Guru Besar Unhas: Pengelolaan Sampah Harus Dipaksakan

  • Whatsapp
Ilustrasi larangan buang sampah (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Sampah selalu menarik untuk dibahas. Dimensinya kompleks dan menggambarkan kelindan individu, lingkungan dan sistem yang ada.

Guru besar Ekotoksikologi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanyddin, Prof Khusnul Yaqin membagikan perspektif, fakta dan isu penanganan sampah di sekitar termasuk merespon kenyataan bahwa di kampus seperti Universitas Hasanuddin masih ditemukan sampah berserakan.

Mari simak hasil obrolannya dengan Kamaruddin Azis, founder Pelakita.ID berikut ini.

Read More

Seperti apa pembacaan Prof Khusnul pada isu sampah ini?

Sampah sebenarnya adalah problem kita semua. Ini adalah masalah di seluruh tempat di Indonesia, di mana pengaturan sampah masih jauh dari standar negara maju.

Padahal, ini adalah persoalan yang sebenarnya cukup sederhana.

Menurut saya, ini lebih pada persoalan paradigmatik. Di negara Barat, sampah bisa tertangani dengan baik karena paradigma mereka dalam melihat sampah berbeda dengan kita.

Mereka serius karena sampah ini pada tingkatan tertentu bisa dipahami sebagai sumber daya. Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai sampah.

Itu kreasi tim bank sampah di FIKP Unhas (dok: Istimewa)

Perubahan paradigma inilah yang harus kita lakukan terhadap masyarakat kita, yang mencakup semua elemen—masyarakat luas, pekerja, saintis, intelektual, pemerintahan, dan semua orang di dalamnya. Paradigma dalam melihat sampah harus berubah.

Sebenarnya begini, misalnya botol plastik ini, jika masih di rumah atau di depan meja kita, ia belum menjadi sampah. Tetapi, saat kita membuangnya ke tempat sampah atau sembarang tempat, saat itulah ia menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan bagi kita, bahkan dianggap menjijikkan.

Padahal, sebelumnya botol ini dibuat dari bahan yang bukan sampah, seperti pasir kuarsa silika yang memiliki nilai mahal.

Seharusnya, ketika tidak digunakan lagi, bisa dikembalikan ke model awalnya. Inilah yang disebut dengan daur ulang atau recycle. Masalahnya, kita tidak meletakkan sampah seperti ini di tempat yang benar. Jika sampah plastik, misalnya, kita letakkan di tempat yang bisa didaur ulang, maka bisa dideposit di bank sampah.

Bank sampah memiliki fungsi mendaur ulang, baik dilakukan di bank sampah itu sendiri atau dijual ke tempat lain.

Bahkan, saat ini ada ekspor ke Eropa karena di sana dilarang membuat botol plastik dari bahan murni, harus ada unsur barang daur ulang. Hal ini menjadi sebuah bisnis yang sekarang dikenal dengan ekonomi sirkular.

Tadi kita berbicara tentang paradigma, yang berarti kita harus melakukan perubahan. Perubahan ini, menurut saya, harus dipaksakan.

Di Eropa, misalnya, pengelolaan sampah itu dipaksakan. Saya pernah tinggal di Berlin, dan di sana apartemen memiliki perjanjian dengan pemerintah terkait pengelolaan sampah.

Jika sampah tidak dipilah, harganya lebih tinggi, dan jika memilah, biayanya lebih murah. Bahkan, jika tidak memilah, sampah mereka tidak diambil.

Peraturan ini mengikat masyarakat. Selain aturan, pemerintah juga harus menetapkan mekanisme yang efektif, seperti sistem refill, di mana wadah-wadah sampah bisa diganti ulang sehingga tidak ada sampah yang tercecer saat pengangkutan. Ini seharusnya mudah diterapkan, dan pemerintah memiliki sumber daya untuk itu.

Jika kita kembali ke kampus, kita tahu bahwa kampus adalah agen perubahan. Kampus harus memulai lebih dulu.

Saya pernah ke Chulalongkorn University di Thailand, yang sangat serius dalam mengelola sampahnya. Kampus ini memiliki banyak pohon dan bahkan memiliki sungai yang diolah dengan aerasi.

Limbah dari laboratorium dan gedung perkuliahan dikelola sebelum dibuang ke sungai, sehingga sungai tetap bersih dan bahkan bisa menjadi habitat ikan.

Ini bisa menjadi contoh bagi Unhas, yang memiliki danau. Jika dikelola dengan baik, danau Unhas bisa menjadi ikon dan tempat wisata.

Kesadaran ini harus tumbuh secara kolektif. Bagaimana caranya? Haruskah dipaksakan terlebih dahulu agar kemudian tumbuh kesadaran dari dalam? Haruskah pendekatan ini dilakukan secara paralel, atau ada strategi khusus yang harus kita inisiasi dalam bentuk proyek atau program konkret?

Saya melihat bahwa kesadaran ini bisa ditumbuhkan dengan cara sederhana.

Kita bisa belajar dari program Yusuf Kalla yang mengubah kebiasaan masyarakat dari penggunaan minyak tanah ke gas. Awalnya, banyak orang takut karena risiko meledak, tetapi karena dipaksakan dengan aturan, akhirnya sekarang hampir semua orang menggunakan gas. Hal yang sama bisa diterapkan dalam pengelolaan sampah.

Misalnya, di Chulalongkorn University, pengelolaan sampah dipaksakan kepada masyarakat kampus. Mereka harus memilah sampah dengan benar, dan ada sistem aktif untuk pengelolaannya. Sampah organik dari kantin diolah menjadi pupuk dalam waktu 24 jam, yang kemudian diambil oleh petani.

Jadi, pendekatannya harus mencakup perubahan paradigma dan paksaan melalui aturan yang jelas.

Sampah harus dilihat sebagai sumber daya, bukan sekadar limbah. Seperti halnya puasa Ramadan, yang awalnya berat tetapi dengan latihan menjadi refleks. Hal ini yang harus diterapkan dalam pengelolaan sampah.

Saya juga sering menyampaikan ini dalam kuliah AMDAL, bahwa AMDAL tanpa perubahan paradigma hanyalah formalitas belaka. AMDAL bisa dibeli, dan jika itu terjadi, dampaknya sangat berbahaya.

Saya melihat bahwa Unhas dapat berkontribusi lebih dalam pengelolaan sampah dengan memulainya dari lingkungan kampus.

Langkah paling efektif adalah memanfaatkan sumber daya yang ada, baik dari institusi pendidikan, pemerintah daerah, maupun komunitas. Kampus memiliki potensi besar karena terdiri dari kelompok yang teredukasi dan memiliki kemampuan menciptakan teknologi dan mekanisme pengelolaan sampah.

Edukasi harus diberikan kepada mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen, hingga pejabat kampus agar memiliki visi yang sama tentang pengelolaan sampah.

Konkretnya?

Salah satu solusi adalah dengan membentuk unit pengelolaan sampah di setiap fakultas. Unhas sebenarnya sudah memiliki unit pengelolaan sampah, tetapi masih ada kekurangan dalam koordinasi.

Perlu ada model yang bisa diterapkan lebih luas. Misalnya, bisa dimulai dari Perumahan Dosen Unhas, lalu diperluas ke perumahan masyarakat. Jika model ini berhasil, dapat dikembangkan lebih lanjut dengan koordinasi bersama pemerintah daerah.

Ada contoh lain di Indonesia?

Untuk contoh di Indonesia, ada satu kelompok di Bali yang menangani sampah plastik dengan cara yang inovatif.

Mereka bahkan membeli sampah plastik yang tidak laku, seperti kantong kresek, demi menjaga lingkungan. Di sana juga sudah ada teknologi yang mengubah plastik menjadi bahan bakar.

Profesor dari ITS telah mengembangkan teknologi ini agar menghasilkan bahan bakar dengan kualitas tertentu.

Jika pemerintah mengadopsi konsep ini dan mendanai pengembangan teknologinya, ini bisa menjadi solusi besar dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

Yang penting adalah kita memiliki visi bersama bahwa sampah bukanlah limbah, melainkan sumber daya yang bisa memberikan manfaat ekonomi.

Editor K. Azis

Related posts