Nasrun Hamzah | Rumah Diskusi Itu Bernama KDB

  • Whatsapp
Nasrun Hamzah (dok: Istimewa)

Di antara teman-teman satu angkatan yang sering belajar bersama ada Guntur Hamzah (kini Hakim Mahkamah Konstitusi), Idris Faizal Kadir (alm), Kifliansyah Elgontori (alm), Andi Tadampali (lebih dikenal sebagai Andi Mangara), Andi Pola, Srie Dewi, Yenni Saleh, dan Jamhur (yang kini berkarier sebagai konsultan tambang di Jakarta).

PELAKITA.ID – Pada dekade 1980-an, saat saya mulai menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, ada rasa bangga sekaligus bingung menjadi mahasiswa.

Dunia kampus adalah ruang baru dalam proses belajar yang belum saya kenal sepenuhnya.

Saya adalah bagian dari angkatan 1983, bersama kurang lebih 180 mahasiswa lainnya. Kami melewati masa perpeloncoan—tradisi penerimaan mahasiswa baru yang kala itu penuh kontroversi.

Banyak yang mengkritiknya karena sarat unsur kekerasan, sehingga dari tahun ke tahun, pola perpeloncoan pun berubah dan akhirnya dihapuskan.

Sebagai mahasiswa, saya memandang diri saya dan rekan-rekan sebaya sebagai kelompok muda yang idealis. Pikiran kami dipenuhi oleh cita-cita dan nilai-nilai luhur. Namun, tak jarang cara pandang ini terasa naif, bahkan seolah hidup di menara gading.

Idealisme itu sering menjelma dalam bentuk sikap kritis—terkadang protes, merasa paling benar, dan cenderung egois.

Mahasiswa, menurut saya, memiliki berbagai tipe. Ada yang sepenuhnya fokus belajar dan kuliah, tanpa peduli dengan dinamika kampus.

Ada pula yang rajin belajar sekaligus aktif berdiskusi—membahas persoalan kampus, sosial, politik, hukum, dan situasi kebangsaan yang sedang berkembang.

Bersama para kolega, Nasrun Hamzah (ujung kanan)  (dok: Istimewa)

Saya mulai memahami jati diri sebagai mahasiswa setelah bertemu beberapa senior yang membuka wawasan saya tentang makna keberadaan di kampus. Mereka membakar semangat berpikir kritis dan idealisme dalam diri saya.

Beberapa nama yang membekas dalam ingatan adalah Kak Sophian Kasim, Kak SM Noor, Kak Wahab Suneth, Kak Haris Latanro (alm), dan Kak Kasman Abdullah.

Mereka aktif di Koswantara—Kelompok Studi Wawasan Nusantara Unhas—yang pada masa itu dikenal sebagai kelompok studi yang kritis dan progresif.

Koswantara memperkenalkan saya pada gagasan pengorganisasian mahasiswa untuk membentuk kelompok-kelompok kritis. Melalui interaksi bersama para senior inilah, saya dan teman-teman kemudian mengikuti Latihan Orientasi Ilmiah (LOI) yang diselenggarakan di Kabupaten Enrekang.

Saya, M. Nuralfatah, Hidayat Surya Saleh, dan beberapa kawan lainnya mengikuti pelatihan tersebut. Dari sanalah minat kami terhadap diskusi semakin tumbuh dan menjadi semacam candu intelektual. Kami mulai sering berkumpul dan berdiskusi dengan tema apa saja.

Di antara teman-teman satu angkatan yang sering belajar bersama ada Guntur Hamzah (kini Hakim Mahkamah Konstitusi), Idris Faizal Kadir (alm), Kifliansyah Elgontori (alm), Andi Tadampali (lebih dikenal sebagai Andi Mangara), Andi Pola, Srie Dewi, Yenni Saleh, dan Jamhur (yang kini berkarier sebagai konsultan tambang di Jakarta).

Masih ada lagi nama-nama seperti Alfatah, Haris Datjing, Kalli, Darma, Oyo Mokalu, Yayat, Hamsir, Setia Darma, Waty Russeng, dan banyak lagi.

Kami kerap berkumpul di Mess Kejaksaan di Jalan Bulukunyi—tempat tinggal salah satu sahabat kami, Kalli.

Dari kebiasaan belajar dan berdiskusi hingga larut malam di mess tersebut, muncul ide untuk membentuk sebuah kelompok belajar. Tentu saja ide ini sempat memunculkan pro dan kontra di antara kami. Ada pertanyaan: mengapa perlu dibentuk kelompok belajar? Akan seperti apa bentuknya?

Namun, setelah melalui berbagai perbincangan, kami sepakat untuk membentuk sebuah kelompok belajar. Bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi juga wadah berdiskusi.

Maka, lahirlah KDB—singkatan dari Kelompok Diskusi Bulukunyi, sesuai nama jalan tempat kami sering berkumpul.

Mengapa kelompok diskusi? Karena diskusi memberi ruang yang luas untuk bertemu, bertukar pikiran, dan membahas persoalan dari sudut pandang masing-masing.

Di sanalah ide-ide berkelindan, perbedaan dihargai, dan pemahaman tumbuh. KDB menjadi rumah intelektual kami. Rumah kecil yang menghidupkan semangat berpikir dan menyuarakan nurani mahasiswa.

___
Rumah Diskusi Itu Bernama KDB
Oleh: Nasrun Hamzah (Alumni Fakultas Hukum UNHAS, Ketua Kelompok Diskusi Bulukunyi 1985–1986)