasai wacana agamawan dan itu bermasalah, cenderung antikritik. Karena demi keamanan dia dipilh mayoritas,” lanjutnya seraya memberi contoh bagaimana posisi kita pada boleh tidaknya Israel masuk ke Indonesia.

Dia cerita tentang calon pemimpin bangsa ini yang sebelumnya namanya cukup begitu mendukung Israel datang ke Indonesia, tiba-tiba namanya bisa begitu buruk, meski dia juga bisa salah langkah.

“Tiba-tiba orang banyak mendukung Israel datang ke  Indonesia, karena lebih banyak yang mendukung,” tutupnya.

Acara berlangsung lancar hingga pukul 18.00 Wita.

Selain Aslan, hadir pula Sawedi Muhammad, Sekretaris Rektor Unhas, Mulawarman (jurnalis), Maqbul Halim (Fisip Unhas/penasehat Wali Kota Makassar), Arqam Azikin (Fisip UH/Unismuh), Taswin Munir (UHO Kendari/Perikanan Unhas), Mappabali (IKA Unhas Samarinda), Salahuddin Alam (Direktur PP IKA Unhas), hingga Muhammad Sauib Mappasila (IKAFE Unhas).

Beberapa pejabat Unhas hadir seperti Kepala Pusat Kebencanaan Dr Ilham Alimuddin, Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim Dr Rijal Idrus, Ketua Satgas Unhas Prof Amir Ilyas yang menjelaskan konflik di Agrokompleks yang viral hingga Dr Iqbal Djawad termasuk Muhammad Korebima alumni Komunikasi Unhas angkatan 90 yang bermukim di Ambon.

 

Editor: K. Azis

 

 

 

Related posts