Korupsi dan Tekanan Politis, Ketika Korupsi Pejabat Menjadi Produk Sosio-Culture yang Tersesat.

  • Whatsapp
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban. (dok: istimewa)

Korupsi adalah musuh bersama. Tapi lebih berbahaya dari korupsi adalah ketika masyarakat berhenti marah dan kehilangan harapan. Kita tidak butuh revolusi berdarah—kita butuh revolusi nilai.

PELAKITA.ID – Di tengah hiruk pikuk demokrasi prosedural yang terus melaju, ada sesuatu yang perlahan mengering di dalam tubuh bangsa ini: tokoh panutan.

Sosok yang bisa menjadi jangkar moral dan arah etika publik, terutama dalam tubuh pemerintahan, kini semakin langka.

Yang muncul justru wajah-wajah kekuasaan yang tersenyum di depan kamera, namun terbelit praktik korupsi dan tekanan politis di balik layar.

Kita hidup dalam zaman ketika korupsi tidak lagi mengejutkan, melainkan dianggap biasa. Ketika kompromi politik dibalut narasi “demi stabilitas”.

Yang paling menyesakkan: ketika masyarakat tak lagi berharap banyak dari pejabat publik, karena mereka tahu bahwa sistemnya telah korup dari hulu ke hilir.

Budaya Korupsi: Dari Pribadi Menyimpang Menjadi Norma Sosial

Korupsi di Indonesia telah melewati fase individual—yakni perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang per orang—menjadi fenomena kultural.

Ia membentuk ekosistemnya sendiri. Ketika seseorang masuk ke lingkaran kekuasaan, sering kali ia akan bertemu dilema: ikut bermain atau tersingkir.

Tak sedikit pejabat yang pada awalnya idealis, perlahan kehilangan pijakan karena tekanan politis yang bersumber dari partai, sponsor, atau struktur birokrasi yang sudah mapan dalam ketimpangan.

Dalam sistem seperti itu, integritas menjadi beban. Kebaikan malah dianggap ganjil.

Tekanan Politis sebagai Cermin Budaya Transaksional

Naiknya biaya politik, sistem rekrutmen yang transaksional, serta kultur “balas budi” menjadikan pejabat negara kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak. Mereka tak lagi bekerja untuk rakyat, tapi untuk membayar utang politik dan menjamin posisi aman dalam rotasi kekuasaan.

Di sinilah kita menemukan titik nadir demokrasi: bukan lagi soal rakyat memilih, tapi soal siapa yang paling mampu menjual diri kepada kekuatan uang dan jaringan. Dalam kondisi seperti ini, pejabat tak ubahnya pion dalam catur kekuasaan oligarkis.

Kekeringan Tokoh Panutan: Krisis Kepemimpinan Moral

Yang paling mengkhawatirkan dari semua ini adalah hilangnya tokoh panutan yang bersih dan berani. Kita jarang lagi melihat figur seperti Baharuddin Lopa, Hatta, atau tokoh-tokoh yang dulu berani berdiri tegak meski sendirian.

Akibatnya, generasi muda kehilangan referensi. Mereka tidak tahu siapa yang bisa diteladani dalam ranah publik. Dan ketika ruang publik tak lagi menyediakan contoh moral, maka masyarakat pun belajar bersikap permisif: “Semua pejabat sama saja.”

Jalan Keluar: Revolusi Kultural dan Politik Nilai .

Tentu kita tidak boleh menyerah. Meski perlahan, jalan perubahan tetap ada, jika kita berani menempuhnya.

Pertama, kita harus menghidupkan kembali budaya integritas di dalam institusi negara. Pelatihan pejabat publik tak boleh hanya teknokratik, tapi harus menanamkan nilai etika, tanggung jawab publik, dan keberanian menolak kompromi.

Kedua, masyarakat sipil harus menjadi kekuatan budaya penyeimbang. Media, akademisi, seniman, dan komunitas lokal harus bekerja sama membongkar mitos korupsi sebagai “keniscayaan”.

Kita butuh gerakan budaya yang menolak normalisasi perilaku menyimpang, lewat pendidikan, kampanye, seni, dan ruang publik digital.

Ketiga, kita perlu menyaring tokoh publik berdasarkan integritas, bukan sekadar elektabilitas. Partai politik dan lembaga pemilu harus ditekan publik agar tidak lagi menjual panggung kekuasaan kepada yang berduit, tapi yang bermoral.

Terakhir, kita perlu membangun sistem transparansi partisipatif—di mana rakyat bisa langsung mengawasi anggaran, proyek, dan perilaku pejabat melalui mekanisme digital dan pelibatan komunitas lokal.

Menutup dengan Harapan

Korupsi adalah musuh bersama. Tapi lebih berbahaya dari korupsi adalah ketika masyarakat berhenti marah dan kehilangan harapan. Kita tidak butuh revolusi berdarah—kita butuh revolusi nilai.

Dan revolusi nilai hanya bisa dimulai jika kita semua, sebagai rakyat, menolak menjadi bagian dari budaya permisif dan diam. Saatnya menyalakan kembali obor integritas di tengah gelapnya lorong kekuasaan.

Penulis
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.