Catatan Bahar Makkutana | Massiara Burasa’ di Kampung Loka Keseralau

  • Whatsapp
Burasa' berbungkus daun (dok: Istimewa)

Ayah saya tampak sedih. Ia kini satu-satunya yang masih hidup dari delapan bersaudara.

PELAKITA.ID – Hari ketiga di Loka Desa Kaseralau bertepatan dengan 1 Syawal—hari Lebaran yang telah dinanti-nanti oleh seluruh keluarga.

Seperti biasa, kami melaksanakan salat Idulfitri di Masjid Al Irsyad Loka—masjid yang menjadi tempat kami mulai ditempa sejak sebelum masuk sekolah dasar.

Read More

Masjid ini telah mengalami pemugaran total sejak tiga tahun lalu dan saat ini masih dalam proses penyelesaian.

Imam salat Id kali ini, yang berlangsung khidmat, dipimpin oleh adinda Baba, sebagaimana tahun sebelumnya. Sedangkan khutbah dibawakan oleh ananda Iwan, seorang pelajar yang saat ini sedang mondok.

Pulang kampung, menemui orang tua, nikmat tiada tara (dok: Bahar Makkutana)

Berbeda dari Lebaran sebelumnya, kali ini tidak ada seremoni tambahan, baik sambutan dari kepala desa maupun dari unsur lainnya. Tidak ada pula penyampaian dari panitia pembangunan masjid.

Padahal, momen seperti ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan progres, capaian, kondisi keuangan, serta rencana tindak lanjut pembangunan.

Seusai salat, jamaah saling bersalaman, kemudian berkelompok dan mulai bergerak dari rumah ke rumah—menyisir lingkungan sekitar masjid hingga ke rumah-rumah yang lebih jauh. Tradisi ini dikenal dengan sebutan massiara.

Saya, istri, tiga putri, dan beberapa keponakan meluncur ke Kampung Banga, kampung asal ayah saya.

Menuju Rumah Allah SWT di Loka (dok: Bahar Makkutana)

Di sana, saya mengunjungi rumah para saudara kandung ayah, terutama rumah adik perempuannya yang baru saja berpulang pada malam takbiran.

Ayah saya tampak sedih. Ia kini satu-satunya yang masih hidup dari delapan bersaudara.

Momen dirindukan saat pulang kampung, menikmati pemandangan dari teras rumah panggung, bersama sanak saudara (dok: Bakar Makkutana)

Hari berikutnya (Selasa, 1 April), kami melanjutkan massiara ke Tarokko, Desa Batulappa, mengunjungi rumah paman saya, Puang Punga Sinni—saudara kandung ibu.

Beliau kemudian ikut bergabung bersama saya untuk berkunjung ke Baruppu, Banga, dan lanjut ke Tepulu. Ia mengaku sudah sekitar 20 tahun tidak menginjakkan kaki di Tepulu—kampung yang terletak setelah Banga dan merupakan bagian ujung Desa Kaseralau sebelum Paleleng dan Salubaka.

Di kampung ini, kami massiara ke rumah Jufri, salah satu kerabat dekat.

Di Tepulu, paman saya mengenang masa-masa silam ketika ia sering melintasi tangga Ale-Ale di tebing curam. (Catatan tentang tangga Ale-Ale telah saya posting sebelumnya.)

Bersua paman dan sanak saudara (dok: Bahar Makkutana)

Jalanan dari Banga ke Tepulu masih berupa jalan tanah. Kami melewatinya beberapa saat setelah hujan deras turun.

Mama Iwan, salah satu kerabat di Banga, meminta saya agar berhati-hati mengemudi.

Ia sempat meragukan kemampuan saya, mengingat saya belum berpengalaman menyetir di jalan tanah yang licin dan berlumpur.

Alhamdulillah, jalur ke dan dari Tepulu bisa kami lewati dengan selamat, tanpa hambatan yang berarti.

Bahar Makkutana

Related posts