Kolom Prof Iqbal Burhanuddin: Bencana hidrometereologis

  • Whatsapp
Prof Andi Iqbal Burhanuddin (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Peristiwa banjir sudah mulai terlihat saat ini di banyak daerah dalam skala yang berbeda dimana air dengan jumlah yang berlebih berada di daratan yang biasanya kering.

Keadaan itu biasanya diperparah oleh kurangnya penyimpanan air atau resapan air, permasalahan tata kota, hingga curah hujan yang cukup tinggi.

Negeri ini sebagian besar bencananya adalah bencana hidrometeorologi yaitu  bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya.

Read More

Misalnya, peningkatan curah hujan, suhu ekstrem, cuaca ektrim seperti hujan lebat yang disertai angin kencang serta kilat atau petir, dan lain sebagainya.  Dari awal tahun 2021 ini, Indonesia sudah diguncang  berbagai bencana hidrometeorologi yang menimbulkan korban jiwa.

Dalam pelajaran Fisika disebutkan bahwa energi di alam itu kekal dan hanya dapat berubah menjadi bentuk energi lain.

Kerusakan lingkungan yang masif, suhu bumi yang terus meningkat seiring dengan  konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer yang  tinggi dapat berubah jadi energi kalor dalam bentuk panas, atau energi kinetik dalam bentuk angin kencang (siklon), dan dapat menjadi energi potensial dalam bentuk hujan lebat  penyebab banjir ekstrim.

Meningkatnya temperatur suhu rata-rata di atmosfer oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan  dikenal dengan pemanasan global.

Peristiwa tersebut merupakan sebuah fenomena global yang dipicu kegiatan menghasilkan gas-gas yang semakin lama semakin banyak jumlahnya di atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) melalui proses yang disebut efek rumah kaca.

Sebuah hasil penelitian terbaru yang terbit dalam jurnal Nature Climate Change edisi 30 Agustus 2021 memprediksikan bahwa akibat meningkatnya suhu bumi, kenaikan permukaan laut yang ekstrem di sepanjang garis pantai di seluruh dunia akan terjadi 100 kali lebih sering pada akhir abad ini.

Pernyataan ini semakin membuat peluang sebuah pulau akan tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.  Contoh dampak buruk lainnya  seperti curah hujan yang tinggi, kegagalan panen, hilangnya terumbu karang, kepunahan berbagai spesies, hingga penipisan lapisan ozon pada atmosfer bumi.

Menurut pengamatan terhadap data suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, Badan Meteorologi , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan dini pada kita di berbagai media bahwa Indonesia akan mengalami cuaca ekstrem akibat fenomena La Nina pada akhir  tahun ini.

Berdasarkan kejadian La Nina pada 2020, curah hujan akan mengalami peningkatan pada November 2021-Januari 2022.

Terutama di wilayah Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali hingga NTT, Kalimantan bagian selatan dan Sulawesi bagian selatan,  curah hujan bulanan di wilayah tersebut naik 20-70 persen lebih besar dibanding normal.

Secara umum, La Nina akan hadir dengan intensitas lemah-sedang hingga akhir Februari 2022.

Fenomena La Nina  terjadi karena pendinginan suhu muka laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah hingga di bawah suhu normal cukup berpotensi meningkatkan curah hujan yang  identik dengan risiko banjir di sejumlah wilayah Indonesia (bmkg.go.id).

Meski tidak dipungkiri, bahwa banjir adalah salah satu bencana yang dapat terjadi sebagai efek dari perubahan iklim, ini tidak berarti tidak dapat ditanggulangi.

Kejadian bencana hidrometeorologi harus diikuti dengan tindakan-tindakan pencegahan ataupun penanggulangan yang signifikan.

Ketika banjir datang berulang, pemerintah setempat sudah seharusnya  memiliki kemampuan dalam antisipasi, pencegahan, serta penanganan yang makin baik dan canggih dari waktu ke waktu,  namun pada kenyataannya nampak tidak lebih sigap dan cekatan dalam mengatisipasinya yang pada akhirnya menimbulkan korban jiwa.

BMKG telah mengingatkan bahwa menghadapi kemungkinan bencana hidrometeorologi, seperti hujan lebat disertai petir dan angin puting beliung yang prediksi potensinya terjadi pada September hingga awal Januari 2022, masyarakat dan pemerintah harus segera mengantisipasi dan menyiapkan langkah peningkatan kewaspadaan dan mitigasi guna meminimalkan potensi dampak  bencana hidrometeorologis jika terjadi.

 

Baraya, 15 Nov 2021

Related posts