Menyelami Hakikat Haji di Era Kini: Antara Ritual dan Ritus Kebanggaan Diri, ditulis oleh: Rizkan Fauzie, Mekan88 UH
PELAKITA.ID – Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia menunaikan ibadah haji—rukun Islam kelima yang menjadi puncak perjalanan spiritual seorang Muslim.
Meski demikian, di tengah arus perubahan zaman dan dominasi budaya digital, muncul pertanyaan reflektif: apakah haji hari ini masih dimaknai sebagai proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), ataukah telah bergeser menjadi ritus kebanggaan sosial?
Haji sejatinya adalah perjalanan menuju keikhlasan paling hakiki.
Pakaian ihram menyimbolkan kesetaraan: menanggalkan segala atribut duniawi—status sosial, ekonomi, dan latar belakang.
Ritual thawaf, sa’i, dan wukuf bukan sekadar gerak fisik, melainkan bentuk kontemplasi dan pembongkaran ego. Haji melatih kita untuk kembali menempatkan Tuhan sebagai pusat hidup, bukan diri kita sendiri.
Dalam praktiknya, kita tak bisa menutup mata terhadap gejala yang kian tampak: komodifikasi ibadah. Haji tak lagi hanya menjadi ibadah spiritual, tapi juga simbol pencapaian ekonomi dan sosial.
Gelar “H.” atau “Hj.” tak jarang disematkan bukan sebagai pengingat ketakwaan, melainkan sebagai penanda prestise.
Bahkan, ibadah ini kini sering dikemas dalam narasi citra—dari vlog haji, unggahan selfie thawaf, hingga branding spiritual yang menyasar followers.
Di sinilah kita berhadapan dengan dilema keikhlasan di era digital. Budaya media sosial telah membentuk lanskap baru, di mana hampir setiap momen cenderung diekspos, dikurasi, dan dipamerkan.
Ibadah yang seharusnya privat, penuh kerendahan dan kesunyian, kini justru menjadi konsumsi publik yang berpotensi menggiring pada riya.
Tentu tidak semua ekspresi spiritual di ruang digital dapat serta-merta dianggap keliru. Ada niat syiar, edukasi, bahkan motivasi yang tulus. Namun benang batas antara “berbagi kebaikan” dan “memamerkan kebaikan” begitu tipis.
Haji yang sejatinya merupakan proses penghilangan diri bisa berubah menjadi panggung pertunjukan identitas.
Sebagai insan kampus, kita memikul tanggung jawab moral dan intelektual untuk merefleksikan ulang makna ibadah, termasuk haji.
Di tengah euforia visual dan pencitraan, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai-nilai substansial haji: keikhlasan, kesederhanaan, kesetaraan, dan keberanian melepaskan keterikatan duniawi.
Haji bukan tentang siapa yang mampu membayar paling mahal, tetapi siapa yang mampu kembali dengan hati yang lebih jernih. Ia bukan soal seberapa banyak oleh-oleh yang dibawa pulang, melainkan seberapa dalam perubahan yang dialami.
Haji bukan sekadar dokumentasi perjalanan, melainkan dokumentasi kesadaran.
Semoga kita tak sekadar menunaikan haji, tetapi benar-benar memaknainya. Sebab yang dicari bukan semata gelar “Haji”, melainkan maqam sebagai hamba yang kembali—mabrur, bersih, dan rendah hati di hadapan-Nya.
___
Rizfa211 | 030626