Dalam konteks Indonesia dan banyak negara lainnya, demokrasi deliberatif adalah konsep yang layak diperjuangkan. Pemilu sering kali menjadi ajang mobilisasi massa, bukan ruang pencarian kebenaran.
PELAKITA.ID – Di tengah derasnya arus informasi, polarisasi politik, dan pudarnya ruang dialog yang sehat, pemikiran Jürgen Habermas justru semakin menemukan relevansinya.
Filsuf dan sosiolog asal Jerman yang lahir pada tahun 1929 ini bukan hanya bagian dari generasi kedua Mazhab Frankfurt, tetapi juga merupakan salah satu pemikir sosial paling berpengaruh di dunia.
Lewat gagasan-gagasan seperti rasionalitas komunikatif, ruang publik, dan demokrasi deliberatif, Habermas memberikan kita perangkat intelektual untuk memahami dan memperbaiki kehidupan sosial-politik di era kontemporer.
Rasionalitas yang Mengutamakan Pemahaman
Salah satu kritik Habermas terhadap masyarakat modern adalah dominasi rasionalitas instrumental—cara berpikir yang menempatkan efisiensi dan hasil di atas makna dan nilai.
Dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi dan pasar, segala sesuatu diukur dengan angka dan keuntungan, termasuk komunikasi antarindividu.
Habermas menawarkan alternatif: rasionalitas komunikatif, yaitu bentuk berpikir dan berdialog yang bertujuan mencapai saling pengertian, bukan sekadar kemenangan argumen atau kepentingan pribadi.
Gagasan ini sangat relevan saat ini, ketika banyak percakapan publik—baik di media sosial maupun di ruang politik—lebih dipenuhi oleh kebisingan, ujaran kebencian, dan propaganda, daripada semangat mencari kebenaran bersama.
Ruang Publik yang Terkikis
Dalam karya klasiknya, The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas menjelaskan bagaimana ruang publik dulunya merupakan tempat di mana warga berdiskusi secara rasional dan setara tentang masalah bersama. Namun, seiring waktu, ruang ini terkikis oleh dominasi pasar, logika konsumsi, dan kekuatan media massa yang menyamaratakan opini sebagai komoditas.
Alih-alih menjadi tempat diskursus publik, ruang ini berubah menjadi arena persuasi dan manipulasi.
Kini, ruang publik kita terfragmentasi oleh algoritma media sosial, diwarnai polarisasi ekstrem, dan diisi oleh wacana cepat saji yang jarang memberi tempat pada perenungan. Habermas membantu kita menyadari bahwa tanpa ruang publik yang sehat, demokrasi hanya tinggal prosedur, bukan substansi.
Demokrasi Tidak Cukup dengan Suara Mayoritas
Habermas juga memperkaya pemahaman kita tentang demokrasi. Bagi Habermas, demokrasi sejati tidak cukup hanya dengan pemilu dan suara mayoritas.
Demokrasi seharusnya bersifat deliberatif, yaitu dibangun melalui proses diskusi yang terbuka, jujur, dan setara. Kebijakan yang adil bukan hasil dari kompromi kekuasaan, melainkan dari hasil argumentasi yang bisa diterima oleh semua pihak secara rasional.
Dalam konteks Indonesia dan banyak negara lainnya, demokrasi deliberatif adalah konsep yang layak diperjuangkan. Pemilu sering kali menjadi ajang mobilisasi massa, bukan ruang pencarian kebenaran.
Kebijakan publik pun kerap lahir tanpa dialog mendalam dengan warga. Habermas menantang kita untuk kembali menjadikan komunikasi sebagai dasar legitimasi kekuasaan.
Melawan Dominasi Tanpa Kekerasan
Habermas tidak menawarkan revolusi jalanan, tetapi revolusi dalam cara kita berkomunikasi. Ia percaya bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan hanya bisa terjadi jika masyarakat membangun sistem komunikasi yang bebas dari dominasi—entah itu dominasi negara, modal, maupun budaya patriarki.
Dalam dunia yang dipenuhi konflik dan kecemasan, pendekatan Habermas menawarkan jalan keluar yang damai namun berani: melalui dialog kritis, refleksi bersama, dan keterbukaan terhadap argumen lawan.
Habermas untuk Zaman Kita
Di era post-truth, ketika fakta bisa ditekuk-tekuk dan opini lebih dipercaya daripada data, pendekatan Habermas menjadi semakin mendesak. Ia mengingatkan bahwa kebebasan berbicara bukanlah akhir dari demokrasi, melainkan awal dari tanggung jawab untuk mendengarkan dan menanggapi secara rasional.
Dalam situasi di mana suara-suara kritis dibungkam dan ruang diskusi dikuasai elite, Habermas memberi kita harapan: bahwa melalui komunikasi yang terbuka dan setara, perubahan masih mungkin terjadi.
Habermas sangat relevan di kekinian karena ia menawarkan bukan sekadar teori, tetapi etika dialog dan keberanian berpikir jernih di tengah kabut zaman.
Dalam dunia yang semakin cepat, gaduh, dan terbelah, kita membutuhkan pemikir seperti Habermas—yang mengingatkan bahwa fondasi masyarakat yang sehat bukan hanya kekuasaan atau teknologi, tetapi kemampuan manusia untuk saling mendengarkan dan memahami.