Tapi begitu kursi kekuasaan berhasil diduduki, janji itu pelan-pelan menguap, seolah tak pernah diucapkan. Bahkan dia hengkang dengan mudah setelah diberi mandat, diterima, dipilih dengan lapang dada.
PELAKITA.ID – Saat kongkow-kongkow dengan sejumlah kawan alumni Unhas di Restoran Bandar Tuna Boulevard dua hari lalu, ada diksi yang mencuat berkaitan dengan kepemimpinan di Partai Politik.
Kekata itu adalah ’gaya kepemimpinan, konflik kepentingan, dan akseptasi elit’. Style of leadership.
Diksi itu muncul saat membahas gaya kepemimpinan di salah satu partai di tingkat wilayah (DPW), kemudian bagaimana elite di Jakarta (DPP) merespon gaya kepimpinan yang ditunjukkan oleh katakanlah ketua DPW.
Ada beberapa peristiwa yang menyertai munculnya diksi itu. Tentang seorang ketua partai wilayah yang disebutkan hengkang ke partai medioker, lalu ada ketua DPW yang disebut sulit diterima di DPP karena gaya kepemimpinannya yang acap menawarkan rivalitas dan konflik.
Tiada ’responding to conflict’ yang ditunjukkannya sebagai pimpinan.
Seorang kawan bercerita tentang betapa kita di partai sudah terlalu sering menyaksikan janji-janji manis dilontarkan saat kampanye menuju kursi nomor 1: lantang, penuh semangat, dan katanya lahir dari nurani.
Tapi begitu kursi kekuasaan berhasil diduduki, janji itu pelan-pelan menguap, seolah tak pernah diucapkan. Bahkan dia hengkang dengan mudah setelah diberi mandat, diterima, dipilih dengan lapang dada.
Visi-misi yang dulu dielu-elukan sebagai arah pembangunan partai berubah menjadi hiasan dinding—indah dalam kata, hampa dalam makna.
Bukan hanya di kalangan kepemimpinan partai. Mengapa begitu banyak pejabat atau kepala daerah yang mudah mengingkari janji? Salah satu jawabannya ada pada bagaimana kekuasaan bekerja.
Kekuasaan mengubah otak bekerja
Dalam bukunya The Power Paradox, Dacher Keltner menjelaskan bahwa kekuasaan bisa mengubah cara otak bekerja—dari yang tadinya penuh empati dan rendah hati, menjadi egois dan ingin menang sendiri.
Pemimpin yang dulunya sederhana dan dekat dengan rakyat, bisa jadi berubah drastis saat kuasa menggoda tanpa disertai kesadaran dan kontrol diri.
Banyak pemimpin seperti Bupati, Wali Kota, bahkan Presiden sekalipun ternyata tak punya sistem yang bisa menerjemahkan janji ke dalam tindakan selain buzzing dan maggolla – pinjam istilah alena beliau kita sebut saja Alfa Whiskey.
Mereka pandai merangkai visi, tapi gagap saat harus mengeksekusi.
John P. Kotter, pakar kepemimpinan perubahan, menyebut kegagalan seperti ini kerap terjadi karena tak ada rasa urgensi, tak ada tim yang solid, dan miskin komunikasi visi. Akibatnya, semua hanya jadi rencana-rencana indah di atas kertas—tanpa wujud nyata di lapangan.
Dan ada satu penyakit lagi: pemimpin yang tak sabaran. Mereka ingin hasil instan, kerja-kerja-kerja, jammi diskusi terus, kerja saja, pujian cepat, dan pencitraan tanpa usaha panjang. Padahal, kepemimpinan sejati itu kerja maraton, bukan sprint.
Dalam filosofi Timur maupun Barat, kesabaran adalah napas panjang seorang pemimpin. Konsep servant leadership ala Robert K. Greenleaf menekankan: pemimpin sejati adalah pelayan, bukan penguasa. Ia hadir untuk mendengar, membangun, menunggu, dan bertanggung jawab atas hasilnya—bukan sekadar tampil di depan kamera.
Lalu, kenapa banyak orang di sekitar pemimpin lebih reaktif daripada kreatif?
Jawabannya sering kali sederhana: takut. Takut kehilangan posisi, takut buat salah, takut tak dianggap penting. Mereka memilih jalan aman, bukan jalan benar. Mereka jadi bagian dari barisan penjilat, bukan pendobrak perubahan.
Padahal, James MacGregor Burns dalam teorinya tentang transformational leadership menekankan: pemimpin sejati itu berani ambil risiko dan menginspirasi yang lain untuk berubah, bukan cuma mempertahankan status quo.
Rasa takut menumpulkan keberanian. Tapi kesabaran, justru mengasah keteguhan hati. Sebuah bangsa tak akan maju kalau hanya dipimpin oleh orang yang pandai berbicara.
Ia butuh sosok yang tahan banting, yang bekerja dalam senyap, yang tahu menjaga janji dan menghidupkan visi.
Jadi, ketika kita bertanya, “Kenapa mereka lupa diri?” Jawabannya tak perlu panjang: karena mereka berhenti mendengar, kehilangan arah, dan menukar kepemimpinan dengan ambisi kuasa.
Maka tugas kita semua—masyarakat, media, dan pegiat sipil—bukan hanya jadi pengingat, tapi juga penjaga ekosistem agar pemimpin tak sempat lagi melupakan janjinya.
_
Denun, Tamarunang, 4 Juli 2025