Santi Yani | Awalnya Mengantar Bingkai, Malah Berakhir di Kelas Menulis

  • Whatsapp
Shanti Yani (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Minggu siang, 15 Juni 2025. Notifikasi di ponselku mengingatkan: pukul 16.00 WITA saya harus mengantar bingkai ke gedung Institut Kesenian Makassar (IKM) di Jalan Racing Center IV.

Bingkai-bingkai itu akan digunakan oleh teman-teman Indonesia’s Sketchers (IS) Makassar untuk pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6 yang akan berlangsung 21–25 Juni mendatang.

Sebagai komunitas yang membawa semangat “We Draw What We Witness”, karya-karya kami mengangkat sketsa lokasi — mulai dari lanskap, bangunan, hingga kuliner dan interaksi manusia. Semuanya digambar langsung di tempat, spontan, tanpa penghapus, dan justru dari situlah kekuatannya: raw, jujur, dan apa adanya.

Tema REP #6, “Post Truth”, mempertegas semangat ini. Dalam dunia yang kian kabur antara fakta dan ilusi, sketsa menjadi bentuk perlawanan paling jujur. Apa yang terlihat, itulah yang tergambar.

Setibanya di lokasi, suasana masih sepi. Hanya beberapa panitia yang tampak duduk santai sambil ngopi. Gedung IKM sendiri masih terlihat baru, dengan lantai satu yang bergema karena minim perabot.

Saya naik ke lantai dua untuk mengantar bingkai, dan di sanalah saya mengetahui bahwa akan ada workshop menulis sebagai bagian dari rangkaian pra-event.

Melihat beberapa kursi peserta yang masih kosong, saya pun nekat bergabung. Hitung-hitung menambah ilmu, gratis pula.

Pukul 16.00, workshop “Menarasikan Seni Rupa Melalui Penulisan Kreatif” dimulai. Bang Fadly, ketua panitia REP #6 sekaligus moderator, membuka sesi pertama yang diisi oleh Bang Maysir Yulanwar—fotografer, desainer grafis, dan eks Pemred Majalah Makassar Terkini.

Berbalut kemeja navy dan kupluk putih, ia tampil santai tapi penuh wibawa sebagai pelaku dunia kreatif.

Dalam dua jam, ia memaparkan dasar-dasar menulis kreatif, dan bagaimana gaya sastra bisa digunakan untuk menyampaikan hard news maupun soft news. Kami pun diminta menulis lead berita.

“Tulisan harus berpijak pada kebenaran dan kejujuran,” pesannya di akhir sesi.

“Jurnalis adalah pembela masyarakat. Pembaca pun harus kritis, jangan telan mentah berita, apalagi di era media sosial yang penuh hoaks.”

Setelah jeda Magrib, kelas dilanjutkan bersama Bang Rusdin Tompo—penulis, editor, pegiat sekolah ramah anak, sekaligus Koordinator Satupena Sulawesi Selatan. Gayanya santai dengan kaos bergambar mata pena dan ikat kepala passapu khas Makassar, tapi pesannya menusuk.

“Menulis itu mudah,” katanya. “Kita terlalu sibuk memikirkan apa yang ingin kita tulis, padahal yang lebih penting adalah apa yang ingin kita sampaikan.”

Ia menunjukkan sebuah lukisan dekoratif bergaya sketsa hitam putih karya Prof. Aziz Muhammad. Lukisan itu kaya ornamen tradisional, aksara Lontara, hewan, dan tipografi. Kami diminta menyebutkan apa yang menarik perhatian, dan jawaban kami beragam. Dari sinilah ia menunjukkan bahwa sumber inspirasi menulis ada di sekitar—bahkan di dalam diri kita sendiri.

Menjelang akhir, kami diminta membuat tulisan pendek tentang pengalaman mengikuti workshop. Satu per satu peserta membacakan hasilnya, termasuk saya. Meski ragu dengan tulisanku, sambutan tepuk tangan dari kelas memberi semangat baru. Tentu, ada koreksi di sana-sini. Tapi begitulah kelas belajar: tempat di mana kesalahan adalah bagian dari proses.

Seperti kata Joko Pinurbo: “Dulu saya belajar menulis di bawah lampu teplok. Lampu teplok itu sampai sekarang masih menyala di mata saya.”

Workshop sore itu mungkin tak direncanakan, tapi kini ia menyala di mataku seperti lampu teplok yang menerangi jalan untuk terus menulis.

___
Awalnya Mengantar Bingkai, Malah Berakhir di Kelas Menulis

Oleh: Shanti Yani (Koordinator Indonesia’s Sketchers Makassar)