OBROLAN BILIK SEBELAH #9: Menjerat pendemo dan solusi KUHAP yang disalahtafsirkan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

DPRD Makassar

“Ketika Menteri Andi Mattalatta, Menkumham, gerilya ini juga berlangsung. Saya ikut hadir dalam satu pertemuan semasa Menkumham Patrilais Akbar.”

Prof Aidir Amin Daud, alumnus Hukum Unhas, Guru Besar FH Unhas..

Read More

 

PELAKITA.ID – Kegalauan Ostaf Al Mustafa pada proses dan borok penegakan hukum di NKRI digambarkan dengan pernyataan sebagai berikut.

“Semua yang meninggal tersangka, termasuk mahasiswa UI. Dalam kasus-kasus ini penyidik melakukan tindakan irasional atau secara akal sehat tidak masuk di akal, ketika yang mati – korban – malah justru tersangka!” tulisnya.

Dia menyampaikan itu dengan menggurat, “Yang bikin KUHAP Belanda, tapi yang dipakai Belanda bukan KUHAP yang dibikin untuk Hindia Belanda.  Penjara di Belanda kosong, kita penuh. Ada dua klaster yang dominan: korupsi dan narkoba,” tambahnya.

“Itu anomali!” sungut Ostaf.

Para peserta Obrolan Bilik Sebelah WAG Kolaborasi Alumni Unhas kemudian menebalkan harapan bahwa sebaiknya ada dorongan politik kuat, gerakan sosial sungguhan untuk memperbaiki KUHAP.

“Atau wakil rakyat kita dorong ke Belanda pelajari KUHAP di sana,” ujar Ilham Hanafie, alumni Fakultas Hukum Unhas

Tentang gambar wajah dan proses hukum kita, alumni Sastra Unhas, Musafir yang selama ini aktif mengadvokasi kepentingan warga di Bulukumba menceritakan pengalamannya tentang gelombang hukum yang nyaris menggulungnya ke ruangan lembab penjara.

Dia mengaku dilaporkan ke polisi atas nama lembaga DPRD setempat.

DPRD membentuk penegak kehormatan dewan, membentuk tim lalu melaporkan 4 hal bahwa Musafir pernah mengatakan dewan iblis tahun 2004, pernah menyatakan dewan kekanak-kanakan tahun 2004.

Dia disebut pernah menyatakan dewan sarang koruptor pada 2005, pernah menyatakan dewan dalam melakukan perjalanan dinas hanya merupakan mata pencaharian tambahan.

“Lalu 5 orang anggota dewan bersaksi di pengadilan, 2 anggotan dewan menyatakan tidak keberatan dengan apa yang saya nyatakan dan 3 anggota dewan keberatan lalu saya divonis bersalah 3 bulan penjara 6 bulan percobaan. Tuntutan jaksa 9 bulan,” ungkap Musafir.

“Jumlah anggota dewan waktu itu 35 orang seharusnya kalo mau mengatas namakan dewan harusnya 18 orang bersaksi atau melapor supaya quorum,” sebut pria yang merasa traumatik dengan sangkaan tersangka itu.

Tanpa ujung?

Terkait kisah Musafir itu, Oostaf al Mustaf menyebut bicara soal hukum, sama halnya kita bicara sesuatu yang tak ada ujungnya yang oleh Ilham Hanafie sebagai mempertentangkan antara 𝙧𝙚𝙘𝙝𝙨𝙩𝙖𝙖𝙩 atau 𝙣𝙚𝙜𝙖𝙧𝙖 𝙝𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙖𝙘𝙝𝙨𝙩𝙖𝙖𝙩 (𝙣𝙚𝙜𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙚𝙠𝙪𝙖𝙨𝙖𝙖𝙣) sangatlah 𝙘𝙤𝙢𝙥𝙡𝙞𝙘𝙖𝙩𝙚𝙙, jika ditilik dari optik 𝙙𝙖𝙨 𝙨𝙚𝙞𝙣  – law in practic .

“Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan bahwa hukum kadang digunakan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, dan lain sebagainya,” sebut Ilham.

“Muncul kemudian pertanyaan, mana yang lebih tinggi  hukum atau politik?” tanyanya.

Ilham, praktisi hukum yang juga aktif berpengacara melanjutkan dengan menyatakan di beberapa negara maju, penetapan tersangka bukan lagi ditentukan oleh penyidik melainkan oleh hakim.

“Di depan hakim, penyidik dan calon tersangka yang biasanya didampingi oleh lawyer, berdebat sengit mengenai status calon tersangka. Hakim nantinya yang menetapkan, tersangka atau tidak tersangka,” tutur alumni Fakultas Hukum Unhas angkatan 1983 ini.

Terkait kasus Musafir, Akbar Endra, aktivis Unhas yang aktif mendorong demokratisasi di dunia kampus dan di luar kampus menilai, sekarang kita harus jeli bersosmed sejak ada UUITE.

“Banyak orang terjerat UU ITE karena tidak mampu mengontrol diri saat bermain di media sosial. Dengan itu, penyidik bisa menafsirkan agar terlapor di posisi salah. Bahkan dalam kasus-kasus ITE di Makassar, kuasa jaksa amat besar dalam memperpanjang atau memindahkan seseorang dari tahanan polisi ke rutan,” tanggapnya.

Dia menyatakan, penyebab kriminilasisasi adalah, penyidik dengan bebasnya diberikan kewenangan yang luar biasa untuk menetapkan 𝙩𝙚𝙧𝙨𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖. KUHAP memberikan kewenangan itu kepada penyidik.

Bagi Akbar, demo hal biasa. “Anggota dewan sesuai kewenangannya, menindak lanjuti aspirasi yang disampaikan masyarakat melalui. demo. Menggelar rapat, membuat catatan dan saran ke pemerintah terkait demo,”  tambahnya.

Akbar menyebut, ada juga demonstran yang ngotot merasa benar, memaksa dewan seolah-olah institusi hukum yang bisa menentukan yang benar dan yang adil sesuai kehendak mereka.

“Anggota parlemen jika dicaci dan dikata-katai demonstran anggaplah itu ungkapan cinta dari rakyat yang diwakili. Tak perlu lapor polisi, kecuali kalau melakukan pengrusakan asset,” lanjutnya.

Meski demikian, bagi Ostaf, praktik penegakan hukum ini perlu berlaku luas dan mengayomi.

“Di twitter yang lebih terkonsentrasi pesan-pesannya langsung ke pihak yang dimaksud, masih ada tidak tersentuh hukum. Walaupun ada juga kritik yang tepat sasaran, tetapi sang pengeritik terkriminalisasi!,” sebutnya.

Terkait penetapan tersangka, Prof Aidir Amin Daud, alumni dan Guru Besar Fakultas Unhas yang pernah menjadi Dirjen di Kemenkumham ikut memberi tanggapan.

“Dalam konsep KUHP — dulu Prof Andi Hamzah masukkan yang namanya ‘Hakim Komisioner’. Mungkin seperti yang dimaksud Pak Ilham Hanafie — kewenangan hakim komisioner ini, sebelum polisi menahan seseorang  – mungkin juga menetapkan tersangka – harus seizin hakim ini,” sebutnya.

“Hal itu sempat dipertanyakan sejak jaman Menteri Hukum Hamid Awaluddin oleh berbagai pihak yang kuatir ‘kewenangannya’ dipangkas,” ungkap Aidir.

Kata Aidir, Andi Hamzah bertahan untuk itu. “Ketika Menteri Andi Mattalatta — Menkumham — gerilya ini juga berlangsung. Saya ikut hadir dalam satu pertemuan semasa Menkumham Patrilais Akbar,” ucapnya.

Dia menilai, kencang sekali upaya menghapus pasal Hakim Komisioner ini.

“Setelah itu saya tak ikuti dan sepertinya, pasal terkait ‘hakim komisioner’ ini hilang begitu saja. Ini sekadar sedikit info atas upaya perbaikan itu yang dilakukan oleh Prof Andi Hamzah,” terangnya. Aidir mengakui, ada banyak catatan sejarah yang lain — terkait upaya mencegah adanya pemangkasan kewenangan.

Rekomendasi

Pertama, kalau demo fokus pada isu dan aspirasi, jangan menghina dan hindari menista institusi. Biar pesan dan aspirasi yang diperjuangkan sampai.

Kedua, pengertian tersangka bagi sesiapa yang dilapor ke polisi, kadang sudah melampaui maknanya. Seolah-olah kalau orang ditetapkan sebagai tersangka sudah dianggap bersalah dan ter-bully di publik. Padahal tersangka itu maknanya baru diduga dan belum terbukti. Asas praduga tak bersalah, bisa bermakna tertuduh atau bersalah.

Ketiga, jika ingin mengurangi kriminalisasi, tidak ada cara lain selain memangkas kewenangan penyidik untuk menetapkan tersangka. Tersangka harus ditetapkan oleh ‘hakim komisioner’.

Untuk mencapai itu, tentu harus ada kekuatan politik yang berani mengamandemen KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Keempat, terkait penetapan status tersangka, yang perlu didorong adalah penyempurnaan KUHAP. Sosodara, sebenarnya, draft KUHAP baru pernah diajukan ke DPR tapi belum pernah diutak-atik. Siapa yang tergerak untuk menyentil Pemerintah agar bersungguh-sungguh pada urusan ini?

Kelima, ayolah, para sosiolog  hingga antropolog hukum, kita masuk ke ruang kolaborasi, untuk mengantarkan konteks masyarakat Indonesia, ke arah negara hukum.


Penulis: K. Azis

 

 

 

 

 

Related posts