Ia adalah seorang laki-laki biasa yang setia pada Rinjani. Baginya, mendaki bukan soal puncak. Tapi tentang pulang. Dan rumah baginya adalah Rinjani.
PELAKITA.ID – Di Pulau Lombok, Negeri Seribu Masjid, kokoh berdiri Gunung Rinjani. Bagaikan ayat panjang yang dibaca alam dengan penuh kekhusyukan. Di antara embun dan kabut, di antara desir angin dan bayang cemara, terukir kisah cinta yang tak biasa.
Bukan cinta manusia kepada manusia. Ini cinta manusia kepada gunung. Dan bukan sekadar gunung. Tapi Rinjani—gunung suci, sakral, sekaligus rentan. Dan Agam, dialah “penjaganya”.
Agam bukan tokoh besar di layar-layar media. Ia bukan pejabat taman nasional, bukan pengamat yang rutin muncul di seminar lingkungan.
Ia adalah seorang laki-laki biasa yang setia pada Rinjani. Baginya, mendaki bukan soal puncak. Tapi tentang pulang. Dan rumah baginya adalah Rinjani.
Jalur Hidup Seperti Lereng Rinjani
Sejak usia lima tahun, Agam sudah akrab dengan kerasnya jalan hidup. Ia belajar menyetir truk saat anak seusianya masih bermain kelereng. Berteman dengan sopir pengangkut sampah di TPA, ia mengerti bahwa hidup bukan tentang jalan mulus, tapi tentang keberanian menempuh jalan yang ada.
Pernah jadi porter, jadi guide, jadi pencuci piring di warteg hanya demi semangkuk nasi. Tapi semua ia jalani dengan tabah. Seperti mendaki: pelan, berat, tapi pasti.
Agam pernah menumpang truk ke gunung lain saat ongkos sewa mobil tak cukup. Pernah tinggal dari satu tenda ke tenda lain, menggantungkan hidup pada beras yang selalu dibawa serta.
Tawaf-nya ke banyak kota dan gunung bukan pengembaraan kosong, tapi ziarah spiritual. Dan dari semua tempat yang ia datangi, hatinya selalu kembali ke satu titik: Rinjani. Kiblat cintanya.
Rinjani, Gunung yang Bernapas
Gunung Rinjani bukan sekadar bentang geologi dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut. Ia adalah lanskap spiritual yang dihormati oleh masyarakat Sasak. Danau Segara Anak di kawahnya diyakini suci. Air Panas Aik Kalak menjadi tempat perhentian bagi pendaki yang ingin menyembuhkan lelah, bukan hanya di badan, tapi juga di jiwa.
Bagi Agam, Rinjani bukan objek. Ia adalah subjek. Ia hidup, bernapas, memberi tanda. Kadang lewat hewan yang muncul tiba-tiba. Kadang lewat mimpi yang membawa pesan.
“Rinjani itu bisa bicara,” ujar Agam suatu malam, dari dalam tenda di Pelawangan Sembalun.
“Kita cuma perlu mendengar dengan hati. Agar alam menyapa kita dengan santun.”
Agam tahu setiap lekuk gunung Rinjani. Ia tahu kapan kabut tak biasa berarti peringatan. Ia tahu kapan pohon tumbang menyimpan pesan.
Ia tidak menuhankan Rinjani, tapi mencintainya dengan takzim. Sebab baginya, menjaga alam adalah bentuk lain dari ibadah.
Antara Cinta, Kamera, dan Kabut Viralitas
Hari ini, banyak orang datang ke Rinjani untuk mengabadikan keindahan. Kamera berseliweran. Drone mendengung. Lanskap diabadikan, tapi jejak-jejak ditinggalkan. Sampah plastik, puntung rokok, jejak sepatu yang merusak vegetasi. Viralitas menjadi kabut yang menutupi realitas. Keindahan jadi komoditas. Kesucian berubah jadi latar estetika.
Agam resah. Ia tak ingin kisah cintanya dengan Rinjani ditelan kabut popularitas. Ia tak ingin menjadi tokoh utama dalam sinetron viral yang menjual petualangan tapi melupakan kepedulian.
“Saya takut, Rinjani jadi cantik di kamera, tapi sekarat di kenyataan,” ucapnya lirih.
Jumlah pendaki meningkat drastis pascapandemi. Namun, peningkatan ini menyisakan persoalan serakan sampah yang terakumulasi setiap musim pendakian. Sebagian besar dari sampah itu bahkan terselip di celah-celah batu Danau Segara Anak yang seharusnya suci.
Direstui Alam, Dirayakan Semesta
Namun di tengah ancaman itu, masih ada harapan. Harapan itu bernama Agam. Ia tidak menggugat dengan pidato, tapi mengingatkan lewat tindakan. Ia memunguti sampah tanpa kamera. Ia membersihkan jalur tanpa sorot berita. Ia memperbaiki tanda jalur yang hilang agar pendaki tak tersesat. Ia bekerja sendiri, dengan cinta yang sunyi, namun kuat.
Agam adalah “roh penjaga” Gunung Rinjani. Ia bukan sekadar warga lokal. Ia pewaris kearifan yang tidak bisa didapat dari buku. Ia tahu kapan gunung bersedih. Dan ia tahu, bahwa gunung bisa marah jika dicederai.
Dan mungkin karena itulah cinta Agam dan Rinjani menjadi begitu dalam. Direstui alam. Dirayakan semesta. Agam menjaga Rinjani, dan Rinjani menjaga Agam. Mereka saling bicara lewat bahasa yang tak terdengar oleh kebanyakan manusia.
Cinta Ini Jangan Bercerai
Kita hidup di zaman di mana perhatian cepat beralih, dan cinta mudah usang. Tapi kisah Agam dan Rinjani mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya soal rasa, tapi juga soal menjaga.
Menjaga keutuhan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Jangan biarkan cinta itu hancur oleh tangan kita sendiri. Jangan biarkan Agam bercerai dari Rinjani karena luka yang kita torehkan.
Jika kelak engkau mendaki Rinjani, jangan hanya memandang. Dengarkan. Rasakan. Hargai. Jangan tinggalkan jejak tanpa jejak hati. Sebab Rinjani bukan milik kita, tapi titipan semesta. Dan Agam, hanyalah pengingat bahwa cinta sejati tak butuh pujian—ia hanya butuh kesetiaan.
Biarlah ia tetap: Agam Rinjani
Cinta yang mendaki.
Cinta yang menjaga.
Direstui alam.
Dirayakan semesta.
___
KISAH CINTA AGAM DAN RINJANI: Direstui Alam, Dirayakan Semesta
Oleh: Muliadi Saleh, penulis, motivator perubahan sosial