Program MBG, Saatnya Laut Memberi Makan Bangsa Sendiri

  • Whatsapp
Prof Andi Adri Arief (dok: Ilustrasi Pelakita.ID)

Program Makan Bergizi Gratis yang diinstruksikan oleh Presiden Prabowo Subianto adalah peluang emas untuk memulai revolusi pangan nasional berbasis maritim.

PELAKITA.ID – Indonesia kerap memuji dirinya sebagai negeri maritim dengan kekayaan laut yang melimpah. Namun, pertanyaan mendasarnya sederhana: apakah kekayaan itu sudah benar-benar memberi makan bangsanya sendiri?

Ironisnya, satu dari tiga anak Indonesia masih mengalami stunting. Tingkat konsumsi ikan pun masih tertinggal dibanding negara-negara maju, meski wilayah laut kita termasuk lima terbesar di dunia.

Dalam konteks ini, Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) yang diusung pemerintah terpilih menjadi momentum strategis untuk menjadikan laut sebagai dapur bangsa, sekaligus menegakkan kedaulatan pangan nasional.

Laut, Ikan, dan Masa Depan Bangsa

Protein ikan memiliki keunggulan dibandingkan daging sapi maupun ayam. Kandungan DHA dan EPA di dalamnya sangat penting bagi perkembangan otak anak, meningkatkan konsentrasi, daya ingat, hingga potensi kecerdasan.

Namun, konsumsi ikan per kapita Indonesia baru mencapai 56,39 kg/tahun—jauh di bawah Jepang yang mencapai 75–160 kg/tahun.

Tak heran, Jepang menempati posisi puncak rata-rata IQ global (112,3), sementara Indonesia hanya berada di peringkat ke-127 dari 197 negara dengan rata-rata IQ 78,49 (data tahun 2024).

Dalam pembangunan sumber daya manusia, ikan bukan sekadar lauk—ia adalah investasi masa depan bangsa.

Pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki, Jepang bangkit antara lain melalui konsumsi ikan sebagai fondasi pembangunan manusia.

Maka, jika kita sungguh ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, laut harus dijadikan pilar utama ketahanan dan kedaulatan pangan.

Habitus Konsumsi dan Politik Simbolik

Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa selera konsumsi bukan sekadar pilihan individual, melainkan produk habitus—kerangka disposisi sosial yang terbentuk dari pengalaman historis, kelas sosial, dan budaya.

Di banyak kota besar Indonesia, ikan masih dianggap “makanan kampung”, sementara daging sapi, ayam, dan makanan cepat saji dikonstruksikan sebagai simbol status dan kemajuan.

Inilah tantangan utama PMBG: bagaimana membentuk habitus konsumsi baru di mana ikan dipandang sebagai makanan yang bergizi, bergengsi, dan menyehatkan.

Seperti kata Bourdieu, “Taste classifies, and it classifies the classifier.” Selera makan menunjukkan siapa kita, sekaligus menentukan posisi kita dalam masyarakat.

Jika konsumsi ikan tidak diasosiasikan dengan nilai prestise dan aspirasi kelas menengah, program pangan laut hanya akan menjadi wacana sunyi tanpa tindakan.

Struktur, Agensi, dan Transformasi

Anthony Giddens, melalui structuration theory, menempatkan struktur sosial dan agensi dalam relasi dialektis. PMBG adalah struktur yang disediakan negara, tetapi kesuksesannya sangat bergantung pada agensi masyarakat—guru, orang tua, pelaku usaha perikanan, media, hingga anak-anak sekolah—untuk mengadopsi pola konsumsi baru.

Tanpa terbentuknya agensi ini, PMBG hanya akan menjadi arsitektur kosong tanpa perubahan praktik sosial.

Maka, intervensi PMBG perlu bersinergi dengan penguatan komunitas nelayan, pembudidaya, industri pengolahan ikan, serta pendidikan budaya makan ikan sejak sekolah. Dengan begitu, program ini menjadi transformasi sosial-ekonomi maritim dan langkah konkret menuju kedaulatan pangan laut Indonesia.

Kedaulatan Pangan Laut sebagai Pilar Utama

Dua pertiga wilayah kedaulatan Indonesia adalah laut, dengan potensi perikanan tangkap dan budidaya yang luar biasa besar. Ironisnya, Indonesia masih mengimpor—baik legal maupun ilegal—ikan kembung dari Pakistan, patin dari Vietnam, hingga ikan teri dari Myanmar.

Fakta ini menunjukkan bahwa pembangunan pangan nasional masih berfokus pada daratan dan menomorduakan laut sebagai sumber utama protein hewani rakyat.

Dalam konteks PMBG, mengutamakan ikan bukan sekadar untuk gizi anak sekolah, tapi juga untuk menegakkan kedaulatan pangan laut.

Negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa yang kebutuhan pangannya bergantung pada impor akan sulit mencapai kemajuan. Kita memiliki semua potensi untuk mandiri, tetapi gagal mengelola kekayaan laut sendiri.

Tawaran Rekomendasi Kebijakan

  1. Regulasi Khusus Menu PMBG
    Pemerintah perlu menerbitkan regulasi tegas yang mewajibkan ikan sebagai komponen utama dalam menu PMBG di semua jenjang pendidikan. Regulasi ini harus disertai insentif dan sanksi yang adil. Tanpa kebijakan yang mengikat, program makan gratis akan cenderung memilih sumber protein murah seperti ayam, dan kembali meminggirkan ikan.

  2. Kampanye Ikan yang Inovatif dan Modern
    Promosi makan ikan harus melampaui pendekatan lama. Kuliner ikan perlu diolah dalam bentuk nugget, bakso, sosis, burger, hingga sushi lokal yang sesuai dengan selera Generasi Z. Media sosial, influencer kuliner, chef ternama, hingga platform streaming perlu dilibatkan untuk mengubah citra ikan dari makanan kampung menjadi makanan keren dan bergengsi.

  3. Integrasi UMKM Pesisir ke Rantai Suplai PMBG
    Dengan mengintegrasikan UMKM pesisir ke dalam sistem distribusi PMBG, program ini akan menciptakan permintaan tetap (demand certainty) bagi produk laut domestik, menstabilkan harga ikan, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan serta pembudidaya. Laut tak hanya memberi makan, tetapi menggerakkan ekonomi nasional dari desa pesisir hingga pusat kota.

  4. Penguatan Data dan Riset Pangan Laut
    Kebijakan pangan laut masih minim berbasis data konsumsi, preferensi, dan pola makan generasi muda. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemendikbudristek, Kemenkes, dan Bappenas perlu bersinergi untuk menghasilkan kebijakan berbasis sains sosial dan gizi yang akurat sebagai dasar implementasi PMBG.

Menuju Generasi Emas, Bukan Generasi Cemas

Program makan bergizi gratis adalah peluang emas untuk memulai revolusi pangan nasional berbasis maritim.

Mengadopsi pemikiran Bourdieu dan Giddens, kita memahami bahwa membentuk selera berarti membentuk reproduksi sosial, dan membangun struktur yang membebaskan berarti membuka ruang gerak agensi sosial dalam koridor keberpihakan negara.

Sudah waktunya laut tidak sekadar menjadi ruang ekonomi dan geopolitik, tetapi juga menjadi penopang utama kesehatan, kecerdasan, dan kedaulatan bangsa.

Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Dalam laut yang kaya terdapat masa depan Indonesia yang berdaulat—menciptakan generasi emas, bukan generasi cemas dan lemas.