Demi Masa! Kau Sedang Rugi Jika Tak Mengelolanya

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: Muliadi Saleh)

Oleh Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

PELAKITA.ID – Waktu bukan sekadar angka yang berputar di dinding. Ia adalah denyut kehidupan. Ia mengalir seperti sungai—tak bisa ditampung, tak bisa dibendung. Ia terus berjalan—tanpa suara, tanpa sandiwara. Mereka yang bijak memeluk waktu dengan syukur. Mereka yang lalai membiarkannya menguap seperti embun pagi.

Pernahkah kita duduk diam sejenak, lalu mendengar detik berbicara?
Ia berbisik: “Aku berlalu, dan tak akan kembali.”

Hadiah Paling Mahal yang Tak Bisa Dibeli

Dalam hidup yang penuh ambisi dan kompetisi, waktu adalah modal utama yang dimiliki setiap insan. Ia tak berpihak, tak membeda-bedakan. Presiden, petani, pelajar, hingga penganggur—semuanya diberi 24 jam dalam sehari. Namun hasilnya? Berbeda jauh. Karena bukan tentang seberapa banyak waktu yang kita miliki, tapi bagaimana kita mengelolanya.

Menurut survei We Are Social (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di dunia maya. Artinya, sepertiga hidup kita larut dalam layar. Sementara itu, laporan BPS menunjukkan bahwa produktivitas kerja Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangga. Ini bukan semata-mata soal teknologi atau infrastruktur. Tapi lebih dalam: soal disiplin waktu dan manajemen diri.

Waktu dan Kearifan Leluhur

Orang tua kita dahulu berkata:
“Jangan menunda pekerjaan, sebab waktu tak bisa ditarik ke belakang.”
Dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal pepatah:

“Mappalajingngi gau’na, issengngi rilaleng.”
(Orang yang menunda pekerjaan, takkan paham nilai kehidupan.)

Di pesantren, waktu dimuliakan dengan jadwal ketat: bangun sebelum fajar, tidur setelah tafakur.
Dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan waktu:
“Wal ‘Ashr, innal insaana la fii khusr.”
(Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.)

Ini bukan sekadar sumpah. Tapi peringatan keras sekaligus panggilan suci:
Kelola waktumu, atau engkau akan kehilangan hidupmu.

Manajemen Waktu: Antara Prioritas dan Keikhlasan

Mengatur waktu bukan hanya soal menyusun agenda. Tapi soal membuat pilihan yang bermakna.

Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People memperkenalkan Matriks Prioritas, membagi kegiatan menjadi empat kuadran:

  • Penting dan mendesak

  • Penting tapi tidak mendesak

  • Tidak penting tapi mendesak

  • Tidak penting dan tidak mendesak

Sayangnya, banyak dari kita terjebak di kuadran ketiga dan keempat.
Rapat yang tak produktif.
Scroll media sosial tanpa arah.
Gosip yang menyita energi.
Padahal hidup bukan tentang kesibukan, melainkan kebermanfaatan.

Orang yang bijak tahu mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa ditinggalkan.
Mereka tidak selalu sibuk—tapi selalu hadir.
Untuk diri sendiri. Untuk keluarga. Dan untuk Tuhannya.

Waktu dan Produktivitas Spiritual

Tahukah kita bahwa waktu memiliki kualitas spiritual?

  • Subuh: waktu keberkahan.

  • Dhuha: waktu rezeki.

  • Dzuhur: waktu kesibukan.

  • Ashar: waktu penutup produktivitas.

  • Maghrib dan Isya: waktu pulang dan refleksi.

Para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Al-Ghazali, hingga Buya Hamka—adalah teladan manajemen waktu yang luar biasa.
Menulis, mengajar, merenung—semuanya tersusun rapi dalam harmoni antara jadwal spiritual dan intelektual.

Di era modern ini, kita butuh memadukan antara efisiensi dan barakah.
Antara target dunia dan ketenangan jiwa.

Waktu dan Kehidupan yang Bermakna

Waktu bukan untuk dihabiskan.
Tapi untuk diinvestasikan.
Dalam bentuk belajar, mencipta, bersedekah, menemani keluarga, atau mendekat kepada Tuhan.

Karena hidup bukan tentang durasi. Tapi tentang makna.

Banyak yang hidup panjang, tapi kosong.
Ada juga yang hidup singkat, tapi berjejak.

Lihatlah Imam Nawawi: wafat di usia 45 tahun, namun karya-karyanya masih hidup di pesantren hingga hari ini.
Umurnya mungkin pendek, tapi waktunya penuh berkah.

Jangan Menunggu Sempurna untuk Memulai

Kita sering terjebak dalam penundaan.
Menunggu waktu yang tepat.
Menunggu semangat datang.
Menunggu suasana hati berubah.

Padahal, waktu tak pernah menunggu kita.
Ia terus berjalan, dan tak pernah menoleh ke belakang.

Maka, mulai sekarang—bukan besok:

  • Atur hidupmu.

  • Tentukan prioritas.

  • Kurangi distraksi.

  • Hargai waktu orang lain.

  • Dan yang terpenting: gunakan waktumu untuk sesuatu yang akan hidup lebih lama darimu—ilmu, kebaikan, amal jariyah, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Karena pada akhirnya, waktu bukan hanya tentang hari ini.
Tapi tentang apa yang kita tinggalkan setelah kita tiada.

“Hidup adalah kumpulan detik yang bermakna. Maka jangan biarkan satu detik pun lewat sia-sia.”