PELAKITA.ID – Saat kepemimpinan Syahrul Yasin Limpo Daeng Kawang mencapai puncaknya sebagai Gubernur selama dua periode, media di Makassar menyoroti banyaknya pejabat eselon II yang menyemut di sekitar Gubernur tersebut.
Pada jogging, makan bakso, menyanyi, kunjungan ke daerah bahkan keluar negeri, dianggap terlalu banyak yang mengikuti.
Standar kelayakan berapa jumlah yang ikut dan berapa yang mestinya tak ikut menjadi nisbi tapi itulah yang terjadi.
Bagi penulis, kepemimpinan SYL memang fenomenal sebab di balik itu semua dia tipe pemimpin yang selalu riang gembira, akomodatif dan fleksibel.
SYL seakan-akan menunjukkan bahwa perbedaan dan ‘mereka yang bernasib’ buruk tetap punya peluang membersihkan niat dan cita-cita.
Kita bisa menemukan dirinya hadir di warung kopi, di lapangan Karebosi, hingga melantunkan lagu dan berpuisi di panggung-panggung penuh hingar bingar. Penulis terakhir bertemu SYL di Hometown Kopizone Makassar tahun lalu.
Ada satu kepemimpinan SYL yang tak bisa ditampik. SYL harum mewangi sebagai sosok yang banyak membela dan mengamankan dengan jalan terhormat untuk pejabat di daerah yang dicampakkan kepala daerah karena selisih pendapat atau afiliasi politik.
Sejumlah ASN atau ‘lawan politik’ penguasa lokal dimudahkan urusannya bahkan dijadikan pejabat penting di gerbongnya, di lingkup Pemprov Sulsel. Penulis tidak perlu sebut tapi banyak. Lalu, dari sisi efektivitas, efisiensi, dampak pembangunan daerah SYL adalah pemimpin yang berhasil mengetengahkan kinerja luar biasa. Sejumlah penghargaan diterimanya, baik dari pemerintah pusat maupun luar negeri.
Di balik prahara politik yang menderanya saat ini, SYL adalah cermin yang baik untuk para pemimpin saat ini.
Pembaca sekalian, apa yang membuat seseorang menjadi pemimpin yang benar-benar menginspirasi? Bagi Simon Sinek, jawabannya sederhana: mulailah dengan “mengapa”.
Simon Sinek adalah penulis dan pembicara asal Inggris-Amerika yang dikenal luas melalui TED Talk-nya “How Great Leaders Inspire Action”. Dalam presentasi itu, ia memperkenalkan konsep The Golden Circle—kerangka berpikir yang menjelaskan bahwa pemimpin dan organisasi hebat selalu memulai dari alasan terdalam mereka, bukan dari apa yang mereka jual.
Menurut Sinek, ada tiga lingkaran dalam Golden Circle. Why (Mengapa): Tujuan, keyakinan, atau alasan mengapa sesuatu dilakukan. How (Bagaimana), Nilai atau proses yang membuatnya berbeda dan What (Apa) atau produk atau layanan yang dihasilkan.
Sebagian besar orang memulai dari “apa”. Tapi pemimpin hebat—seperti Steve Jobs, Martin Luther King Jr., atau organisasi seperti Apple—memulai dari “mengapa”. Karena ketika kita tahu alasan di balik tindakan kita, kita bisa menginspirasi lebih banyak orang.
Gagasan ini ia lanjutkan dalam buku Leaders Eat Last. Di sana, Sinek menjelaskan bahwa kepemimpinan sejati berarti melayani orang lain lebih dulu.
Seperti dalam militer, perwira makan paling akhir—mereka memastikan anak buahnya aman dan cukup makan sebelum dirinya sendiri. Kepemimpinan adalah soal keberanian untuk melindungi dan mendahulukan orang lain.
Menghadirkan banyak orang di circle kita dan menikmati sajian kuliner bersama adalah hal baik, kalau niatnya untuk itu tentu akan sangat berpahala.
Bagi Sinek, itu empati dalam memimpin dengan memberi peluang.
Pemimpin yang hebat bukan hanya yang cerdas secara strategi, berpendidikan tinggi, sering ikut pelatihan atau rajin ibadah tapi juga yang mampu memahami persoalan anggota timnya, atau kliennya, dan memberinya peluang. Peluang berubah, atau bahkan bergabung dengan circle baru tanpa diberi predikat nista.
Pemimpin yang mendengar dan bukan hanya dia yang hebat atau benar. Pemimpin itu membangun kepercayaan dengan timnya.
Pemimpin itu menciptakan lingkungan kerja yang aman, di mana orang tak takut salah, dan justru terdorong untuk tumbuh dalam situasi keterbatasan.
Dalam buku The Infinite Game, Sinek mengajak kita untuk berpikir jangka panjang. Kepemimpinan bukan tentang menang atau kalah, atau dia salah, saya benar, atau dia hitam saya putih, tapi tentang berkontribusi dalam perjalanan yang terus berlanjut—permainan yang tak pernah selesai, di mana keberlanjutan, nilai, dan visi jauh lebih penting daripada sekadar target tahunan.
Keberlanjutan erat kaitannya dengan transfer kapasitas, saat kita di puncak, beri peluang yang lain, saat kita kaya, beri kesempatan yang lain untuk kaya, jangan balala.
Tentang nilai, pemimpin yang baik harusnya berdamai dengan perbedaan. Itu sudah cukup. Tentang visi, pemimpin yang baik akan berbagi sumber daya untuk sama-sama dengan yang lain mencapainya., Bukan mengklaim, saya Surga, kau Neraka.
Simon Sinek mengingatkan kita bahwa menjadi pemimpin adalah pilihan, bukan jabatan. Dan pilihan itu dimulai saat kita bertanya: mengapa saya melakukan ini, dan siapa yang saya layani? Apakah saya melayani dengan baik atau saya telah menghukum tanpa belas asih.
Tamarunang, 7 Juli 2025