[KOLOM] Muhd Nur Sangadji: La premiere voyage, menulis di antara awan dan ombak

  • Whatsapp
Muhd Nur Sangadji bersiap menuju Taliabu via Luwuk (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Desember 2019, itulah saat terakhir saya naik pesawat. Waktu itu, terbang dari Jakarta ke Palu usai hadiri rakornas BNPT dan FKPT se Indonesia. Tidak terpikir, sesudahnya perjalanan terhalang. COVID-19, penyebabnya.

Hari ini, setelah delapan bulan, saya baharu naik pesawat lagi untuk yang pertama kalinya di masa pandemi. Sebab itu, saya kasih judul “La premiere voyage, the first traveling“. Saya menuju Luwuk. Kemudian, Taliabu dengan kapal laut.

Read More

Artikel ini saya mulakan di pesawat. Di antara awan. Sampai di kalimat ini, pesawat persis berada di atas bandara Ampana. Tertatap dari kejauhan, deretan kepulauan Togean. Pulau pariwisata dalam bingkai segi tiga terumbu karang dunia (the golden coral triangle). Saya berhutang akademik di sini. Karena di tempat inilah, disertasiku lahir.

Sesaat kemudian, ada komando dari ruang kemudi. Flight attendants, preparing for Arrival. Artinya, tidak lama lagi pesawat akan mendarat.

Perasaan agak lega. Karena kabarnya, satu jam lagi, kapal laut akan bertolak. Sejumlah mahasiswa asal Taliabu sudah menunggu. Mereka yang akan mengawal hingga Bobong. Ibu kota Taliabu.

Perjalanan ini adalah gawean anak-anak mahasiswa ini. Mereka merangkai event untuk Hari Kemerdekaan. Diangkatlah tema menarik berjudul ‘Merajut Keberagaman untuk Kemerdekaan yang Sesungguhnya’. Tema yang sangat relevan untuk kebutuhan Indonesia saat ini. Ada juga agenda pararel bersama Pemda dan tausyiah tahun baru hijriyah serta ceramah di SMA dan SMK.

Kalau mau jujur. Perjalanan ini cukup mengkhawatirkan untuk beberapa alasan.

Pertama, COVID-19 belum reda. Kedua, jarak dan medan tempuh. Udara, darat dan laut. Namun, ada imbangan dorongan.

Satu, tantangan pembinaan bagi generasi muda. Dua, janji yang pernah terlontar ketika beri orasi saat pelantikan mereka di Palu. Tiga, ini kategori daerah terluar Indonesia yang belum pernah saya kunjungi.

Maka, saya bilang dalam hati ku. “This traveling is my adventure”.

Tulisan ini saya lanjutkan di atas kapal, di antara deru mesin, angin malam dan deburan ombak. Sesekali ada goncangan. Tumbukan ombak ke badan kapal. Saya menjaga keseimbangan. Antara berpikir dan melawan rasa kantuk.

Mahasiswa yang menemani, sudah tertidur pulas. Dia Masidin, mahasiswa baru di Tompotika Luwuk. Sebelumnya, putus kuliah di Fakultas Teknik Unkhair.  Dikisahkan perjalanan hidupnya yang penuh pilu. Andaikan di Palu, telah saya ajak tinggal di rumah saja.

Di atas kapal meuju Taliabu (dok: istimewa)

Jam sudah menunjukkan pukul 01.43 Wita. Koneksi internet sudah putus. Itu artinya, kapal telah ada di laut lepas. Sekitar lima jam lagi baru tiba Pelabuhan Bobong.

Ombak mengayunkan kapal agak kencang. Kulihat di dinding ada satu pelampung. Sementara, kami berdua di kamar ini. Mengapa hanya satu? Itu untuk ABK. Ini kamar mereka yang disewakan. Untung, saya juga bawa jaket  pelampung cadangan. Sekadar ikhtiar. Masih tersimpan di dalam kopor. Semoga tidak bermasalah.

Saya terbangun ketika jam menunjukan pukul 03.35. Goyangan kapal kian kencang. Saya puyeng. Padahal, kalau tidak sekolah, saya ini adalah nelayan. Setengah hidupku saat SD sampai SMA, ada di laut.

Saya pernah ikut memburu ikan tuna di laut lepas. Ombaknya setinggi 10 meteran. Tapi, kali ini saya pusing. Barangkali, lantaran sambil menulis catatan ini di atas ombak.

Saya putuskan berhenti menulis. Lantas, buka WA satu-persatu. Ada kiriman tengah malam dari Kasrem Tadulako. Ajakan shalat Tahajud. Beliau ini tentara yang ibadahnya mengagumkan saya. Satu waktu kami ada acara dengan Pak Gubernur. Beliau pamit kepada saya dan Prof Djuraid untuk shalat dhuhur. Sedangkan, kami tetap hadapi nasi kotak. Padahal kami berdua adalah penceramah.

Saya bilang ke Prof Djuraid, lanjutkan. Masih ada teman kita, ustadz Muhtaddin dari MUI. Lalu, kami percepat santapnya, kemudian bertiga pergi shalat.

Jam telah menunjukan pukul 6.30 pagi. Kapal merapat ke palabuhan Bobong. Disambut guyuran hujan deras sekali. Sedikit lagi, saya turun dari kapal. Injakan pertama di pulau yang namanya telah terpahat di memoriku sejak kecil.

Kultur leluhur orang Tidore waktu menginjak tanah untuk pertama kali. Ada upacara “joko hale” (injak tanah). Itu pun baru saya tahu saat menemani ilmuwan asing waktu seminar international di Universitas Khairun beberapa waktu lalu.

Dari pulau Taliabu ini, saya menyaksikan gelondongan kayu berukuran raksasa dibawa pergi. Tongkang dan kapal Jepang mengangkutnya. Sering berlabuh lebih dahulu di Pelabuhan Ternate.

Sejak tahun 1970-an itu, saya telah mengenal nama PT Pantunggal dan PT Barito. Dua perusahaan kayu yang menggarap Halmahera dan sekitarnya.

Tahun 2004, saat bekerja untuk UNDP, saya bilang dengan nada tanya kepada Gubernur Maluku Utara bersama Prof Rohmin Dahuri. Harta bumi Halmahera dikeruk sejak lama. Semuanya untuk siapa? Rakyat dan pemerintah daerah, pusat serta negara mendapat apa dan berapa?

Pertanyaan yang masih tetap relevan ditanyakan ulang, untuk setiap ekpslorasi sumber daya alam di seantero negeri Indonesia saat ini. (Bersambung)

 

Ditulis: Penulis adalah dosen Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu.

 

Related posts