ORBOLAN BILIK SEBELAH (#8): Bulukumba Ultah ke-63, aktivis LSM kenang Lonsum dan perlawanan warga Kajang

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

DPRD Makassar

Banyak yang menentang rencana ekspansi perkebunan karet itu, termasuk ingin menguasai lahan-lahan warga yang nota bene tidak tertarik dengan budidaya karet. 

Syamsir Anchi, founder PILHI

Read More

 

PELAKITA..ID –  Konflik tanah di Bulukumba Sulawesi Selatan antara PT London Sumatra Plantation dengan warga terjadi mulai tahun 1981. Warga berusaha mengambil kembali tanah adat Kajang yang mereka miliki.

Hal itu kemudian menimbulkan konflik berdarah yang terjadi pada tanggal 21 Juli 2003 dan disebut menewaskan 3 orang dan melukai puluhan lainnya.

Media Mongabay menulis, Aksi warga mengepung lahan yang dikelola Lonsum telah sering terjadi. Salah satu aksi terbesar terjadi pada tahun 2013 silam,  di mana sekitar 3 500 petani menduduki lahan perkebunan Lonsum yang berada di Desa Tamatto, Kecamatan Ujung Loe.

Ketika itu, tuntutan mereka adalah pengembalian lahan adat Kajang seluas 2.500 hektar, yang masuk dalam areal perusahaan. Warga bahkan membangun 40 tenda dan melarang perusahaan mengambil getah karet sebelum ada penyelesaian.

Mereka juga meminta pemerintah dan BPN meninjau ulang ataupun mencabut hak guna usaha (HGU) Lonsum karena melanggar hak rakyat dan cacat hukum.

Meski telah melalui banyak rentetan aksi dan mediasi pemerintah, konflik antara warga dan Lonsum masih terus terjadi bahkan hingga hari ini.

Momen ultah Bulukumba

Atensi kepada sejarah konflik dan muaranya hingga kini kembali mencuat.

Saat masyarakat dan Pemda merayakan ulang tahun kabupaten Bulukumba yang ke-64, wakil ketua DPRD Sulawesi Selatan Ni’matullah RB menyatakan agar Pemerintah termasuk Pemprov Sulsel berhati-hati merespon perpanjangan HGU PT Lonsum.

Dia menyampaikan itu sebab dalam waktu tidak lama lagi, atau kurang lebih setahun ke depan, masa kontrak atau HGU PT Lonsum akan habir.

“Yang sangat menarik, adalah karena HGU tersebut akan berakhir masanya 31 Desember 2023, akhir tahun ini. Tampak kasat mata, sebagian besar tanaman atau pohon karet pada perkebunan itu sudah kurang produktif, nyaris tak terurus,” sebut Ni’matullah.

“Karena pertimbangan di atas, saya ingin mengingatkan Bapak Gubernur Sulsel dan Bupati Bulukumba supaya tidak terlena atau tidak memberi perhatian lebih terhadap urusan PT Lonsum, karena waktu berakhirnya masa berlaku HGU tersebut sudah sangat dekat,” tambahnya.

Jangan sampai kita semua kurang peduli. Tiba-tiba Pemerintah Pusat memberi lagi masa perpanjangan HGU kepada PT Lonsum, dan sementara sejumlah masalah laten di wilayah tersebut belum diselesaikan secara baik. Bisa terjadi letupan-letupan sosial yang tidak diharapkan,” pesan Ni’matullah.

Kenangan aktivis

Bersama Ni’matullah, di grup WAG Kolaborasi Alumni Unhas, sejumlah aktivis LSM ikut berbagi cerita tentang Lonsum.

Yang pertama adalah Syamsir Anchi. Direktur LSM PILHI atau Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia ini menyebut perusahaan Lonsum (London Sumatra) adalah sebuah PMA yang sudah lama bercokol di Bulukumba.

“Saya masih ingat ketika saya sekolah SD sampai SMA mulai di sana ada apa yang disebut Jakarta, Jalan Kareta Tanete,” ungkapnya.

Dia mencatat antara tahun 983-1990, pihak PT Lonsum merekrut besar-besaran tenaga lokal untuk bagian pekerjaan kasar di areal kebun, 10 persen ditempatkan bagian perkantoran, sementara manajer yang memimpin operasional selalu didatangkan dari Sumatera.

“Awal konflik, pertama, banyak yang menentang rencana ekspansi perkebunan karet itu, termasuk ingin menguasai lahan-lahan warga yang nota bene tidak tertarik dengan budidaya karet,” jelas Syamsir.

“Kendatipun dengan tawaran bagi hasil, toh kebanyakan petani menolak, salah satu puncak penolakan itu, maka meletuslah kasus berdarah di Bulukumba bagian Timur yang kita kenal nama desanya Salassae wilayah Kajang,” kenang pria yang akrab disapa Anchi itu.

Menurutnya, setelah kasus ini, pihak Lonsum tidak lagi memaksakan perluasan lahan karet, bahkan tidak lama terjadi PHK besar-besaran.

“Imbasnya, petani dengan kesadaran sendiri mengelola dan memasarkan hasil karetnya sendiri di luar dari Lonsum,” ujar dia.

Sementara itu, Ostaf Al Mustafa, penulis yang juga anggota grup menyebut terkait kasus yang melibatkan Lonsum dan warga Kajang itu juga mendapat perhatian dari organisasi LSM saat itu, terutama aktivis LSM di Makassar termasuk  Walhi.

“Fasilitasi LSM saat itu sangat terasa. Terutama Walhi Sulsel. Salah satu figur yang ikut mengadvokasi itu adalah Opu Ikrar yang dulunya aktif di YLK serta FPMP,” ungkapnya.

Beberapa nama selain Ikrar itu ada Marlina Palo, Rosmiati Sain hingga Emma Ramayanti, Zohra Andi Baso dan Tomo. Mereka ikut ke daerah konflik untuk pendampingan isu-isu perempuan. Saat itu FPMP Forum Pemerhati Masalah Perempuan saat dipimpin Zohra Andi Baso.

Berdasarkan informasi yang dihimpun penulis, saat itu, isu perempuan di tengah konflik, perseteruan antar NGO saat itu cukup sengit berkaitan dengan strategi advokasi yang mendorong penguatan komunitas adat dan di sisi lain tentang fasilitasi investasi daerah.

“Intinya, antara kepentingan masyarakat dan pemodal di sisi lain, termasuk negara.” ujar salah seorang aktivis NGO di Makassar yang enggan disebut namanya.

Konflik Lonsum itu menarik sebab banyak sekali pihak ikut ‘turun’ gunung, ada NGO, ada Pemerintah Pusat, Kampus, Polri, termasuk guru besar dari Fakultas Hukum yang belakangan jadi Hakim Agung hingga 2003. Laica Marzuki.

Salah satu alumni Unhas yang ikut mengadvokasi saat itu melalui jalur kepengaraan adalah Syahrir Cakkari, alumni Fakultas Hukum Unhas.

Dia menyebut tanah yang jadi wilayah  perkebunan PT Lonsum di Kabupaten Bulukumba bukan tanah ulayat, melainkan tanah negera yang diberikan dengan status HGU.

Dia menilai, proses pembebasan tanah ini sudah jadi masalah karena harus mengambil tanah garapan rakyat secara tidak prosedural.

“Tahun 1999 saya yang memimpin permohonan eksekusi terhadap sekitar 500 HA tanah perkebunan ini karena rakyat dimenangkan oleh pengadilan,” sebutnya.

Pendek cerita, konflik ini relatif panjang karena ketidakjelasan fakta dan bentuk solusi, apakah karena batas atau luas lahan sengketa.

Catatan Anwar Ilyas

Terkait penjelasan Syamsir Anchi di atas, pengacara Anwar Ilyas, yang selama ini dikenal banyak terlibat pada proses pengadilan terkait sengketa pemilihan umum menambahkan catatan terkait Kasus Lonsum di Bulukumba itu.

“Sekadar mengingatkan, bawah tahun 1980-an, masyarakat adat Kajang menggugat PT London Sumatera atau kita kenal sebagai Lonsum berkaitan dengan hal tanah ulayat mereka yang disebut dirampas,” ungkap Anwar.

Lalu, lanjiut Anwar, sekitar tahun 2005 atau 25 tahun kemudian, keadilan itu baru datang dengan putusan MA bahwa gugatan warga Adat Kajang menang, Lonsum hrs mengembalikan tanah ulayat warga adat.

“Persoalannya kemudian, dalam gugatan tersebut luas yang digugat tertulis kata “kurang lebih 200 Ha” dan batas-batas yang diajukan berupa batas alam, sungai dan kebun,” tulis Anwar.

“Ketika hendak dieksekusi, pihak Lonsum keberatan, karena jika mengikuti batas-batas dalam putusan MA, maka luasnya sekitar 350 Ha,” tambahnya.

Masyarakat adat Kajang tetap menginginkan eksekusi sesuai batas. PT Lonsum bertahan dan hanya ingin menyerahkan sekitar 270 Ha.

“Masalahnya adalah apakah luas yang menentukan batas, atau batas yang menentukan luas. Sesuai petunjuk eksekusi dari Pengadilan Tinggi, minta eksekusi sesuai batas. PT. Lonsum dengan relasi kekuasaan yang dimiliki tetap tidak mau,” tambah Anwar.

Dia menyebut kasus itu memuncak pada awal tahun 2000, dimana masyarakat melakukan reclaiming dengan melakukan penebangan pohon karet di atas lahan yang mereka menangkan.

Anwar menilai saat itu aparat keamanan dari Bulukumba tidak bisa menangani sebelum datang bala bantuan dari Brimob, hingga terjadi penembakan.

Dia menilai warga mulai mengalami terror, warga melarikan diri, masuk ke hutan adat. Ada beberapa warga ditangkap atau dikiriminalisasi bahkan ada yang meninggal satu orang.

Yang menarik sesuai cerita Anwar adalah turun tangannya Amma Towa atau pemimpin Kajang untuk merawat atau menjaga korban luka karena kekerasan aparat. Kasus itu, lanjut Anwar, menarik sebab Komnas HAM datang. Demikian pula tim media dari Mer-C Jakarta.

Anwar menyebut, setidaknya saat itu, dia belum dapat informasi apakah PT Lonsum sudah pernah membuka atau memperlihatkan peta HGU-nya.

Perlu pertimbangan

Berdasarkan informasi di atas maka ada beberapa hal yang perlu dipastikan beres atau ada clearance dalam merintis usaha seperti perkebunan karet dan pelibatan masyarakat.

Itu berlaku untuk usaha apa saja dengan membuka lahan luas dan merupakan wilayah yang bersisian dengan kehidupan warga biasa. 

Pertama, perlu penghormatan pada hak-hak warga lokal yang telah lama atau menjadi bagian dalam pengelolaan sumber daya alam.  Tanpa pelibatan mereka maka upaya bisnis apapun akan sulit dan berpotensi terjadi konflik.

Jika demikian adanya, regulasi dan perlindungan seperti apa yang harus dijalankan? Bagaimana seharusnya negara menyiapkan aturan dan tak mencederai rakyatnya?

Kedua, perlu penghormatan kawasan-kawasan strategis seperti kawasan adat seperti Kajang sebab merupakan salah satu potensi kebudayaan dan mempunyai landasan kultural dan penuh kearifan pada alam.

Perkembangan daerah dan semakin beragamnya regulasi atau UU menjadi alasan bahwa perlu kolaborasi serta pendampingan agar masyarakat Hukum Adat bisa betul-betul setara saat menyampaikan aspirasi dan hak-haknya.

Konsep pembangunan apa yang relevan dengan masih eksisnya kawasan adat di tengah ambisi pemerintah untuk memberikan kemudahan berinvestasi. Penting mana, ekonomi, keadilan sosial atau perlindungan lingkungan? Di sinilah kampus, NGO. hingga private sector dan komunitas menentukan sikap.

Ketiga, usaha atau investasi perlu dijalankan secara kolaboratif dan terbuka. Selain itu, perlu penyadaran untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan agar masyarakat setelah bisa menerima atau beradaftasi dan menjadi bagian di dalamnya.

Pengenalan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sangat dianjurkan.

Pernyatannya kemudian,  siapa yang kompeten memerankan fasilitasi dengan baik tanpa terkontaminasi dominasi kepentingan pihak luar atau investor?

 

Editor: K. Azis

Related posts