Sistem Peringatan Dini yang Tertinggal Perparah Dampak Bencana

  • Whatsapp
Ilustrasi

Refleksi atas Banjir di Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai

PELAKITA.ID  — Provinsi Sulawesi Selatan kembali dilanda duka. Banjir bandang yang melanda sejumlah kabupaten seperti Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai tidak hanya merendam ratusan rumah, tetapi juga menguak persoalan serius: lemahnya sistem peringatan dini (early warning system) di daerah ini.

Padahal, dengan kemajuan teknologi saat ini, dampak bencana seharusnya bisa ditekan secara signifikan.

Sistem yang “Tertidur” dan Kurang Responsif

Salah satu akar masalahnya adalah sistem peringatan yang tidak berjalan secara real-time. Akibatnya, masyarakat menjadi korban dari informasi yang datang terlambat. Di Bantaeng, misalnya, warga mengaku air bah datang tiba-tiba tanpa ada peringatan.

“Kami baru dapat kabar banjir ketika air sudah masuk ke rumah,” ujar Daeng Haris (42), warga setempat. Hal ini terjadi karena sistem pemantauan debit air dan curah hujan di hulu tidak terintegrasi dengan pusat informasi di hilir. Akibatnya, peringatan yang diberikan tidak sempat menyelamatkan warga.

Teknologi Terabaikan, Regulasi Ketinggalan Zaman

Achmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau Sulsel, menyayangkan minimnya penggunaan teknologi canggih seperti sensor IoT atau prediksi berbasis kecerdasan buatan (AI).

Sementara daerah lain sudah menerapkan teknologi seperti Soil Moisture Alert yang bisa memprediksi banjir hingga 6 jam sebelumnya, sebagian besar daerah di Sulsel masih mengandalkan kentongan dan pantauan manual.

“Kita tertinggal bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak ada regulasi yang mendorong pembaruan sistem,” tegas Yusran. Ia menyarankan agar pemda diwajibkan memperbarui sistem peringatan dini setiap tiga tahun melalui Peraturan Daerah (Perda), lengkap dengan sanksi bagi yang lalai.

Solusi: Dari Terlambat Waspada ke Siaga Dini

Yusran menekankan pentingnya membangun sistem terpadu hulu-hilir. Setiap pemerintah kabupaten wajib memasang sensor di titik rawan seperti Sungai Bantaeng dan Bulukumba. Data real-time harus terhubung dengan pusat informasi yang dapat mengirim notifikasi otomatis melalui SMS atau aplikasi seperti versi lokal PetaBencana.id.

Lebih lanjut, pesan darurat harus dibuat standar dan jelas. Bukan sekadar “waspada”, tetapi instruksi konkret seperti: “Segera evakuasi ke posko terdekat dalam 1 jam.”

Libatkan Masyarakat dan Latih Relawan Lokal

Yusran juga mendorong pelibatan masyarakat sebagai “sensor hidup.” Kelompok tani, pemuda, dan relawan lokal bisa dilatih untuk melaporkan perubahan debit air melalui grup WhatsApp khusus. Selain itu, gladi evakuasi rutin setiap bulan perlu dilakukan di wilayah rawan seperti Jeneponto dan Sinjai.

Tantangan dan Harapan

Tantangan terbesar memang ada pada anggaran dan resistensi birokrasi. Namun Yusran yakin, pilot project di satu kabupaten—misalnya Bantaeng—dapat menjadi contoh bagi wilayah lain.

“Banjir mungkin tak terelakkan, tapi korban jiwa bukan takdir. Dengan sistem peringatan yang cerdas dan kolaborasi lintas pihak, Sulsel bisa lebih siap menghadapi bencana,” pungkas Yusran.