Dr Rijal Idrus M.Sc., Kepala Pusat Perubahan Iklim, Universitas Hasanuddin membagikan pandangan dan penilaiannya tentang proses penentuan hilal di Indonesia yang menurutnya ‘sangat demokratis’ meski yang menang adalah yang minoritas.
PELAKITA.ID – Dalam sistem demokrasi yang kita anut, di mana suara mayoritas biasanya menjadi penentu, bayangkan jika hanya 1,6 persen suara dapat mengalahkan 98,4 persen lainnya—dan tak seorang pun memprotesnya.
Tidak ada tudingan bahwa itu tidak demokratis, tidak ada yang merasa haknya dikesampingkan. Justru, keputusan ini diterima dengan suka cita oleh seluruh negeri. Malam ini, Indonesia menyaksikan fenomena itu.
Dari 125 titik pengamatan hilal yang tersebar di penjuru Nusantara, hanya dua yang berhasil melihat bulan sabit pertama, dan keduanya berada di Aceh.
Seperti yang telah diprediksi oleh Prof. Thomas Djamaluddin, pakar astronomi dari LAPAN yang kini bergabung dalam BRIN, pergerakan bulan kali ini memang membuat hampir seluruh Indonesia sulit untuk melihat hilal—kecuali di ujung barat negeri ini.
Sidang Itsbat*) yang digelar untuk menentukan awal Ramadhan pun sempat tertunda, menunggu laporan dari enam titik pengamatan di Aceh.
Laporan demi laporan mengalir, dimulai dari wilayah timur Indonesia dan bergerak ke barat seiring terbenamnya matahari.
Dari Merauke, Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, hingga Jakarta, hasilnya sama: tak ada yang melihat hilal. Seandainya keputusan diambil berdasarkan prinsip demokrasi konvensional—seperti dalam metode quick count—maka hasilnya jelas: mayoritas tidak melihat hilal, sehingga bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dan puasa baru dimulai lusa.
Namun, penentuan awal bulan dalam Islam tidak berdasarkan demokrasi suara terbanyak. Prinsip yang dianut adalah bahwa jika ada saksi terpercaya yang melihat hilal, maka kesaksian itu berlaku bagi seluruh negeri.
Dan malam ini, dua perukyat dari Aceh bersumpah di bawah nama Tuhan bahwa mereka telah melihat hilal. Itu cukup. Itu sah. Itu menjadi dasar bagi sidang Itsbat di Jakarta untuk menetapkan bahwa esok adalah 1 Ramadhan.
Keputusan ini bukan sekadar soal pandangan mata dua orang di Aceh. Ia adalah buah dari perpaduan ilmu pengetahuan, ketelitian pengamatan, serta kaidah syariah yang lugas.
Tanpa perdebatan panjang, tanpa polemik yang berlarut-larut, keputusan pun diambil. Dan kini, seluruh umat Islam di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, menyambut bulan suci dengan hati yang tenang.
Marhaban yaa Ramadhan. Selamat datang bulan penuh berkah. Semoga kita semua diberi kekuatan, kesehatan, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah dengan khusyuk di bulan yang mulia ini.
Selamat menanti waktu sahur.
____
*) Sidang Itsbat adalah sidang resmi yang diadakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama, untuk menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriyah, seperti awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (Idul Adha).
Sidang ini melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan ormas Islam, ahli astronomi, dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Penentuannya dilakukan berdasarkan hasil rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) serta hisab (perhitungan astronomi). Jika ada saksi yang melihat hilal dan bersumpah di hadapan sidang, serta sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, maka pemerintah akan mengumumkan keputusan resmi mengenai awal bulan Hijriyah.
Sidang Itsbat sangat penting karena memastikan umat Islam di Indonesia memiliki pedoman yang sama dalam menjalankan ibadah yang berkaitan dengan kalender Hijriyah, seperti puasa Ramadhan dan hari raya.
Editor: Denun