Reportase Bahar Makkutana | Tangga Silaturrahmi di Letta: Menjaga Akses dan Tradisi di Tengah Tebing Terjal

  • Whatsapp
Tak mengapa ekstrem, keselamatan taruhannya, yang penting bisa silaturahmi (dok: Istimewa)

Tak kalah menantang adalah Tangga Galuppio, yang berada di sudut tebing Galuppio dan menghubungkan Kampung Salubaka di Desa Kaseralau dengan Kampung Bala’ba dan Lomba di Desa Kariango

PELAKITA.ID – Di tengah keterbatasan akses jalan yang ekstrem, warga Letta tetap menjaga jalinan silaturrahmi dan aktivitas ekonomi lintas desa, terutama di momen Idul Fitri 2025.

Jalur terjal tak menjadi penghalang, justru menjadi bagian dari narasi kebersamaan yang sudah mengakar kuat.

Read More

Wilayah Letta terbagi dua: Letta bagian atas mencakup Desa Letta dan Desa Kariango di Kecamatan Lembang, sementara Letta bagian bawah meliputi Desa Kaseralau di Kecamatan Batulappa, Kabupaten Pinrang.

Kedua wilayah ini dipisahkan oleh tebing tinggi dengan kemiringan yang nyaris vertikal. Namun, keterpisahan secara geografis ini tak pernah memutus hubungan sosial dan ekonomi antarwarga.

Suasana menuju silaturahmi (dok: Istimewa)

Sudah sejak zaman kolonial Belanda dan pemberontakan DI/TII, warga memanfaatkan dua buah tangga tradisional yang menempel pada tebing sebagai jalur utama penghubung. Tangga-tangga ini telah bertahan puluhan tahun, menjadi bukti ketekunan warga dalam menjawab tantangan alam.

Salah satu tangga yang paling dikenal adalah Tangga Ale-Ale. Tangga ini menghubungkan Dusun Tepulu dengan Mandiangin dan Balaleon. Meniti ratusan anak tangga setinggi hampir 100 meter ini bukan perkara mudah.

Tiangnya menempel pada tebing, memanfaatkan akar-akar tanaman sebagai penyangga, sementara pijakan batu menjadi tempat berpijak yang diandalkan.

Tangga ini hanya bisa dilalui satu orang dalam satu waktu. Untuk menghindari pertemuan di tengah tebing, para pengguna biasanya saling memberi kode dengan teriakan sebelum melintas. Lebarnya tak lebih dari 50 sentimeter—cukup untuk satu tubuh manusia yang hati-hati.

Tak kalah menantang adalah Tangga Galuppio, yang berada di sudut tebing Galuppio dan menghubungkan Kampung Salubaka di Desa Kaseralau dengan Kampung Bala’ba dan Lomba di Desa Kariango.

Tebing ini bahkan lebih curam dibanding Ale-Ale, dengan ketinggian yang hampir sama, yakni sekitar 60 meter. Bagi pemula, butuh waktu sekitar setengah jam untuk menyelesaikan pendakian ini. Namun bagi warga lokal, ini adalah rute yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

“Dulu kami takut juga menuruni tangga ini. Tapi lama-lama jadi terbiasa,” ungkap Jupri, warga Dusun Tepulu yang sejak kecil sudah akrab dengan jalur ini.

Lalu lintas di kedua tangga ini paling ramai setiap hari Sabtu, saat pasar Tepulu dibuka. Warga dari berbagai penjuru membawa hasil kebun dan ternak, atau sekadar berbelanja kebutuhan harian.

Pemandangan di seberang jauh (dok: Istimewa)

Di hari biasa, tangga lebih banyak digunakan oleh petani atau saat ada hajatan warga seperti pernikahan maupun kedukaan.

Ada satu momen bersejarah yang masih dikenang warga hingga kini. Bupati Pinrang kala itu, Musa Gani, pernah ditandu oleh warga menuruni tebing ini. Setelah itu, belum ada lagi kepala daerah yang berani menempuh rute serupa.

Tangga Ale-Ale dan Galuppio bukan hanya jalur vertikal biasa, melainkan simbol ketekunan, keberanian, dan semangat silaturrahmi masyarakat Letta yang tak lekang oleh waktu.

Foto: Jufri dan Sucan

Related posts