Catatan diskusi LIN Maluku ISKINDO, menjaring asa dari konsep lama semangat baru

  • Whatsapp
Membincang LIN Maluku (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Laut kita adalah ladang ‘tongkat harapan’ yang selalu siap untuk diolah. Setelah itu, ikan udang datang menghampiri.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa potensi perikanan RI tetap besar, ini bisa dilihat dari kapal-kapal asal Pantura yang selalu sarat saat balik dari Arafura atau Aru dalam lima tahun terakhir.

Read More

Lalu di mana masalahnya? Kenapa ekonomi kita tak bisa tegak oleh hasil topangan dari ‘tongkat harapan’ itu? Ada apa dengan hulu hilir perikanan kita.

Mengapa sentra-sentra kelautan dan perikanan imajinatif itu belum bisa akrab dan tegak bersama kebijakan Pemerintah? Mengapa yang mengemuka adalah cerita gagal belaka?

Sekitar sepuluh tahun lalu, mencuat ide Program Lumbung Ikan Nasional dengan basis di wilayah Maluku. Adalah Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang antusias mengusung program berbasis maritim ini. Harapan untuk menjadikan Maluku dan sekitarnya sebagai lumbung ikan nasional tak terealisasi.

Dalam prosesnya ide besar ini meredup atau samar dalam sayup terombang fakta mengenaskan praktik Illegal Unreported and Unregulated Fisheries (IUUF) yang akut di kawasan Maluku dan Papua. Kasus Benjina adalah salah satunya.

Waktu berlalu, rezim berganti, muncul konsep Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu atau SKPT di masa Menteri Susi Pudjiastuti.  Secara sederhana konsep SKPT adalah pengembangan pusat bisnis perikanan yang melayani rute ekspor melalui perbatasan. Seperti model sirip, kepala dan ekor ikan yang mengitari Nusantara dan menjadi titik tumpu SKPT.

Maka muncullah SKPT Natuna, Sebatik, Saumlaki hingga Merauke. Sekurangnya ada 15 titik yang telah dimaklumatkan sebagai lokasi SKPT.

Dalam perkembangannya SKPT diterpa banyak kendala. Isu tanah, keterbatasan pasokan air, BBM, menjadi biang tak bergeraknya SKPT di beberapa lokasi seperti Saumlaki dan Biak. Harapan untuk menggiatkan ekspor tak berjalan sesuai harapan, kalau pun ada masih dalam skala kecil seperti di SKPT Sebatik ke Tawau.

Pengalaman SKPT dan hasrat menghidupkan LIN baru itu menjadi basis alasan bagi Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) untuk menggelar diskusi berjudul Membedah Proyek Lumbung Ikan Nasional, Minggu, 25/4/2021.

Ada beberapa narasumber yang siap berbagi update, kabar atau ‘pisau bedah’ terkait konsep lama namun hendak diperbaharui seperti LIN ini.

Mereka, M. Ikram Sangadji, M.Si, Asisten Deputi Perikanan Tangkap Kemenko Maritim dan Investasi (Kemenkomar), Surahman Haedar dari HNSI Maluku Utara Abdul Haris, M.Si, kepala dinas Kelautan dan Perikanan Maluku, Subhan Usman, peneliti DFW dan sebagai moderator adalah Dr Ady Chandra, ahli madya produksi perikanan tangkap, Dirjen Perikanan Tangkap KKP.

Tentang LIN

LIN adalah manifestasi pelabuhan terpadu, sentra industri perikanan di wilayah Maluku. Dalam bulan Maret 2021, Gubernur Maluku, Murad Ismail telah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk membahas gagasan besar senilai 5 triliun ini. Murad ingin mendapat persetujuan langsung dari Jokowi.

Ikram Sangaji menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa LIN ini didorong adalah agar NKRI tidak menjadi penonton di negara sendiri. Opsinya adalah dengan membangun infrastruktur.

“Program Maluku LIN bukan hanya hanya mengurusi kelautan dan perikanan, kita juga tangani pada ruang yang lebh luas, kita berkoordinasi Kementerian ESDM, PUPR, mereka ikut memikirkan bahwa Maluku LIN menjadi trigger Pemerintah untuk menjadikannya secara nasional, kita sebagai negara pemain utama perikanan dunia,” katanya.

“Seperti di WPP 716, 717, selama ini, tidak ada perikanan nasional di sana, akibat moratorium yang pernah dilakukan. Setelah pencabutan moratorm, tuna kita kalau tidak ditangkap oleh kita, oleh Vietnam, oleh Fiilipina,” tegasnya.

Dia juga menyebut bahwa dengan LIN maka nelayan-nelayan kecil akan dihimpun menjadi bagian dari korporasi.

“Tujuannya untuk bargaining dan agar harga ikan tidak rendah. Bahkan nelayan tidak akan susah lagi mencari es, kita juga tidak saja masuk dengan secara fisik tetapi pada peningkatan kapasitas,” terangnya.

Dia juga menyebut soal pekerja kapal atau AKP atau ABK migran, hal yang disebutnya perlu perhatian. “Tetapi kita harus pikirkan kalau mereka tidak bekerja, kalau dihentikan, mereka kerja di mana,” tanyanya.

Apa yang dilakukan Pemerintah melalui LIN menurut Ikram mencakup pemanfaatan beberapa wilayah WPP. “Ini satu sistem, untuk mengembangkan investasi, tidak harus asing, kita mencoba menghitung, ada analisis terhadap sistem investasi perikanan dan kelautan,” imbuhnya.

“Kita ingin menggabungkan perikanan skala kecil, menengah dan artisanal, dan sebagai subsistem dan akan disuplai melalui pasar domestik dan tidak akan mengganggu pasar lokal. Setiap unit penangkapan yang diutamakan bukan jumlah dan jenis tetapi kualitas serta nilai,” tambahnya.

Oleh sebab itu, apa yang dilakukan pihaknya (Kemenkomar) adalah mendorong pelibatan Kementerian lain seperti PUPR hingga ESDM.

“Bagaimana juga dengan Kementerian Perhubungan dan Pelindo? Kemenlu, dan KKP untuk perlindungan nelayan kecil dan perbaikan mutu terhadap ekosistem dan lingkungan hidup,” tanyanya.

Itu harapan, bagaimana mengawal dan seberapa siap daerah? Pemangku kepentingan dan unsur-unsur berkelindan di tengah pusaran kepentingan antara pusat, daerah dan wilayah setempat? Bagaimana menyiapkan LIN? Seberapa responsif daerah?

Maluku siap

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku, Abdul Haris menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan beberapa kegiatan demi mendukung upaya pemerintah dalam upaya mempercepat program lumbung ikan nasional di wilayah Maluku seperti penyesuaian tata ruang, studi kelayakan, serta penyiapan lahan.

Menurut Kadis Haris, yang dibutuhkan adalah pelabuhan, sarana jalan, cold storage, dan operasionalisasi galangan termasuk mengantisipasi pembangunan Ambon New Port.

Sesuai data yang dipaparkan Haris, potensi perikanan Provinsi Maluku mencapai 1,62 juta ton per tahun. Ada beberapa perairan strategis dan kaya seperti Laut Banda, Laut Arafura, dan Laut Seram.  Kelak, kalau LIN jalan maka diperkirakan sekitar 2.000 kapal akan beroperasi di perairan Maluku melalui skema LIN ini.

“PPN Ambon dan Tual, Maluku wajar bisa diandalkan jadi lumbung ikan nasional. Di dalam rencana pengembangan yang harus dibuat adalah master plan, management plan dan action. Dalam rancangan itu diamanatkan dan dibuat oleh Pemerintah Pusat, oleh KKP. Tentunya kita memberikan dukungan support data ke KKP,” sebut Haris.

Menurutnya, Pemda telah mengambil langkah strategis dengan membuat grand design. “Sebagai masukan untuk mem-breakdown menjadi master plan dan Pemda mem-brekdown menjadi manajemen plan dan action plan,” jelasnya.

“Sebagai wujud ketahanan pangan, pusat pertumbuhan ekonomi nasional dan diharapkan ada peningkatan kesejahteraan untuk masyarakat dan peningkatan produksi, daerah, regional dan nasional,” harapnya.

Dia juga menyinggung potensi WPP, peruntukan sebagai spawning ground dan nursery ground tetap ada potensi perikanannya.

Terkait LIN, Haris menyebut tak semata perikanan tangkap. Pihaknya juga mendorong pengembangan budidaya perikanan.

“Perikanan budidaya kita punya luas lahan budidaya 183 ribu hekar. Yang termanfaatkan baru 7 500 hektar, atau 4 persen saja. Saya kira, ke depan itu tidak semata dari perikanan tangkap tetapi budidaya juga. Standng stock masih tetap tersedia dan juga lestari,” katanya.

Haris menandaskan bahwa saat bicara LIN tidak ada lagi kesan sektoral tetapi telah bergeser ke semua hilir, ke semua bagian.

“Semua dapat mengambl peran penting dalam lumbung ikan nasional tersebut kemudian perikanan budisaya dan pengawasan sumber daya ikan. Semua ini merupakan konsep terpadu. Intinya akan ada Pusat Pengembangan Lumbung Ikan nasional atau pusat industrialiasi nasional dan akan dibangun di Ambon,” paparnya.

Hal lain yang disinggung adalah meski berpusat di Kota Ambon namun tidak akan mengecilkan peran kabupaten di sekitrarnya.

“Tidak akan mengecilkan peran kabupaten kota di sekitar Maluku. LIN di Ambon, dapat didukung sarana prasarana, bandara internasional, energi listrik dan sumber daya minyak, air. Memang posisi Pulau Ambon sebagai ibukota dan pusat pemerintahan,” terangnya.

Menurut ada dua kawasan atas desa yang akan menjadi lokasi yaitu Desa Way dan Liang.

“Kita selama ini menyebut pendekatan sub dan hub, seakan posisi kabupaten kota berada pada posisi obyek, ini keliru, terkesan negatif dan semua kabupaten kota akan jadi sapi perah, digiring ke Ambon, padahal tidak, posisi kabupaten kita sangat strategis,” jelasnya.

“Kabupaten Kota jadi subyek dan aktif dalam peran, semua kabupaten akan mendapat perhatian yang sama, dan perikanan budidaya, bidang daya saing, semua, dibangun sarpras yang memadai, semua akan mendapat porsi yang sama,” janjinya.

Menurut Haris, LIN Maluku akan meliputi pembangunan Pusat Perikanan Terpadu yang menggabungkan pengembangan SDM, konsep pengelolaan dan melayani kebutuhan industri perikanan secara keseluruhan, dibangun di Pulau Ambon, Maluku Tengah, di Desa Way dan Liang.

“Ada lahan seluas 700 hektar sebagai pusat industrialisasi LIN, akan dibangun pelabauhan perikanan, termasuk docking, kantor, lahan parkir, kontainer dan lain-lain. Infrastruktur industrialisasi pabrik es, cold storage , pabrik pakan, pengalengan ikan dan sebagai ruang terbuka hijau,” papar Kadis Abdul Haris.

Haris menyebut, di samping pelabuhan LIN ini akan dibangun pula pelabuhan kargo sebagai model integrasi perlabuhan perikanan dan kargo yang namanya Ambon New Port. “Dapat dilihat di kawasan sebelah kirim yang 700 hektar seluas 200 hektare untuk pelabuhan kargo ini,” katanya.

Disebutkan pula bahwa saat ini ada 13 pelabuhan perikanan di Maluku sementara untuk Pemerintah Provinsi tetap mendorong pengembangan produksi dari sisi perikanan budidaya melalui shrimp estate, rumput laut, seperti di Kepulauan Tanimbar dan Aru.

“Untuk saat ini telah ada grand design, dalam tahun 2020, feasiblity study untuk 70 hektare. Telah ada konsultasi publik dan telah dibuat surat untuk dikirim ke pusat tentang grand design Feasibility Studies bagi acuan untuk proses selanjutnya, saat ini pemerintah Maluku telah menyiapkan proses pembebasan lahan.

“Kemudian sosialisasi masyarakat di sekitar lokasi yang terdampak dalam rencana pembangunan LIN. Telah dibangun komunkasi dengan pihak Agraria dan Tata Ruang dan instansi terkait. Apabila Pemerintah Pusat telah membenaskan lahan maka diberikan dukungan penuh,” pungkas Haris.

Okelah, semoga pembebasan lahan segera terealisasi. Semoga tak mesti berbilang tahun untuk kelar biar LIN bisa melaju. 

Sementara itu, Surahman, M.Si Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Maluku Utara menyampaikan harapannya agar pada proses diskusi berikutnya juga melibatkan Provinsi Maluku Utara.

“Kedua provinsi yang dulunya kaka beradik ini berpisah tetapi kalau dilihat secara infrastruktur dan potensi, keduanya beda-beda tipis, tidak terllau jauh, potensi,” katanya.

Suharman mengingatkan tentang perlunya kehati-hatian dalam membangun LIN. “Dari sisi sustainability penting,” katanya.  Dia menyebut itu sebab di lokasi WPP sudah ada peringatan tentang potensi perikanan dan potensi tersedia.

“Ada lingkaran hijau, kuning dan beberapa produk perikanan yang sudah perlu kehati-hatian, restocking dan keberlanjutan sumber daya jangan sampai sekadar mengejar devisa tetapi sustainability dihiraukan,” ucapnya.

Hal lain yang disampaikan adalah roadmap Kementerian terkait LIN tatap perlu dilihat pula korelasinya dengan sudah adanya Renstra RZWP3K.

“Ini belum ter-include di dalamnya bagaimana LIN nasional ini, kita khawatir sebab di Malut itu ada empat program yang tidak lain, pertanian, pariwisata, perikanan dan tambang. Inilahyang kemudian beberapa bulan lalu ada konflik dinamika menbuang tailing akan mempengaruhi pendapatan nelayan di pesisir di sana,” sebutnya.

Dia juga menyebut konsumsi ikan lokal yang masih rendah dan harusnya tidak menjadi lebih buruk saat ada LIN. Demikian pula PPI atau pelabuhan perikanan yang belum efektif. Ada beberapa yang tidak aktif seperti di Manitintin, Sayoang dan Waimin.

Hal lain yang disampaikan adalah fakta terbatasnya sarana prasarana. “Memang lebih condong ke rantai dingin, ABF, distribusi BBM, untu perikanan tangkap dan lain sebagainya. distribusi rantai pasar hasil produksi dan aktviitas yang masih teratas, SDM masyarakat terbatas,” ucapnya.

Menurut Surahman, di Maluku Utara, pabrik es kapasitas 15 ton/perhati sementara kapasitas aktual 25,31 ton per hari atau 156 persen, perlu penambahan.

“ABF 12 ton per hari kapasitas aktual 14,6 ton per hari, perlu penambahan. Cold storage 250 ton,  tingkat pemanfaatan 87 persen belum optimal.  SPDN BBM 60 ton per bulan, aktual 194,6 ton bulan 323 persen,” bebernya.

“Sampai sahur kalau ini dibahas tidak akan selesai,” katanya.

Untuk itu, Suharman menawarkan strategi perlunya akses permodalan, perbaikan mutu pelayaan atau perizinan, perbaikan adminsitarasi, pembangunan saran prasarana.

“Yang penting juga adalah kontribusi untuk devisa negara. Apapun kita bicarakan LIN ini harus berkontribusi ke PDRB, nah ini kontribusi untuk PDRB agak repot. Dengan LIN, devisa apa yang bisa diberikan oleh Maluku Utara?” tanyanya.

Narasumber berikutnya adalah Subhan Usman dari DFW. Dia menawarkan adanya LIN yang inklusif.

Berdasarkan pengalaman DFW di Maluku, ada fakta bahwa potensi perikanan Maluku sangat besar. Ada beberapa produk perikanan yang harusnya dihargai mahal tetapi berujung murah seperti tuna di Kisar hingga pesisir Aru.

“Ikan-ikan tuna kadang membusuk begitu saja. Seiris harganya 15 ribu, bandingkan di Jakarta yang bisa lebih mahal padahal ini ditangkap dari jarak 7 mil perahu ukuran 5 GT. ini di pulau Kisar, ke Pulau Luang, 100 mil dari Kisar, di Pulau Moa, ada sentra rumput laut, kualitas bagus sekali,” ucapnya.  

Meski demikian, menurut Subhan, harga rumput laut sangat fluktuatif, metode budidaya belum standar, banyak yang salah kaprah mereka bahkan menamam rumput laut lebih 40 hari. Dia juga menggambarkan produksi garam di Maluku yang masing menggunakan cangkang kima karena keterbatasan di sana.

“Di Tanimbar, rumput laut juga bagus. Di Lermatang, kadar karagenan cukup bagus dan murah, satu masalahnya adalah posisi tawar pembudidaya sangat lemah, mereka semata ikut harga fluktuatif,” kata Subhan.

Potensi lain yang juga sangat besar adalah kakap merah, telur ikan terbang, bahkan sirip hiu meski ini telah dilarang pemerintah. “Pendapatan dari penarikan retribusi pada 2019, dimana ada penarikan 3 persen itu mencapai 27 miliar. Itu yang bisa dkumpulkan datanya,” sebutnya.

Subhan menyebut bahwa komposisi armada kapal di Aru adalah 90 persen kapal kecil.

Terkait LIN, menurutnya, sebagai sistem yang berusaha mereduksi dan menyederhanakan proses produksi penangkapan, pengolahan dan pemasaran, maka perhatian DFW adalah bagaimana strategi yang memungkinkan nelayan terutama nelayan skala kecil ikut dalam situasi ini.

Ada beberapa poin yang dikemukannya yang perlu mendapat perhatian.

“Bisa dipastikan bahwa LIN ini investasi tinggi, sampai 30 triliun ada power plant, pasokan BBM, listrik. Bagaimana dengan hak pekerja perikanan? Bagaimana dengan pelenggarann pekerja di tiga lokasi WPP. Ada masuk laporan dari awak kapal perikanan dari Jakarta bahwa mereka diltelantarkan. Ini juga perlu mendapat perhatian,” katanya.

“Posisi LIN terharap sistem jaringan yang sudah ada, apakah ini meng-inkorporasi atau sebagai entitas sendiri?” tanyanya.

Subhan mempertanyakan apakah jika LIN membangun pelabuhan, bagaimana bisa nelayan kecil bisa masuk ke depan.

“Bagaimana cara menarik nelayan kecil untuk berlabuh di PPP, atau seperti di Maluku Barat Daya,bagaimana dengan nelayan rumput laut yang lebih senang menjual produknya ke pedagang kapal kayu?” imbuhnya.

Sementara itu Amrullah Usemahu dari ISPIKANI Maluku menyebut bahwa dengan kondisi Maluku Tengah yang minm infrastruktur maka perlu upaya yang lebih serius dan jelas.  Tentang kesiapan armada dan bagaimana penyesuaian dengan perencanaan yang sudah ada.

Penambahan kapal merupakan hal nisacaya untuk tidak memberi kesempatan terjadinya praktik IUUF di Maluku dan sekitarnya.

Di ujung diskusi, Dr Ady Candra selalu moderator menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, perlunya integrasi antara pusat dan daerah. Dalam tahun 2020 telah disiapkan master plan untuk Ambon New Port. Hubungannya dengan LIN harus diperjelas.  Yang kedua, pemberdayaan nelayan kecil ini perlu diperhatikan jangan sampai justeru menyingkirkan nelayan kecil, ini seharusnya tidak terjadi. Ketiga adalah perlunya memperbaiki sistem rantai logistik nasional. Keempat, tidak ada pelabuhan perikanan yang saling mematikan tetapi dintegrasikan, anhara hub, di Ambon, di Tual. Kelima, perlu membayangkan bagaimana Indonesia sebagai sentra perikanan dunai.

“Thailand, mendeklarasi diri sebagai Dapur Dunia, Korsel sebagai gudangnya dunia, di Busan cold storage-nya sampai 11 tingkat. Nah, melalui LIN Maluku sebagai pusat perikanan dunia semoga semua bisa terwujud,”tutup Ady.

Mungkinkah itu terwujud? Mungkinkah konsep lama percikan ide dari SBY dan diperbaharui di rezim Jokowi ini dapat menghantar Maluku dan sekitarnya sebagai lumbung ikan nasional dan dunia?

Adakah semangat baru LIN ini bisa diejawantahkan di tengah paceklik keuangan negara, di tengah pandemi dan ekonomi dunia yang tak menentu saat ini?

 

Penulis: K. Azis

 

 

Related posts