Ketika Kebenaran Tak Lagi Terlihat di Permukaan

  • Whatsapp
Hasil editan Artificial Intelligence (dok: Ady Suriadi)

PELAKITA.ID – Selama aktif berlayar antara tahun 96 hingga 2003 Paotere – Taka Bonerate, penulis pernah mendengar pesan nakhoda kapal kayu cargo. Sederhana tapi dalam maknanya dengan menggunakan maritim sebagai area petuah.

“Di lautan luas, jangan langsung percaya pada apa yang terlihat, sebab mata bisa tertipu, tetapi pada hati bening tahu ke mana arah yang benar.”

Bahwa, segitiga yang tampak dari jauh bergerak di permukaan laut belum tentu layar perahu balolang—bisa jadi itu hiu yang sedang mengincarmu. Bahwa yang nampak berbaris di tepi cakrawala bisa saja bukan rerimbunan nyiur tetapi gulungan badai.

Petuah ini justru semakin terasa penting di zaman sekarang. Di era digital, gambar-gambar yang memukau begitu mudah menyita perhatian kita—padahal tak semuanya membawa kebenaran.

Teknologi kini begitu canggih. Kecerdasan buatan (AI) mampu mengubah wajah seseorang yang sedang belajar menjadi seolah tengah berada di tempat lain, mengganti latar belakang, bahkan memalsukan momen-momen intim yang tak pernah terjadi.

Menurut penulis dan praktisi media sosial Ady Suriadi, sebuah foto bisa direkayasa sedemikian rupa hingga tampak seperti kenyataan, meskipun sebenarnya hanyalah tipuan visual.

Kata dia, ancaman ini bukanlah hal baru, namun skalanya makin membesar. Gambar yang tampak “benar” bisa menjadi senjata ampuh untuk menggiring opini, membentuk persepsi publik, bahkan menyesatkan sekelompok orang secara halus dan nyaris tak terdeteksi.

Laporan terkini sebagaimana dibagikan Ady, menyebut bahwa mendeteksi gambar palsu semakin sulit dilakukan. “Di media sosial, konten seperti ini menyebar begitu cepat, menembus batas desa dan kota, menjangkau hingga wilayah terpencil,” sebut Ady.

Sayangnya, lanjut Ady, banyak dari kita belum menyadari bahwa gambar yang tampak meyakinkan bisa digunakan untuk agenda politik, provokasi, manipulasi psikologis, bahkan penipuan yang berujung pada kerugian finansial dan rusaknya nama baik seseorang.

“Persoalannya, tidak semua orang punya waktu, kemampuan, atau alat untuk memverifikasi apa yang mereka lihat.  Tak jarang, baik orang tua di kampung maupun anak muda di kota bisa sama-sama terjebak—bukan karena kurang cerdas, tapi karena derasnya arus informasi melampaui kecepatan kita dalam berpikir kritis,” tulis Ady.

Kini kita hidup di masa ketika satu gambar saja cukup untuk mengubah jalan cerita besar—bahkan tanpa satu kata pun dituliskan.

Bayangkan, sebuah foto hasil editan bisa memicu kemarahan, membentuk keyakinan, atau menanamkan kebencian terhadap sesuatu yang tidak pernah benar-benar terjadi.

Inilah mengapa kita perlu membiasakan diri untuk tidak langsung terpukau. Jika ada gambar yang terasa terlalu dramatis, terlalu sempurna, atau sangat menggugah emosi—berhentilah sejenak.

Ady menambahkan, ada baiknya untuk menanyakan: Siapa yang membuat dan menyebarkan gambar ini? Apa motifnya? Apakah ada sumber terpercaya lain yang bisa mengonfirmasi?

Menjadi warga digital di era AI bukan hanya soal bisa menggunakan gawai atau mengunggah konten. Lebih dari itu, ini soal menjadi pribadi yang bijak, waspada, dan tahan terhadap manipulasi informasi.

Di sinilah peran kearifan lokal kita perlu dihidupkan kembali. Seperti pesan para tetua: jangan hanya mengandalkan mata, tapi gunakan juga hati dan akal sehat.

Betul kata Ady Suriadi, di zaman ketika teknologi mampu memalsukan hampir segalanya, kemampuan berpikir jernih dan kritis mungkin adalah pertahanan terakhir kita sebagai manusia.

Sebab hari ini, kebenaran bukan lagi tentang siapa yang paling keras bicara atau paling mencolok tampilannya—melainkan siapa yang mampu melihat lebih dalam, dan membaca apa yang tersembunyi di balik sebuah gambar.

Penulis Denun