Prof. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si, Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin menyampaikan kegelisahannya pada realitas yang telah berulang-ulang terjadi: perempuan pesisir yang berprofesi sebagai nelayan justru tak diakui sebagai nelayan. Akses mereka ke pemenuhan Bahan Bakar Minyak tak diindahkan pemerintah.
PELAKITA.ID – Perempuan penangkap ikan tak pernah dianggap nelayan. Padahal setiap hari mereka mendayung perahu kecil ke perairan dangkal, menebar jaring, menombak ikan pada malam hari, memungut kerang, mengumpulkan rumput laut, hingga menjualnya demi menafkahi keluarga. Namun kata nelayan hanya dilekatkan pada laki-laki.
Inilah politik penamaan yang menafikan kerja produktif perempuan pesisir. Identitas mereka terhapus dari sistem hukum dan kebijakan, bahkan tak diakui sebagai profesi dalam kolom pekerjaan di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Negara hanya menyebut mereka “ibu rumah tangga” atau “istri nelayan”, padahal mereka adalah nelayan sejati.
Kata Nelayan dan Kekuasaan
Sosiologi kritis memandang realitas sosial bukan sekadar fakta objektif, melainkan konstruksi hasil relasi kekuasaan. Penamaan nelayan yang dilekatkan hanya pada laki-laki adalah bentuk kekuasaan simbolik yang menyingkirkan perempuan penangkap ikan dari pengakuan sosial, ekonomi, dan politik.
Pierre Bourdieu menyebutnya language as symbolic power, di mana pihak dominan menentukan makna kata dan membatasi siapa yang diakui. Lebih jauh,
Bourdieu menjelaskan dominasi maskulin tercipta melalui habitus dan field yang menormalisasi peran laki-laki sebagai aktor utama dan perempuan sebagai pelengkap semata.
Dalam konteks nelayan, habitus patriarkal ini membungkam eksistensi perempuan penangkap ikan, bahkan negara pun terlibat di dalamnya.
Jika kita menelusuri kebijakan perikanan di Indonesia, hampir semua regulasi – UU No. 31/2004 jo UU No. 45/2009 (tentang Perikanan), hingga UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan – tak pernah menyebut perempuan sebagai nelayan. Mereka hanya disebut keluarga atau istri nelayan, padahal definisi nelayan dalam UU No. 7/2016 menyebut “setiap orang yang mata pencahariannya menangkap ikan.”
Perempuan Menangkap Ikan, Negara Menutup Mata
Data FAO (2023) menunjukkan perempuan menyumbang 46% tenaga kerja sektor perikanan dunia. Di Indonesia, KIARA mencatat 48% pendapatan rumah tangga nelayan berasal dari perempuan melalui penangkapan, pengolahan, dan pemasaran ikan.
Mereka bekerja rata-rata 17 jam sehari, melaksanakan peran produktif dan domestik sekaligus. Namun di mata negara, perempuan penangkap ikan tidak pernah diakui. Tak ada data resmi berapa jumlah mereka. Tanpa pengakuan formal, mereka kehilangan hak dasar sebagai pelaku perikanan.
Beberapa Contoh Kasus Perempuan Nelayan di Indonesia
-
Tambakpolo, Demak (Jawa Tengah): 31 perempuan penangkap ikan berjuang untuk diakui sebagai nelayan di KTP agar bisa mengakses kartu nelayan dan asuransi BPAN (Bantuan Premi Asuransi Nelayan).
-
Kelurahan Lappa, Sinjai (Sulawesi Selatan): Perempuan melakukan ma’sulo (menombak ikan malam hari), karakka (menjala malam hari), mengebolu (mengambil bibit bandeng), dan ngesa (mengumpulkan moluska, kepiting, ubur-ubur, rumput laut). Namun tetap tidak memiliki kartu nelayan dan tercatat hanya sebagai ibu rumah tangga.
-
Mama-mama Papua, Teluk Cenderawasih: Mendayung sampan 1–3 km untuk menjala ikan dan menangkap kepiting bakau, menopang ekonomi keluarga, namun tidak pernah tercatat di KTP sebagai nelayan. Tanpa status nelayan, mereka tak mendapat asuransi atau bantuan perikanan.
-
Kampung Laut, Cilacap: Perempuan memancing dan menjala ikan kecil di mangrove, namun hanya disebut istri nelayan dan tak pernah diajak musyawarah desa nelayan.
Budaya, Patriarki, dan Konsep Sosiologi Gender
Budaya masyarakat pesisir menempatkan perempuan di ranah domestik, meski mereka aktif menangkap, mengolah, dan menjual ikan.
Realitasnya, perempuan sering menangkap lebih banyak invertebrata di zona intertidal daripada laki-laki. Namun pekerjaan mereka hanya disebut memungut bukan menangkap, menandakan bias maskulin dalam bahasa dan kebijakan.

Dalam perspektif sosiologi gender, peran, status, dan identitas perempuan dibentuk oleh konstruksi sosial yang patriarkal. Teori gender mengajarkan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan bukanlah kodrat biologis semata, melainkan hasil pembelajaran sosial dan relasi kuasa yang terus direproduksi.
Oleh karenanya, pembagian kerja berbasis gender membatasi ruang gerak perempuan untuk diakui setara. Patriarki bekerja melalui enam struktur: rumah tangga, pekerjaan berbayar, negara, kekerasan, budaya, dan seksualitas.
Dalam konteks perempuan nelayan, mereka mengalami subordinasi di rumah tangga, invisibilitas dalam kebijakan negara, dan pengabaian kontribusi mereka di ranah ekonomi.
Konsep intersectionality (Kimberlé Crenshaw) juga relevan untuk melihat bahwa perempuan nelayan mengalami diskriminasi berlapis: sebagai perempuan, sebagai orang miskin, sebagai masyarakat pesisir, dan dalam banyak kasus juga minoritas etnis. Penindasan mereka bersifat struktural dan multidimensi.
Pemberdayaan yang Semu Ketika Kartu Nelayan Tak Pernah Diberikan
Paradigma pemberdayaan menekankan transformasi distribusi kekuasaan, bukan sekadar pelatihan teknis. Namun di lapangan, perempuan penangkap ikan kesulitan mengakses kartu nelayan, asuransi, atau kredit perikanan karena pekerjaan mereka tak tercatat di KTP sebagai nelayan.
Tanpa pengakuan administratif, mereka tetap invisibel di mata negara. Kartu nelayan bukan sekadar identitas, melainkan syarat mengakses subsidi BBM, asuransi kecelakaan, alat tangkap ramah lingkungan, hingga pelatihan usaha perikanan.
Teori recognition and redistribution (Nancy Fraser) menekankan bahwa keadilan sosial mensyaratkan redistribusi ekonomi dan pengakuan identitas secara simultan. Pemberdayaan tanpa pengakuan identitas hanyalah retorika pembangunan semu.
Membangun Kesetaraan di Laut, Hak atas Pengakuan
Pendekatan pembangunan berkeadilan menuntut pengakuan perempuan nelayan sebagai subjek pembangunan berkelanjutan. SDGs menekankan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan sebagai fondasi pembangunan.
Tanpa status formal, perempuan nelayan tetap tak terlibat dalam musyawarah desa atau pengambilan keputusan kebijakan perikanan. Pengakuan formal sebagai nelayan bukan hanya persoalan administratif, melainkan persoalan keadilan sosial dan pembangunan inklusif.
Ketika perempuan penangkap ikan tak tercatat sebagai nelayan, maka suara mereka hilang dalam forum strategis desa. Mereka tidak diajak menentukan waktu dan zonasi penangkapan, tidak terlibat dalam tata kelola sumber daya perikanan lokal, serta diabaikan dalam pembagian bantuan sarana produksi dan distribusi.
Sylvia Walby menegaskan patriarki terwujud dalam struktur ekonomi dan kebijakan publik yang mengabaikan kontribusi perempuan. Ketika negara menolak menulis kata “nelayan” di KTP perempuan penangkap ikan, maka negara sedang meneguhkan ketidakadilan struktural dan menghapus eksistensi mereka sebagai pelaku pembangunan.
“Injustice is primarily a problem of structural inequalities embedded in institutional rules and norms” (Iris Marion Young).
Mengubah Nama, Mengubah Nasib
Negara wajib memastikan profesi perempuan penangkap ikan tercatat resmi di KTP mereka sebagai “nelayan.” Mengubah nama berarti mengubah nasib.
Pengakuan identitas formal membuka akses kartu nelayan, asuransi, bantuan modal, dan memperkuat posisi tawar mereka dalam tata kelola perikanan skala kecil. Inilah inti pemberdayaan: mentransformasi struktur yang menindas menjadi struktur yang adil dan setara.
Rekomendasi Kebijakan: Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender
- Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam sektor perikanan, negara perlu menetapkan kebijakan dari desa hingga nasional.
- Di tingkat desa, Perdes harus dibuat untuk mengakui profesi perempuan penangkap ikan sebagai nelayan dan mereka terlibat aktif dalam Musdes dan RPJMDes.
- Di kabupaten/kota, Dukcapil perlu mengubah KTP mereka menjadi nelayan, Dinas Perikanan memverifikasi kartu nelayan dan asuransi BPAN, serta memberi pelatihan dan bantuan alat tangkap ramah lingkungan.
- Di provinsi, program pemberdayaan perempuan nelayan wajib masuk RPJMD dan forum perempuan nelayan dibentuk.
- Di tingkat nasional, UU No. 7/2016 direvisi agar mengakui perempuan penangkap ikan sebagai nelayan, KKP menyusun program kesetaraan gender perikanan tangkap skala kecil, dan data mereka terintegrasi dalam Satu Data Perikanan Nasional.
Tanpa langkah konkret ini, keadilan gender hanya menjadi retorika pembangunan tanpa makna.
Saatnya Negara Mengakui Perempuan Nelayan
Perempuan nelayan adalah pahlawan protein bangsa ini. Mereka memastikan laut memberi makan anak-anak bangsa. Namun selama kata nelayan hanya dimiliki laki-laki, keadilan, pemberdayaan, dan pembangunan inklusif akan terus terhambat oleh kekuasaan simbolik yang menindas.
Sudah saatnya negara mengakui perempuan penangkap ikan sebagai nelayan sejati. Mengubah nama berarti mengubah nasib, mengubah sejarah perikanan Indonesia menjadi lebih adil dan setara.