PELAKITA.ID – Dalam bayang-bayang transisi kekuasaan Jokowi ke kabinet Prabowo Subianto, serentetan kasus yang mencuat—dari ancaman pembukaan lahan tambang di Raja Ampat yang eksotis, kisruh empat pulau kecil di Aceh yang ditengarai demi investor.
Demikian pula maraknya eksploitasi nikel di berbagai wilayah—mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar “kelalaian administratif”.
Ini bukan lagi soal satu-dua menteri yang teledor atau salah koordinasi, melainkan tanda bahaya bahwa arah pengelolaan sumber daya alam Indonesia tengah dibelokkan menuju konsolidasi kepentingan ekonomi-politik yang mengabaikan ekologi, ruang hidup masyarakat adat, dan prinsip keadilan antargenerasi.
Prahara dari laut
Laut kita sesungguhnya tak lagi terlihat tenang dari kejauhan. Di balik permukaannya yang biru dan tampak damai, ada gelombang kepentingan yang saling berbenturan. Negeri kepulauan ini, yang dulu dielu-elukan sebagai “zamrud khatulistiwa”, kini seperti menjadi ajang rebutan.
Bukan hanya tambang emas atau nikel yang jadi incaran, tapi juga lautan, pulau-pulau kecil, bahkan hak hidup komunitas adat yang selama ini menjaga wilayah itu dengan segenap kearifan.
Rentetan kasus yang mencuat dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan pola yang tidak bisa lagi diabaikan.
Satu per satu, kisah tentang laut yang dipagari, pulau yang dilepas, tambang yang menjalar hingga ke surga tropis, dan perombakan kabinet yang penuh spekulasi—semuanya merangkai satu mozaik besar: konsolidasi kekuasaan dan modal yang terus menguat, sering kali atas nama “pembangunan”.
Di sejumlah daerah pesisir, muncul fenomena pagar laut yang membatasi ruang tangkap nelayan lokal. Laut, yang mestinya menjadi ruang hidup bersama, kini dikapling atas nama investasi dan efisiensi. Lihatlah Bekasi, Banten hingga Priuk.
Di balik janji memanfaatkan potensi sumber daya ikan, perikanan terukur, industrialisasi perikanan dan ketahanan pangan, kenyataan di lapangan justru menyuguhkan konflik horizontal, keterasingan nelayan, dan privatisasi ruang publik secara perlahan tapi pasti.
Seruan masyarakat untuk membongkar praktik ini terdengar keras, namun hingga kini, siapa yang berada di balik pagar-pagar itu masih belum terungkap secara jelas. Seperti kapal hantu yang berlayar tanpa jejak hukum.
Kasus Raja Ampat
Di Raja Ampat, sebuah kawasan yang selama ini dianggap sebagai mahkota keanekaragaman hayati laut dunia, isu tambang justru mencuat. Izin tambang nikel disebut pernah dikeluarkan, lalu dibatalkan, digugat, kemudian hilang menjelma menjadi kisruh 4 pulau di Aceh.
Yang kita rasa adalah tempat yang semestinya dijaga seutuhnya untuk generasi mendatang justru nyaris digadaikan pada industri ekstraktif.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin kawasan yang seharusnya dipertahankan mati-matian malah bisa masuk daftar lokasi tambang? Apakah ini sekadar kekeliruan, atau sinyal bahwa kekuatan uang mulai menembus batas-batas suci ekologi?
Di tempat lain, tepatnya di beberapa pulau kecil di Aceh dan Sumatera Utara, masyarakat kembali dikejutkan oleh kabar tentang gelagat pelepasan konsesi kepada investor asing.
Pulau-pulau yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat lokal, kini diisukan akan berubah menjadi kawasan industri besar. Masyarakat adat tak diajak bicara, dan tiba-tiba ruang tempat mereka hidup selama puluhan tahun dianggap bisa diperdagangkan.
Jika pulau bisa dilepas secepat menjentik jari, di mana posisi negara—sebagai pelindung rakyat atau hanya sebagai makelar tanah?
Kita kini melihat dominasi tokoh-tokoh dari sektor pertambangan, energi, dan pertahanan. Isu yang beredar menyiratkan satu hal: alih-alih memperkuat institusi sipil dan memperluas demokrasi ekonomi, kabinet ini bisa jadi justru mempererat simpul antara kekuasaan, modal, dan kekuatan militer.
Apakah ini bentuk pengamanan sumber daya untuk rakyat, atau justru konsolidasi elit demi investasi dan ekspansi?
Semua kejadian ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Mereka tampak seperti rangkaian kebijakan dan keputusan yang berjalan sistematis. Pola besarnya jelas: ruang hidup masyarakat dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi versi segelintir elite.
Komunitas adat, perempuan pesisir, anak-anak pulau, dan nelayan kecil terus terpinggirkan. Sementara jargon hilirisasi dan pembangunan terus dijadikan selimut yang membungkus ekspansi modal. Negara memang hadir, tetapi lebih sebagai fasilitator investasi ketimbang pelindung warganya.
Kini kita berada di persimpangan sejarah.
Apakah akan membiarkan laut dan pulau-pulau kita berubah jadi deretan pagar seng, tambang, dan resor eksklusif? Atau mulai bersuara untuk mempertahankan ruang hidup bersama yang telah diwariskan secara turun-temurun?
Tulisan ini bukan ajakan untuk menolak pembangunan, melainkan dorongan untuk mengungkap siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pembangunan itu—dan siapa yang kehilangan segalanya. Sebab di tengah gegap gempita angka pertumbuhan dan kemajuan infrastruktur, mungkin kita sedang menyaksikan babak paling sunyi dari perampasan ruang hidup rakyat pesisir—tanpa bunyi tembakan, cukup dengan stempel dan tanda tangan.
Laut dan pulau bukan sekadar sumber daya, mereka adalah wajah bangsa. Dan wajah itu, kini tengah dijajakan , diperjualbelikan. Satu demi satu…