PP 27/2025 | Hadirnya Aturan Baru bagi Ekosistem Mangrove

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Di tepian Nusantara, pohon-pohon mangrove tumbuh tenang di atas lumpur. Rantingnya menyentuh udara pesisir, sementara akarnya mencengkeram tanah basah yang menjadi rumah bagi ribuan makhluk—kepiting, ikan, burung, dan manusia.

Dengan lenguhan daun dan rantingnya, tanpa banyak suara, mangrove seperti bekerja  tak kenal lelah: menahan terjangan ombak, menyaring karbon dari atmosfer. Dia juga menyiapkan  kekayaan hayati yang belum seluruhnya kita kenali.

Selama bertahun-tahun, ketenangan itu tak menjamin keselamatan. Hutan mangrove perlahan menghilang, jutaan batang rontok dan digerus hasrat ekonomi. Kawasan mangrove tergantikan tambak udang, kawasan industri, dan pembangunan yang menggerus ruang hidup alami. Regulasi yang ada belum cukup kuat menghalau laju kerusakan.

Maka hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2025 menjadi titik terang. Sebuah kebijakan yang diharap menjadi pondasi kuat untuk menyelamatkan benteng terakhir pesisir kita.

PP ini lahir dengan pijakan yang jelas: mengakui mangrove sebagai ekosistem yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan dan kehidupan manusia.

Berdasarkan data terbaru Peta Mangrove Nasional 2024, Indonesia memiliki sekitar 3,44 juta hektare mangrove. Menariknya, sekitar seperlima berada di luar kawasan hutan yang sebelumnya tak mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Dengan PP 27/2025, negara menyatakan bahwa baik mangrove yang berada di kawasan hutan maupun yang di luar, sama-sama harus dilindungi. Mereka adalah penyerap karbon, pelindung garis pantai, dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Tak Cukup Menanam, Harus Mengelola dengan Pengetahuan

Selama ini, upaya menyelamatkan mangrove kerap hanya berarti satu hal: menanam kembali. Namun banyak dari program penanaman tersebut gagal karena tidak memperhatikan kondisi ekologis, jenis tanaman yang tepat, atau keterlibatan masyarakat setempat.

PP 27/2025 membawa pendekatan baru. Restorasi dan pemanfaatan mangrove kini harus berbasis pada sains dan kaidah teknis yang terstandar.

Pemerintah menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) sebagai rujukan utama, agar setiap intervensi—baik oleh instansi pemerintah, komunitas, atau pihak swasta—berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.

Peraturan ini tidak hanya bicara teknis ekologis, tetapi juga menekankan pentingnya kerja kolektif. Pengelolaan mangrove kini menjadi tanggung jawab bersama, yang mencakup KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BRGM, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, dan tentu masyarakat lokal.

PP ini juga mengatur pembagian kewenangan yang lebih adil dan jelas. Pemerintah pusat tak lagi dominan sendiri. Pemerintah daerah diberi ruang untuk bertindak, masyarakat diberi hak untuk dilibatkan, dan sektor swasta didorong untuk ikut menjaga, bukan merusak.

Skema insentif dan disinsentif turut diatur untuk memberi dorongan nyata, termasuk moratorium alih fungsi lahan mangrove di area rawan.

Tegas Terhadap Perusakan, Kuat dalam Penegakan

Salah satu substansi paling penting dari PP 27/2025 adalah ketegasan terhadap konversi mangrove.

Tidak ada lagi toleransi terhadap alih fungsi lahan mangrove, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Untuk memastikan hal ini, pemerintah menetapkan sistem pengawasan dan pelaporan yang terintegrasi, serta sanksi yang mencakup tindakan administratif hingga pidana.

Kebijakan ini sekaligus menjawab kekhawatiran lama dari organisasi seperti WALHI, yang selama ini menilai bahwa perlindungan hukum terhadap mangrove lemah dan mudah dilanggar. Kini, PP 27/2025 menjadi pernyataan resmi bahwa negara tidak akan tinggal diam lagi.

Meski peraturan telah diteken, tantangan sebenarnya baru dimulai. Payung hukum ini hanya akan bermakna bila diikuti dengan langkah nyata di lapangan.

Komunitas pesisir, kelompok perempuan, pemuda, dan para nelayan kecil masih membutuhkan dukungan, pengakuan, serta akses legal atas ruang hidup mereka.

Regulasi hanyalah awal. Keberhasilannya tergantung pada bagaimana kita menerapkannya—dengan empati, kolaborasi, dan konsistensi. Karena di akar-akar mangrove yang menjalar ke lumpur itulah kehidupan bertumpu.

Di tengah ancaman krisis iklim dan abrasi yang semakin intens, mangrove bukan hanya pelindung alami—ia adalah simbol harapan. Kini, harapan itu memiliki pijakan hukum. Saatnya kita menjaganya, bersama.