Ruang itu mungkin sunyi, tapi di situlah cahaya paling terang menyala. Dan di sanalah aktualisasi diri menemukan rumahnya.
PELAKITA.ID – Tidak semua hasil kerja harus dibalas dengan ucapan terima kasih atau kompensasi materi.
Dalam hirarki kebutuhan Maslow, ada satu tahap ketika seseorang merasa cukup bukan karena apa yang ia terima, tapi karena makna dari apa yang ia berikan.
Saat pekerjaan memberi manfaat di situlah kebutuhan akan aktualisasi diri terpenuhi, merasa berguna merasa hidup. Sering kali, itu justru lebih membahagiakan daripada sekadar pujian atau imbalan.
Demikian kutipan di laman FB Ady Suriadi, alumni Unhas yang penulis kenal sebagai pemberdaya sosial, terakhir bertemu saat sama-sama menyiapkan Koperasi Alumni 4 tahun lalu.
***
Penulis terkesan dengan pendapat di atas. Relevan dengan momentum dan sejumlah peristiwa yang penulis alami sepekan terakhir.
Di zaman sekarang, nilai seseorang sering kali diukur dari seberapa banyak ia mendapat sorotan: jumlah “like” di media sosial, ucapan terima kasih di ruang publik, atau imbalan materi yang diterima.
Maka tak heran jika tindakan memberi tanpa pamrih terdengar ketinggalan zaman—seolah hanya milik orang-orang idealis.
Padahal, dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, memberi tanpa mengharapkan balasan justru mencerminkan pencapaian tertinggi dalam hidup: aktualisasi diri.
Maslow menggambarkan kebutuhan manusia seperti tangga bertingkat. Di bagian bawah adalah kebutuhan dasar: makan, minum, tidur, keamanan.
Lalu naik ke kebutuhan sosial—rasa memiliki, dihargai, hingga akhirnya sampai pada puncaknya: menjadi diri sendiri secara utuh.
Pada tahap aktualisasi ini, seseorang melakukan sesuatu bukan karena kewajiban atau dorongan ingin dipuji, melainkan karena hal itu mencerminkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Saat seseorang sudah berada di tahap ini, pekerjaan bukan lagi soal gaji. Berkarya bukan demi aplaus. Menolong bukan untuk mendapat pujian.
Seorang guru tetap mengajar dengan penuh semangat meski tak pernah masuk berita, karena ia tahu ia sedang menanam benih masa depan. Seorang alumni yang selalu bersemangat saat reuni, riang gembira, aktif kegiatan sosial – walau saat kembali ke rumah mengalami resistensi dari sekitar dan orang-orang karena dianggap tak menghasilkan sesuatu yang tangible. Tapi dia puas.
Seorang relawan membantu diam-diam tanpa tanda jasa, karena di lubuk hatinya ia sadar: ada satu nyawa yang bisa bertahan sedikit lebih lama karena uluran tangannya.
Namun dalam kenyataan, banyak orang enggan terlibat dalam kegiatan sosial atau aksi kemanusiaan. Sebagian besar karena hidup masih bergelut pada pemenuhan kebutuhan dasar.
Tanpa sadar dia mendeklarasikan diri anti-sosial, menjauh dari kerumunan dan menganggap orang lain sebagai bodoh dan membuang-buang waktu.
Dalam masyarakat yang belum merata secara ekonomi, orang lebih sibuk mencari nafkah, melunasi utang, menjaga kestabilan rumah tangga.
Padahal, dalam kondisi seperti ini, memberi waktu dan tenaga kepada orang lain bisa terasa seperti kemewahan yang tak mungkin dijangkau.
Ada pula alasan yang lebih dalam dan tidak selalu disadari: budaya transaksional yang tertanam sejak kecil. Kita tumbuh dalam pemahaman bahwa setiap tindakan harus dibalas.
Kerja harus digaji. Jasa harus disebut. Kebaikan harus diakui. Maka, ketika terlibat dalam kegiatan sosial tanpa mendapat pujian atau balasan, banyak yang merasa kecewa.
Merasa tak dianggap. Padahal justru di situlah letak ujian: apakah kita memberi karena itu bagian dari nilai hidup kita, atau karena kita ingin dilihat? Ironisnya, mereka yang memberi tanpa pamrihlah yang justru sering merasakan kebahagiaan sejati.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang aktif dalam kegiatan sosial, sukarelawan, atau komunitas warga, cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Mereka merasa hidupnya bermakna, merasa dibutuhkan, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kebahagiaan semacam ini bukan euforia sesaat, tapi rasa tenang yang dalam dan tahan lama—sejalan dengan visi Maslow tentang hidup yang utuh.
Memberi, dalam bentuknya yang paling tulus, bukan tentang seberapa banyak yang kita punya. Tapi seberapa dalam kita terhubung dengan orang lain.
Entah itu lewat kerja sukarela, membantu tetangga, berbagi ide, waktu, atau sekadar hadir mendengarkan—semuanya adalah langkah-langkah kecil menuju puncak diri kita sendiri. Bukan untuk mencari tepuk tangan, tapi untuk merasakan damai dalam hati.
Tidak semua kerja butuh penonton. Tidak semua kebaikan perlu dipamerkan. Ada satu ruang dalam hati manusia yang hanya bisa diisi oleh rasa telah berguna.
Ruang itu mungkin sunyi, tapi di situlah cahaya paling terang menyala. Dan di sanalah aktualisasi diri menemukan rumahnya.
Jadi, seperti yang disampaikan sahabat kita Ady Suriadi di atas, jika suatu hari kamu merasa lelah karena sudah memberi tapi tak dihargai, berhentilah sejenak dan tanyakan: “Apakah ini membuatku merasa hidup?”
Jika jawabannya ya, maka kamu sudah menerima sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar pujian: makna.
Denun, Tamarunang 2 Juli 2025