IKA Perikanan UNHAS tegaskan kebijakan penangkapan ikan terukur KKP ancam keberlanjutan nelayan kecil dan sumberdaya pesisir laut

  • Whatsapp
Nelayan kecil di sekitar Pulau Kodingareng atau lokasi Wilayah Pengelolaan Perikanan 714, Kota Makassar, berpotensi terancam jika perikanan terukur diberlakukan. (dok:: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

“Adapun untuk zona skala industri akan diberikan persentase alokasi penangkapan yang lebih besar dengan metode lelang terbuka kepada empat sampai lima investor dengan masa kontrak 20 tahun antara KKP dan investor, baik lokal maupun asing.”

PELAKITA.ID – Ikatan Alumni (IKA) Perikanan Unhas menyoroti kebijakan penangkapan ikan terukur Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang rencananya dimulai dalam bulan Maret 2022 mendatang.

Saat ini, Rancangan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (Rapermen KP) tentang Perikanan Terukur tak lama ketok palu.

“Tidak tepat dan belum saatnya untuk konteks Indonesia hari ini,” cetus Taswin Munier, S.Pi, M.Sc anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni (IKA) Perikanan Unhas, kepada Pelakita.ID (21/2/2022).

Read More

Menurutnya, kebijakan ini boleh dikatakan terlalu prematur untuk diterapkan saat ini, mengingat   sistem pendataan pemerintah, dalam hal ini KKP dan Komnas Kajiskan (Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan) yang berbasis pada Wilayah Pengelolaan Perikanan belum akurat dan lengkap.

“Ini terkait jumlah dan jenis tangkapan, ukuran ikan, daerah penangkapan, alat tangkap, pelabuhan pendaratan, batas tangkap yang dibolehkan dan lain sebagaianya. Baik data yang berbasis waktu (time series) maupun tempat (spatial),” lanjutnya.

Dengan kata lain, lanjut Taswin, Indonesia belum punya satu kajian yang bisa mencatat dengan akurat dan lengkap tentang potensi sumber daya perikanan yang ada untuk bisa dijadikan dasar penetapan kuota penangkapan.

Pada pandangan Taswin dan koleganya di IKA Perikanan Unhas, aturan dan kebijakan pemerintah selama ini juga belum bisa dijalankan dengan maksimal.

“Baik karena kemampuan petugas seperti jumlah dan kapasitas yang masih belum mencukupi, anggaran operasional masih terbatas, dan tambahan lagi penegakan hukum masih lemah,” serunya.

“Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan perikanan terukur yang berbasis data dan berharap semua pelaku penangkapan patuh pada aturan, jadi ngeri-ngeri sedap mendengarnya,” katanya.

“Apalagi batasan ruang laut tidak sejelas dengan ekosistem hutan misalnya, yang dapat dikenali dengan kasat mata,” lanjutnya.

Menurut rilis resmi Kementerian Perikanan dan Kelautan tentang penangkapan ikan terukur, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengatur zonasi daerah penangkapan ikan yang diperuntukkan bagi industri perikanan, nelayan lokal, dan zona pemijahan, begitu pula dengan kuota penangkapan yang diizinkan pada masing-masing zona.

Adapun untuk zona skala industri akan diberikan persentase alokasi penangkapan yang lebih besar dengan metode lelang terbuka kepada empat sampai lima investor dengan masa kontrak 20 tahun antara KKP dan investor, baik lokal maupun asing.

Sepakat Taswin, Sekretaris Umum IKA Perikanan UNHAS, Dr Andi Amri, M.Sc menilai kebijakan kontrak jangka panjang ini berpotensi menempatkan pemerintah dalam jebakan eksploitasi tak berujung.

“Mirip dengan izin usaha pertambangan atau IUP, seperti kontrak karya penggunaan lahan sawit, dan lainnya. Padahal perencanaan pemerintah, baik terkait zonasi ruang laut maupun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan belum mengakomodir langkah-langkah antisipatif dan preventif untuk pengelolaan jangka panjang atau selama 20 tahun,” terang Amri.

“Ini sangat tidak berpihak bagi kelangsungan penghidupan 2,39 juta nelayan yang terus menurun sejak 2017 lalu, terutama nelayan kecil dan tradisional”, lanjutnya.

Terkait realitas tersebut, Taswin mewakili Dewan Pakar IKA Perikanan UNHAS menandaskan Rapermen tentang Perikanan Terukur ini perlu dikonsultasikan dengan elemen masyarakat yang lebih luas. Dia melihat realitas bahwa nelayan-nelayan di Indonesia bagian timur, masih sangat banyak yang beroperasi dalam skala kecil.

Pedagang ikan di Pasar Ikan Fandoi Kota Biak dan ikan hasil tangkapan nelayan tradisional. Perlu fasilitasi agar nelayan kecil dan tradisional diikutkan dalam penyusunan dokumen penangkapan ikan terukur (dok: iPelakita.ID)

“Ada yang mencapai 80 persen dari total nelayan yang ada di satu daerah. Tambahan lagi nelayan kecil-tradisional yang ada di provinsi dengan pengaruh adat yang kuat dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat mempunyai kekhususan,” ungkapnya.

“Perairan zona lindung dan pemanfaatan tidak hanya ditentukan oleh aturan pemerintah, tapi juga oleh aturan dan hukum adat yang sudah mengakar ratusan tahun di sana. Olehnya itu, pendekatan penangkapan dengan kuota dan zona sejatinya tidak boleh hanya dengan pertimbangan ekonomi semata dan diputuskan tanpa melibatkan mereka yang akan terdampak hingga puluhan tahun ke depan,” tambahnya.

“Pertimbangan-pertimbangan seperti itu yang tidak dilihat sebagai komponen penting dalam proses penyusuan Rapermen ini,” ujarnya.

Terkait realitas tersebut, Taswin mewakili Dewan Pakar IKA Perikanan UNHAS menandaskan Rapermen tentang Perikanan Terukur ini perlu dikonsultasikan dengan elemen masyarakat yang lebih luas, termasuk pemerintah daerah, pelaku industri perikanan hingga nelayan tradisional.

“Selain itu, semua pemangku kepentingan perlu melihat bersama kemungkinan narasi yang kontradiktif di Rapermen tersebut dengan aturan yang telah ada sebelumnya,” ucapnya.

“Tidak saja aturan perundangan yang langsung mengatur tentang perikanan dan kelautan, tapi juga secara umum tentang komitmen pemerintah terhadap tercapainya pembangunan berkelanjutan, seperti penurunan emisi, kompensasi imbal jasa lingkungan hidup, perizinan berusaha berbasis risiko, dan lainnya,” paparnya.

“Poin kami, kebijakan seperti Perikanan Terukur ini harus berpihak pada keberlangsungan tersedianya sumberdaya perikanan bagi anak-cucu kita kelak,” pungkasnya.

 

 

Editor: K. Azis

Related posts