Artikel ᨄᨒᨘ ᨌᨙᨒ Pallu Ce’la, Makanan khas Makassar ini ditulis oleh founder Balla Barakkaka ri Galesong yang juga guru besar Hukum Agraria Unhas, Prof Dr Aminuddin Salle, S.H, M.H atau akrab disapa Karaeng Patoto.
PELAKITA.ID – Pada kalangan orang Makassar terdapat satu lauk khas yang berbahan baku utama ikan dan garam. Tentu saja ada campuran lainnya seperti serai, kunyit, bawang merah, bawang putih, dan beberapa bumbu dasar khas dapur Sulawesi Selatan.
Nama makanan itu adalah ᨄᨒᨘ ᨌᨙᨒ (pallu ce’la). Dalam bahasa Makassar, ᨄᨒᨘ (pallu) berarti masakan atau dimasak, sementara ᨌᨙᨒ (ce’la) berarti garam. Secara harfiah, makanan ini bisa diterjemahkan sebagai “masakan garam”.
Namun di balik kesederhanaan namanya, pallu ce’la adalah simbol kecerdasan kuliner masyarakat pesisir dalam mengolah hasil laut menjadi sajian beraroma khas dan menggugah selera.
Pallu ce’la biasanya menggunakan ikan laut seperti cakalang, baronang, atau kadang-kadang juga ikan bolu (bandeng).
Ciri khas dari masakan ini adalah rasanya yang asin segar dan kuahnya yang bening namun kaya rasa. Tanpa santan, tanpa minyak berlebih, tetapi tetap mengandung kedalaman rasa.
Pallu ce’la ini biasa dipasangkan dengan ᨑᨌ ᨈᨕᨗᨄ (raca taipa) atau acar mangga muda yang segar, sebagai penyeimbang rasa asin dan pedas dari kuah ikan. Tapi karena bukan musim mangga, maka kali ini kami pilih pengganti yang tak kalah menyegarkan: ᨌᨚᨀᨗᨒᨗ (jambu buol), buah lokal yang asam manis dan segar, cocok sebagai penetralisir rasa garam.
Untuk memperkaya rasa makanan maka Ibu Suryana Aminuddin, yang menyiapkan sajian ini, menyertakan sayur daun kelor dan terong rebus sebagai pelengkap.
Selain itu, ada juga sambal terasi dan tumisan ᨄᨒᨘᨆᨑ (pallukmara) dari ᨒᨘᨑᨙ (lure/mairo), ikan kecil-kecil yang jika ditumis akan memberi sensasi asin gurih yang sangat khas.
Saya pribadi lebih memilih cabai rawit segar yang aromatik ketimbang sambal terasi, tetapi tentu saja pilihan ini kembali ke selera masing-masing.
Alhamdulillah, makan siang kali ini kami anggap sangat cukup: sederhana, nyaman, dan tentu saja dengan harga yang sangat terjangkau.
Tidak perlu restoran mewah, tidak perlu sajian berlapis-lapis. Cukup duduk di rumah, sepiring nasi hangat, pallu ce’la, sedikit sayur, dan sambal atau buah asam sebagai penyeimbang—hidangan ini sudah menjelma menjadi perayaan rasa dan syukur.
Teringat kata-kata kakak ipar saya yang menyatakan, “Jangan sebarkan kombinasi makanan kampung ini, terutama kepada menteri penerangan. Jangan sampai beliau umumkan dan orang-orang kaya mengetahui kombinasi makanan ini. Akibatnya mereka akan borong, lalu kita tak kebagian lagi.”
Kalimat itu tentu disampaikan sambil bercanda, namun mengandung satu kebenaran: bahwa warisan kuliner kampung yang tampak remeh ini bisa menjadi rebutan jika masyarakat luas sadar betapa nikmat dan berharganya ia.
Justru karena sederhana dan bergizi, pallu ce’la bisa menjadi simbol kuliner lestari yang selaras dengan alam dan kearifan lokal.
Pallu ce’la adalah representasi dari apa yang disebut “makanan tangguh”: ia tak membutuhkan bahan-bahan mahal, mudah dibuat, dan bisa menjadi penghangat tubuh di musim hujan atau penghilang lelah di siang hari yang terik.
Ia mengajarkan kita bahwa rasa bukan hanya datang dari kompleksitas bumbu, tetapi juga dari ingatan, dari kebersamaan, dan dari kebanggaan terhadap akar budaya sendiri.
Saat ini, di tengah gempuran makanan cepat saji dan budaya makan instan, keberadaan makanan-makanan tradisional seperti pallu ce’la harus terus dipopulerkan dan dijaga.
Apalagi jika dilihat dari nilai gizinya, sajian ini relatif lengkap: ada protein dari ikan, zat besi dan vitamin dari daun kelor, antioksidan dari terong, dan elektrolit alami dari garam. Jika disandingkan dengan sambal dan buah asam, maka lengkaplah ia menjadi menu ideal orang kampung yang sehat.
Lebih jauh, pallu ce’la bukan hanya soal makanan. Ia adalah pengikat antara generasi.
Resepnya diwariskan dari ibu ke anak, dari nenek ke cucu, tidak tertulis, tetapi diingat dan dirasakan. Ia dimasak tanpa takaran pasti, hanya berdasarkan intuisi, rasa, dan pengalaman. Seperti banyak masakan kampung lainnya, pallu ce’la adalah wujud cinta yang sederhana.
Maka dari itu, memperkenalkan pallu ce’la kepada generasi muda bukan sekadar membangkitkan selera makan, tetapi juga menyambung ingatan dan identitas.
Mengajak anak-anak mencicipi pallu ce’la berarti memperkenalkan mereka pada rasa masa lalu yang tetap relevan hari ini—rasa yang lahir dari tanah, laut, dan tradisi orang-orang kita.
Editor Denun