Bertemu orang-orang Sulawesi Selatan di Teluk Bintuni Papua Barat

  • Whatsapp
Bersama Kepala Dinas Sosial Teluk Bintuni, drg Ferdinand Mangalik, alumni Kedokteran Gigi Unhas, angkatan 87 (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Kata Tulus, hati-hatiki di jalan.

PELAKITA.ID  – Perjalanan ke Teluk Bintuni via Manokwari dalam bulan Maret 2022 menghadirkan aneka peristiwa dan latar belakang orang-orang. Perisitiwa bersama orang-orang perantau.

Di bandara Sultan Hasanuddin, saya duduk bersebelahan dengan satu rombongan keluarga berbahasa Bugis. Terdengar aksen Bugis Ajattappareng. Mereka nampak riuh di dinihari. Sepertinya mereka akan ke Jayapura.

Penerbangan ke Manokwari pukul 2 dinihari itu juga berisi banyak wajah-wajah asal Sulawesi Selatan bahkan asal Sulbar. Salah satu pemandangan yang saya perhatikan adalah pasangan-pasangan perempuan sipil dan prajurit belahan jiwanya.

Saya malah menduga mereka pasangan baru dan akan kembali bertugas di Papua setelah resepsi pernikahan yang masih pagi.

Sebelum bertolak ke Manokwari, saya mengiirim pesan WA ke perawat Puskesmas yang asal Galesong Utara, sekampung saya.  Dia perawat atau bidan di Teluk Bintuni.

“Saya ada di Tanamera, di pulau,” kata perempuan asal Tambakola, Desa Kalukuang, Galesong Utara Takalar itu. Dia sudah bertahun-tahun tinggal di Teluk Bintuni.

Pesawat Lion Air tiba pukul 6 pagi di Bandara Rendani setelah sebelumnya diguncang awan tebal, angin dan pekat haluan.

Saya menyebut ini penerbangan yang menyita energi dan doa perjalanan tapi Alahmdulllaih, tiba dengan selamat. “Papua Barat memang begitu,” kata seorang kawan yang sudah lama di Sorong.

Di bandara, pria-pria muda dengan paras Sulawesi, nampak necis berbagi sapa dan canda dengan warga asli Papua. Mereka nampak akrab. “Hei kakak, kabar baikkah?” “Hujan e.” Saling sapa di pagi muda.

Tukang ojek, perental mobil nampak banyak di mulut bandarra tapi saya mencatat, mereka tak seagresif di bandara Makassar.  Mereka nampak adem, tak ada hadang jalan dan bilang  “ojek pak?”  atau  “Mau sewa mobil?”.

Di Bandara Rendani, saya tidak – atau belum ya – menemukan kafe atau warung kopi penjaja minuman selain yang di sudut kanan bandara, pukul 6 ;pagi ini.

Di gerbang bandara, saaya tak butuh waktu lama untuk bisa dibawa pengojek asal Jeneponto. Dia tinggal di bukit, di kompleks Brimob.

“Sudah lamami di Manokwari, rumah saya di atas sana, di kompleks,” katanya saat mengantar saya ke Hotel Saribo sekadar untuk tidur sejam dua jam sebelum bertolak ke Teluk Bintuni pukul 1 siang.  Karena saya tak bertanya berapa sewa, saya merogoh kocek dan memberi sepantasnya.

Setelah mandi, tidur sekira sejam, saya menelpon Adi, pria asal Segeri Pangkep, Sulsel. Saya dapat kontaknya dari kawan di Manokwari, Anto yang asal Palopo.

“Butuh waktu sekitar 5 atau 6 jam ke Teluk Bintuni, semoga tidak dapat gelap di Manokwari Selatan,” kata Adi yang mengaku sudah pernah jadi sopir di banyak kabupaten di Papua dan Papua Barat. Termasuk di Wamena. Aneka bukit telah dijelajahi. Mobil Hilux yang dia bawa ini adalah milik keluarganya, pengusaha transportasi.

Ini perjalanan saya yang pertama di jalur ramai Manokwari – Oransbari – Ransiki – Esim –  Manimeri – Teluk Bintuni.

Di Manokwari Selatan ini saya mendengar tentang kiprah konttraktor besar namanya Haji Nur orang Bugis-Palopo (belakangan ada yang bilang asal Gowa).

Itu kata Adi setelah saya dan ustaz Jumardi Lanta salat duhur di masjid yang dibangun Haji Nur itu. Cerita Adi, kontraktor ini yang aktif membangun atau memperbaiki kualitas jalan Manokwari – Teluk Bintuni. Mesin-mesin, Gudang, material berserak di sepanjang jalur itu.

Di Oransbari, saya menyaksikan sekelompok warga asal Jeneponto di atas double cabin dan pelesir ke Manokwari Selatan. Saya ingin mengatakan pekerja tetapi terdapat beberapa perempuan dan kanak-kanak. Aksen mereka sangat jelas, berbahasa Makassar Jeneponto.

Di Ransiki, setelah melewati jalur Gunung Botak yang hening, saya mendapati kedai dimana pemiliknya berkopiah. Tokonya berjeruji tapi pembeli dan warga banyak yang mengetem di situ. Percakapan dan canda tawa terdengar di sana.

Antara Ransiki dan Teluk Bintuni, saya berpapasan sepasang suami istri yang baru pulang dari berburu rusa di pedalaman Esim. Yang perempuan mengaku orang Gowa dan suaminya orang Palopo.

Perempuan dan dua anak balita di atas roda dua mereka harus turun dan menunggu mobil dari Teluk Bintuni. Suaminya sedang mengambil rusa hasil jerat. Jelang gelap di Ransiki, perempuan itu dan dua anaknya harus menunggu mobil di jalan tanpa lampu.

Rusa adalah daya tarik warga untuk berkelana dari hutan ke hutan di Manokwari Selatan yang masih perawan.

Sekitar pukul 9 malam, kami tiba di Teluk Bintuni yang adem.

Sahabat saya Yeremia Manibuy yang bekerja di RSUD Teluk Bintuni menjemput di Hotel 88 milik orang Toraja, saya panggilnya Bapak Gita, dia sudah bertahun-tahun tinggal di Papua setelah pindah dari aneka pekerjaan.

Bapak Gita pernah jadi karyawan perusahaan kayu, karyawan mtra kerja Pertamian Sorong, sopir truk kayu hingga betah sebagai pengelola penginapan 8 kamar. Istrinya orang Rantepao.

Berbekal ijazah SPMA Sidrap, dia kinii merajut masa depan di Teluk Bintuni, kabupaten yang disebutnya tenang dan punya prospek bagus di Papua Barat.

Di Teluk Bintuni, nuansa Sulawesi Selatan sangat terasa. Ratusan tukang ojek ada di sini, sebagian besar Bugis-Makassar. Sebagian besar berbahasa Makassar.

Warung ikan bakar di Pasar Teluk Bintuni lebih banyak dikelola orang Bugis Bone hingga Sinjai. Salah satu warung pemiliknya malah mengaku sekampung Andi Amran Sulaiman. Warung-warung ini dikelingi para pengojek, sopir double cabin yang selalu siap menghantar ke mana pun.

Malam itu, saya memesan ikan nila bakar, di warung kaki lima yang dikekola orang Jawa Barat, di selatan hotel. Di seberangnya ada masjid besar dengan konstruksi era 80-an. Artistik juga melihatnya dalam balutan cahaya malam.

Penjual sate yang setahuku umumnya dikelola oleh orang Madura tapi yang kami dapati beraksen Bugis-Makassar, perempuan itu nampak akrab dengan para pengojek yang sedang ngetem di sekitar pelabuhan Teluk Bintuni. Satenya enak. Serius.

Di Teluk Bintuni, di kabupaten berpenduduk sekitar 78 ribu jiwa itu, di pusat-pusat layanan pemerintahan, saya bertemu banyak pegawai yang berasal dari Sulawesi Selatan. Dari perawat di RSUD Teluk Bintuni hingga Kepala Dinas. Ada yang jadi kepala bidang, ada kepala Bappeda, hingga Kepala Dinas Sosial.

Begitulah sosodara, di penghujung Ramadan ini, saya membayangkan suasana kebatinan mereka, akankah berlebaran di sana atau mengantri boarding di Bandara Rendani demi sanak saudara di kampung asal.

Bagi mereka yang tak bisa print tiket pesawat bisa jadi sedang menakar peluang pulang via kapal laut, bisa ke Sorong atau Manokwari sembari menunggu jadwal Pelni yang masih melayari rute itu.

Selamat menyambut Hari Kemenangan, wahai para perantau.  Kata Tulus, hati-hatiki di jalan.

 

Penulis: K. Azis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts