VMS (Bagus) untuk Semua Kapal Nelayan, Perguruan Tinggi Bisa Urunan Solusi

  • Whatsapp
Ilustrasi VMS dan nelayan (Ilustrasi Ivan Firdaus)

Perguruan Tinggi mestinya bisa mengambil inisiatif di muara untuk membantu Pemerintah mengelola dana perikanan. 80 persen lebih produksi perikanan nasioonal ditopang oleh pelaku perikanan skala kecil. Koleksi data dan analisis trend sungguhlah penting.

PELAKITA.ID – Di tengah berbagai upaya menjaga keberlanjutan sumber daya laut, pertanyaan yang terus mengemuka adalah: siapa sebenarnya yang paling banyak menyumbang produksi perikanan nasional?

Jawabannya jelas: nelayan kecil. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun FAO menunjukkan bahwa sekitar 80% produksi perikanan di Indonesia berasal dari nelayan skala kecil, sementara industri perikanan besar hanya menyumbang sekitar 20 persen.

Sumber di DJPT Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan menyebut, kalau kita lihat data, hasil tangkapan kapal ukuran di atas 30 GT malah tangkapannya hanya 8 persen saja.

Ironisnya, nelayan kecil yang memberi kontribusi besar justru menjadi kelompok yang paling sering dilupakan dan termarginalkan dalam kebijakan.

Di sinilah pentingnya Vessel Monitoring System (VMS) atau sistem pemantauan kapal. Selama ini, kebijakan VMS cenderung hanya menyasar kapal-kapal industri besar, dengan alasan kapasitas dan jangkauan mereka yang luas.

”Tapi jika kita ingin benar-benar mengatur dan menjaga laut Indonesia dari eksploitasi berlebihan, justru kapal-kapal kecillah yang perlu dipantau lebih detail. Karena di tangan merekalah mayoritas hasil laut kita diambil setiap hari,” kata salah seorang aktivis LSM di Makassar yang berpengalaman pada program Pengelolaan Perikanan Terukur, kepada Pelakita.ID, Jumat, 4 Juli 2025.

”Namun mengapa nelayan kecil tetap miskin, meski bekerja keras setiap hari dan menyumbang porsi terbesar hasil laut negeri ini? Jawabannya ada di rantai distribusi dan kuasa ekonomi yang timpang,” tambahnya.

Dikatakan, nelayan kecil hanya menjual hasil tangkapannya, sementara yang menikmati keuntungan besar adalah para pemilik modal, cukong, punggawa, dan pengolah (processor). Di tengah sistem yang seperti ini, pemantauan bukan semata soal pengawasan, tapi soal keadilan dan perlindungan.

“Kontribusi nelayan kecil terhadap PDB cukup besar, namun produksinya tidak tercatat dengan baik, sehingga tidak terkomputasi. Nelayan kecil seharusnya mendapat insentif. VMS bukan insentif,” tanggap Andi Nurjaya Nurdin, praktisi usaha perikanan.

Sumber lain menyebutkan, saat ini yang dibutuhkan nelayan pada skala apapun adalah transmitter yang murah meriah.

“Yang tidak keluar biaya atau minim tanpa beban bulanan. Jadi bukan akses satelit, tapi mungkin akses gelombang radio. Kalau 10-15 mil dari pesisir, radio masih cocok,” kata dia.

“Sudah banyak aplikasi berbasis Androdi, GPS bahkan sudah dikuasai nelayan. Yang dibutuhkan adalah koneksi ke server, tukang analisa, sama tampilan ke Web GIS,” tambah Irham Rapy, peserta diskusi lainnya.

Teknologi Murah, Solusi Cerdas

Pelakita.ID mendapat informasi bahwa pada tahun 2019–2020, ada langkah menarik yang diambil oleh tim dari Laboratorium Teknologi Kelautan IPB di bawah arahan Prof. Indrajaya.

Mereka mengembangkan VMS versi murah, hanya menggunakan SIM card GSM dan panel surya seukuran kotak ponsel. Teknologi ini terbukti bisa melacak jalur harian nelayan kecil dengan akurat. Lebih hebatnya lagi, sistem ini tidak berhenti hanya di pelacakan.

Dikombinasikan dengan catatan tangkapan harian nelayan, data dari VMS ini kemudian dianalisis menggunakan sistem informasi geografis (GIS). Hasilnya luar biasa: mereka berhasil memetakan daerah tangkap yang subur, zona pemijahan (spawning ground), hingga wilayah pembesaran ikan (nursery ground).

Dari temuan ini, mereka kemudian menyusun zona perikanan berbasis data: mana wilayah yang boleh ditangkap, mana yang harus dilindungi sementara.

Kampus Bisa?

Inisiatif seperti ini harusnya tidak hanya berhenti di satu laboratorium. Kampus-kampus kelautan di wilayah timur Indonesia, termasuk Unhas, Unpatti Ambon, UHO Kendari, Untad, hingga Unipa Papua punya peluang besar untuk mendorong inovasi serupa.

Dengan keunggulan dalam kedekatan geografis dan sosial terhadap komunitas nelayan, kampus-kampus seharusnya bisa memproduksi VMS sendiri—bahkan dengan sentuhan kecerdasan buatan (AI). Teknologi murah, cerdas, dan terjangkau bisa jadi solusi untuk menjembatani kebutuhan pengawasan dan perlindungan sumber daya laut, tanpa membebani nelayan kecil.

Implementasi VMS untuk seluruh ukuran kapal bukanlah bentuk kriminalisasi nelayan kecil. Justru sebaliknya, ini bisa menjadi jalan masuk untuk mengakui, melindungi, dan mendampingi mereka dengan pendekatan berbasis data.

Kita bisa tahu siapa yang menangkap apa, di mana, dan kapan. Data semacam ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan ekosistem laut, tapi juga untuk memperkuat posisi tawar nelayan dalam rantai pasok dan kebijakan.

Jadi, sudah waktunya kampus, negara, dan masyarakat bersatu untuk menyuarakan hal ini: teknologi harus berpihak, dan VMS harus adil—untuk semua kapal, kecil maupun besar.

Apa yang ditunjukkan oleh Prof Indrjaya dan IPB University itu kesulitannya bukan hanya pada produksi, tetapi juga pada konsistensi analisis dan infrastruktur, seperti kebutuhan server berskala besar—terutama jika nanti digunakan untuk dua juta kapal.

Sistem yang dikembangkan oleh Prof. Indrajaya sebenarnya sudah semakin baik karena kini dapat diakses secara online melalui web. Hanya saja, masih kurang promosi dan dukungan dana.

Begitulah, tapi, apapun itu, jika yang wajib saja masih banyak yang enggan terapkan, bagaimana yang hanya semata himbauan?