PELAKITA.ID – Tahun 2000, saat pertama kali menetap di Tamarunang, penulis secara perlahan menyimpan memori tentang Sungguminasa-Gowa, pada ruang dan waktu. Tempat menetap, bermigrasi dan bersendagurau dengan dinamika kehidupan.
Di Tamarunang (hai Ode!)– sekitar 2 kilometer dari perempatan Sungguminasa – Malino – Takalar , kampung yang dulu masih lengang itu, warga tempatan sempat memperingatkan: Tamarunang adalah lintasan para paella sapi—istilah lokal untuk pencuri ternak yang membawa hasil curiannya menyeberang Je’neberang menuju Parangbanoa.
Tak heran jika saat itu, ronda malam menjadi tradisi rutin warga. Bergiliran, kami menjaga kampung, berbagi kopi, teh, gula, bahkan main domino sambil berjaga. Penulis yang tak pernah bawa parang, harus terbiasa membawanya saat ronda.
Di tahun yang sama pula, saya mulai mencatat betapa buruknya kondisi Jalan Poros Malino. Genangan air saat musim hujan, lubang yang makin menganga, hingga akses yang kerap membuat risau.
Persimpangan Cambaya menuju poros utama seakan tak pernah benar-benar dibenahi. Dan sayangnya, hingga tahun 2025 ini, kondisinya masih kurang lebih sama. Penulis pernah menulis tentang ini dan tayang di Tribun Timur.
Beberapa waktu lalu, dua warga Tamarunang, Denun dan Ode sempat bertemu langsung dengan Bupati Gowa, Dr. Adnan Purichta Ichsan (hai Pak Bupati!). Ketika saya tanyakan soal jalan poros ini, ia menjelaskan bahwa status jalan tersebut berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat.
Maka, tanggung jawab ada di tangan anggota DPR RI dari Dapil 1 Sulsel. Tapi, upaya menagih janji atau perhatian dari wakil rakyat tak semudah yang dibayangkan.
Seorang kawan di WAG Alumni Unhas bilang, ketimbang memperjuangkan perbaikan jalan utama, mereka lebih fokus bantu petani dengan benih, pupuk, saprodi, dan jalan tani yang lebih konkret dan berdampak secara elektoral.
Sosodara, penulis ingin bilang, Gowa kini tak melulu tentang jalan rusak atau cerita lama. Beberapa bagian dari daerah ini tumbuh pesat, memperlihatkan wajah kota yang sedang membentuk identitas barunya.
Semalam, dalam perjalanan dari Pallangga menuju Jalan Pendidikan Makassar, penulis melihat geliat Poros Gowa–Takalar yang kini makin hidup, terutama setelah melewati Jembatan Kembar.
Kawasan ini kini dihiasi restoran cepat saji seperti KFC, Pizza Hut, serta toko-toko besar yang dulunya hanya ada di kota. Pallangga tumbuh cepat, didukung oleh kepungan perumahan yang menjadikannya pusat pertumbuhan baru.
Bahkan, keberadaan pedagang kaki lima yang dulu semrawut kini mulai tertata seiring pelebaran jalan poros. Bupati Adnan telah buatkan Pasar di sisi timur, macet di Pangkabinanga pun sudah ditangani.
Wajah Gowa lainnya bisa dilihat di Poros Hertasning–Samata. Deretan restoran, pusat belanja, hingga bangunan modern menjalar hingga ke depan UIN Samata. Perbatasan Makassar–Gowa di Jalan Alauddin juga tak kalah menarik. Jalan sudah diperluas, membuat akses semakin nyaman.
Namun, ada satu ruas jalan yang selalu membangkitkan nostalgia: Jalan Wahid Hasyim di Sungguminasa.
Meski telah diperbaiki di sana-sini, suasananya seolah tak berubah sejak tahun 90-an. Mungkin saya yang belum bisa move on, tapi setiap melewatinya, waktu seperti berhenti di masa lalu. Dan mungkin, memang inilah pesonanya.
Kalau boleh bermimpi, saya membayangkan Jalan Wahid Hasyim dijadikan kawasan Kota Tua Sungguminasa.
Bayangkan saja, di sana ada Balla Lompoa sebagai pusat sejarah, lalu di atasnya dibangun jalan layang. Sementara jalan utamanya disulap menjadi kawasan pedestrian seperti Malioboro—ramah pejalan kaki dan penuh aktivitas budaya.
Wisatawan bisa berjalan santai dari Balla Lompoa ke Pasar Sumigo, lalu menelusuri jejak ke Salis, dalam atmosfer historis yang hidup.
Dan jalan layang yang dimulai dari Jembatan Kembar, bisa menembus Pao-pao hingga ke Mallengkeri, menjadi urat nadi baru yang menghubungkan masa lalu dan masa depan Gowa.
Gowa memang tidak sedang berhenti. Ia sedang bergerak di antara ruang dan waktu, antara kenangan dan harapan, antara yang tak berubah dan yang terus bertumbuh.
_
Denun, Tamarunang, 2 Juli 2025