Rekayasa Sosial Pertanian: Menumbuhkan Perubahan dari Akar

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: Muliadi Saleh)

Oleh Muliadi Saleh – Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi Pertanian

PELAKITA.ID – Di balik sebutir padi yang tersaji di meja makan kita, tersimpan kisah panjang petani yang berjibaku dengan alam, tradisi, dan ketidakpastian. Mereka bukan sekadar penjaga pangan. Mereka adalah pewaris budaya—pengemban harapan bangsa—yang sering kali berjalan sendiri di jalan terjal pertanian yang makin sunyi.

Lalu pertanyaan mendasar itu menggema: Bagaimana negeri agraris ini memakmurkan petaninya?

Jawabannya tidak cukup pada teknologi atau subsidi, tetapi pada sistem sosial yang bisa mengikat atau justru mengekang. Di sinilah rekayasa sosial pertanian menemukan tempatnya—sebagai cahaya baru yang menuntun perubahan dari dalam, dari manusia dan masyarakat petani itu sendiri.

Menanam Harapan di Ladang Sosial

Rekayasa sosial pertanian bukan sulap instan. Ia adalah seni menata perubahan sosial secara terencana, berbasis data dan budaya lokal, demi menumbuhkan perilaku baru yang lebih adaptif, kolaboratif, dan berdaya saing.

Ia tak hanya berbicara tentang pupuk dan alat tanam, tetapi juga menyentuh:

  • Cara pandang petani terhadap usaha tani,

  • Struktur kuasa yang mempengaruhi akses,

  • Jaringan informasi yang timpang,

  • Dan mekanisme distribusi yang belum adil.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, petani gurem—yakni petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektare—mencapai 55,3% dari total rumah tangga usaha pertanian.
Lebih dari 60% petani berusia di atas 45 tahun, menandakan kekosongan regenerasi yang mengkhawatirkan.

Pertanyaannya kini bukan hanya soal alat dan benih unggul, tetapi Bagaimana kita menyentuh pola pikir dan struktur sosial yang selama ini mengurung kemajuan?

Memulai dari Kelembagaan dan Kesadaran

Rekayasa sosial dimulai dari kesadaran kolektif bahwa pertanian bukan sekadar mata pencaharian, tetapi pilar peradaban. Program seperti penguatan kelembagaan petani—Kelompok Tani, Gapoktan, dan koperasi—adalah upaya meretas isolasi dan menggantinya dengan jejaring solidaritas.

Pendekatan ini banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga seperti Kementerian Pertanian dan berbagai NGO. Salah satunya adalah Program YESS (Youth Entrepreneurship and Employment Support Services) yang didukung IFAD, yang menumbuhkan wirausaha muda pertanian melalui pelatihan berbasis komunitas.

Di titik ini, peran penyuluh pertanian, tokoh adat, dan pemuka agama menjadi penting. Merekalah jembatan antara warisan dan inovasi.

Pertanian dan Teknologi Sosial

Era digital menghadirkan peluang baru, Aplikasi pertanian, pasar daring, dan penyuluhan virtual kini menjadi bagian dari rekayasa sosial yang merangkul generasi baru. Namun teknologi bukan jaminan keberhasilan tanpa perubahan mindset.

Karena pada akhirnya, masalah pertanian bukan semata teknis, melainkan sosial: Siapa yang mengakses informasi? Siapa yang menguasai lahan? Siapa yang menentukan harga?

Pertanian adalah arena sosial. Dan transformasinya harus menyentuh struktur, bukan hanya alat.

Membangun dari Akar

Rekayasa sosial pertanian mengajarkan satu hal penting, perubahan tak bisa dipaksakan dari atas. Ia harus tumbuh dari bawah—dari akar masyarakat yang dihidupkan kesadaran, dikuatkan solidaritas, dan didukung kebijakan.

Ini bukan sekadar proses teknokratik, tapi gerakan kebudayaan. Gerakan yang menghormati kearifan lokal sambil merangkul masa depan. Sebagaimana petani menanam benih dengan harap, kita pun sedang menanam semangat baru dalam struktur sosial yang lebih adil dan manusiawi.

Dan di sana, di tengah hamparan sawah dan ladang yang dulu sunyi, akan kembali terdengar nyanyian kemerdekaan:
Bahwa petani bukan lagi buruh tanah, tapi arsitek masa depan bangsa.

Sejak fajar, petani menggenggam cangkul, menatap langit, dan membisikkan harapan. Rekayasa sosial pertanian adalah jawab atas harapan itu— Menata manusia, bukan hanya sistem. Membangun makna, bukan sekadar mesin. Dan menumbuhkan keadilan, bukan hanya produksi.

Mari kita ubah cara kita memandang petani:

Dari objek bantuan menjadi subjek perubahan.
Dari kisah sunyi menjadi puisi negeri.