Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”
PELAKITA.ID – Seorang pengembara ilmu dan pencari makna menengadahkan wajahnya ke langit, merenungi kerlip cahaya yang tak pernah lelah bersinar, lalu bertanya dalam hati:
“Apakah semua ini hanya benda mati? Ataukah mereka sedang bertasbih, menyebut nama Tuhannya dalam bahasa dan caranya sendiri?”
Di sinilah benih ekoteologi dalam Islam bertunas: ketika keesaan Tuhan—tauhid—tidak sekadar menjadi mantra metafisik, tetapi menjelma sebagai narasi kosmik. Dalam Islam, Allah bukan hanya Tuhan bagi manusia, tetapi Rabb al-‘Aalamiin—Tuhan seluruh alam. Artinya, gunung-gunung yang menjulang, sungai yang mengalir, angin yang berembus, hingga burung yang berkicau di pagi hari, semuanya merupakan bagian dari simfoni ilahi—orkestra semesta yang memuliakan Sang Pencipta.
Firman-Nya dalam Surah Al-Isra’ ayat 44 menegaskan:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”
Sebuah pernyataan spiritual sekaligus ekologis: bahwa alam tidak pernah diam, tidak pernah bisu. Ia senantiasa berdzikir, dalam bahasa yang mungkin tak kita mengerti.
Tauhid mengajarkan kita untuk melihat dunia bukan dengan mata industri, tetapi dengan mata hati. Tidak sekadar memandang pohon sebagai kayu, sungai sebagai energi, atau hutan sebagai sumber karbon—tetapi sebagai ayat Tuhan, makhluk yang memiliki relasi batiniah dengan kita. Merusak alam, dalam logika tauhid, bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga pengkhianatan terhadap iman.
Profesor Fazlun Khalid, tokoh utama gerakan ekologi Islam global, mengatakan:
“Krisis ekologi adalah krisis spiritual. Ia lahir dari putusnya hubungan antara manusia dan Tuhan, lalu manusia dan alam.”
Pernyataan ini menyingkap tabir bahwa kerusakan bumi mencerminkan kehancuran jiwa manusia.
Kosmos sebagai Kitab Terbuka
Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang manusia, tetapi juga tentang langit, bumi, dan segala di antara keduanya. Kata al-‘ālamīn—bentuk jamak dari ‘ālam—menunjukkan pluralitas ciptaan Tuhan.
Setiap unsur dalam kosmos memiliki fungsi dalam sistem ilahi. Matahari menyinari dan menopang kehidupan. Angin menyebarkan rahmat. Air menjadi asal mula kehidupan. Semua ini bukan kebetulan, melainkan manifestasi dari mīzān—keseimbangan ilahi.
Allah berfirman dalam QS. Ar-Rahman: 7–8:
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan), agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.”
Ayat ini bukan sekadar pesan spiritual, tetapi juga ekologi. Ia mengajarkan bahwa menjaga keseimbangan adalah bagian dari keadilan ilahiyah. Maka, kesadaran ekologis bukan hanya tugas warga negara, tetapi juga bentuk pengamalan iman.
Dalam Islam, bumi adalah amanah. Manusia adalah khalifah—pengelola, bukan penguasa. Kata khalifah tidak berarti raja, melainkan penjaga. Menjaga bumi bukanlah pilihan, melainkan perintah.
Seyyed Hossein Nasr, filsuf Muslim terkemuka, menegaskan:
“Manusia modern memandang dirinya sebagai tuan atas alam. Islam melihat manusia sebagai hamba Tuhan dan penjaga alam.”
Ekoteologi: Jalan Spiritualitas Baru
Ekoteologi adalah upaya menyatukan iman dengan ekologi—tauhid dengan tanggung jawab lingkungan. Ia bukan sekadar teori, melainkan tindakan. Dalam Islam, setiap bentuk kerusakan—deforestasi, pencemaran, polusi—adalah perlawanan terhadap keseimbangan yang telah Allah tetapkan.
Konsep fasād dalam Al-Qur’an menunjukkan kerusakan akibat ulah manusia:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini tidak hanya mengecam, tetapi juga mengajak pada tobat ekologis—mengembalikan bumi pada keseimbangan asalnya.
Setiap upaya penghijauan, pengelolaan sampah, pemakaian energi bersih, dan pendidikan lingkungan adalah bentuk dzikir baru—penghayatan ulang nilai-nilai tauhid dalam wujud bumi dan langit.
Dari Eksploitasi ke Kontemplasi
Kini saatnya merekonstruksi relasi kita dengan alam: bukan lagi eksploitasi—aku sebagai penguasa, kau sebagai objek—melainkan kontemplasi: aku sebagai penjaga, kau sebagai ayat Tuhan.
Kita bisa belajar dari kearifan lokal yang masih menyimpan jejak ekoteologi. Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan, misalnya, menjaga hutan sebagai ruang sakral. Mereka hidup dalam harmoni spiritual dengan alam, sebagai perwujudan tauhid yang menyatu dengan bumi.
Mungkin inilah makna sejati tauhid: menyatukan semua makhluk dalam satu tarikan napas ilahi. Langit, bumi, manusia, hewan, dan tumbuhan adalah bagian dari orkestra semesta yang dipimpin Sang Dirigen: Tuhan Yang Maha Esa.
Ekoteologi Islam mengajak kita untuk bertobat—bukan hanya spiritual, tetapi juga ekologis. Iman tidak cukup dengan shalat dan puasa, tetapi juga menyelamatkan pohon yang terakhir, menjaga air yang tersisa, dan mewariskan hutan untuk anak cucu.
Karena pada akhirnya, tauhid bukan sekadar kalimat, tapi jalan hidup.
Jalan untuk melihat gunung sebagai saudara, sungai sebagai guru, dan langit sebagai pelindung.
Jalan untuk kembali menjadi khalifah—yang menjaga, bukan merusak; yang merawat, bukan menguras.
Sebab bumi ini bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu yang menanti.