Muliadi Saleh | Hijrah Ekologis: Kembali ke Harmoni Alam

  • Whatsapp
Muliadi Saleh

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56)

PELAKITA.ID – Hijrah ekologis adalah perjalanan batin dan sosial menuju tata hidup yang lebih selaras dengan alam. Ia bukan sekadar perubahan gaya hidup yang “ramah lingkungan”, melainkan transformasi menyeluruh—dari cara berpikir, cara merasa, hingga cara membangun peradaban.

Ini adalah seruan untuk beralih dari peradaban eksploitatif ke peradaban reflektif; dari hasrat menguasai bumi menuju semangat berkawan dengan bumi.

Dalam bahasa iman, hijrah ekologis adalah bentuk ketaatan baru: mencintai ciptaan Tuhan sebagaimana kita mencintai sabda-Nya. Dalam bahasa budaya, ia adalah pulang ke akar kearifan lokal. Dan dalam bahasa negara, ia adalah arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan.

Indonesia—zamrud khatulistiwa yang dahulu dijuluki paru-paru dunia—kini perlahan kehilangan napasnya. Di Kalimantan, hutan tropis berubah menjadi tambang batubara.

Di Papua dan sejumlah pulau lain, tanah adat tergusur demi sawit dan nikel. Kualitas udara Jakarta menjadi salah satu yang terburuk di dunia, dan sungai-sungai kita—dari Citarum hingga Tallo—mengangkut lebih banyak sampah plastik ketimbang ikan. Sampah menumpuk, laut meradang, musim tak lagi bisa diprediksi.

Kita menyaksikan banjir bandang di Luwu, longsor di Sumedang, kebakaran hutan di Riau, dan kekeringan ekstrem di Nusa Tenggara. Alam bukan sekadar marah—ia sedang menangis.

Ingat kasus “Minyak Goreng Widuran”? Seekor ayam bersuara tentang rantai panjang eksploitasi: dari kebun sawit yang menggerus tanah adat, produksi minyak yang tidak sehat, hingga etika yang tergerus demi laba. Atau viralnya banjir di hulu Ciliwung, karena proyek-proyek properti mewah yang memutus urat nadi air.

Baru-baru ini, Raja Ampat kembali menjadi saksi kerusakan ekologis. Kawasan yang dijuluki surga laut dunia itu—rumah ribuan spesies karang dan ikan—ternoda oleh pembangunan tak ramah lingkungan.

Kapal wisata mewah dan proyek dermaga menghantam dasar laut, memecahkan karang, mengusir biota laut. Bahkan, tambang nikel kini mengancam wilayah ini. Legalitas izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lain patut dipertanyakan karena bertentangan dengan undang-undang lingkungan hidup.

Laut biru yang semestinya meneduhkan kini menjadi cermin retak dari kerakusan. Ini bukan sekadar bencana ekologis, melainkan duka spiritual bangsa atas warisan alam yang dilukai. Raja Ampat mengingatkan kita: bahkan keindahan pun bisa ternodai, jika kita menunda hijrah.

Hijrah ekologis kini menjadi panggilan zaman—sebab kita telah berada di titik nadir. Dunia, termasuk Indonesia, di ambang krisis iklim. Tanpa perubahan, suhu akan makin panas, cuaca makin ekstrem, dan wilayah pesisir kian tenggelam.

Hijrah ekologis berarti berpindah dari eksploitasi ke konservasi; dari konsumerisme ke kesederhanaan; dari monokultur ke agroekologi; dari betonisasi ke pelestarian ruang hijau; dari pemusatan kuasa ke distribusi keadilan ekologis.

Setiap individu bisa memulai dari hal kecil: mengurangi plastik dan konsumsi berlebih, memilih produk lokal dan berkelanjutan, menanam pohon, menjaga air, merawat tanah.

Komunitas dan bangsa harus kembali memuliakan adat dan budaya ekologi: hutan adat di Kalimantan, praktik sasi laut di Maluku, ladang berpindah yang bijak di Papua. Dorong ekonomi sirkular dan pertanian organik, perkuat kebijakan yang benar-benar melindungi alam.

Dalam Islam, menjaga lingkungan bukan sekadar pilihan—tapi kewajiban. Al-Qur’an menyebut bumi sebagai amanah, dan manusia sebagai khalifah.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56)

Para sufi menyebut tanah sebagai “wajah Tuhan yang bersujud”. Keadilan ekologis adalah bagian dari maqasid syariah—tujuan hukum Islam yang melindungi kehidupan dan keseimbangan.

Dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal prinsip siri’ na pacce dan kosmologi Sulapa Eppa, yang menggambarkan alam semesta sebagai belah ketupat dengan empat unsur dasar: angin, api, air, dan tanah.

Hidup hanya berlangsung bila keempat unsur ini seimbang. Jika satu unsur disakiti, harmoni semesta pun terganggu. Konsep ini mencerminkan bahwa manusia bukan penguasa mutlak atas alam, melainkan bagian dari jejaring kesucian ciptaan.

Hijrah ekologis, dalam terang Sulapa Eppa, adalah ikhtiar menjaga keseimbangan semesta agar kehidupan berlangsung dengan damai dan kehormatan—menghadirkan keberanian untuk membela lingkungan.

Di Minangkabau, terdapat falsafah: alam takambang jadi guru—alam adalah sekolah pertama manusia. Di Bali, konsep Tri Hita Karana mengajarkan harmoni antara manusia, Tuhan, sesama, dan alam. Inilah kekayaan kultural kita yang seharusnya menjadi fondasi hijrah ekologis.

Pemerintah tidak cukup hanya mengumandangkan “green economy”—tetapi harus tegas: batalkan izin tambang dan sawit di hutan lindung, perkuat UU Lingkungan, dan jadikan transisi energi bersih sebagai prioritas nasional. Pembangunan yang menghancurkan lingkungan bukanlah kemajuan—melainkan kemunduran yang dibungkus narasi kemajuan.

Hijrah ekologis adalah panggilan yang tak bisa ditunda. Ini bukan sekadar soal aktivisme, tapi tentang keberlangsungan hidup. Dari gunung yang patah, laut yang keruh, dan udara yang sesak, terdengar bisikan:

“Hijrahlah, wahai manusia. Kembalilah pada harmoni.”

Sebab manusia dan alam saling membutuhkan.

Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”