Cerita dari lokasi bencana dan pilihan Herdin

  • Whatsapp
Herdin Ismial, kedua dari kanan (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.IDSosodara, sesungguhnya saya bukan tipe pria pemberani, apalagi jika berada di lokasi bencana.

Meski demikian tanpa terasa, ternyata saya telah beberapa kali ‘memberanikan’ diri untuk masuk ke lokasi bencana sejak tahun 2006.

Read More

Bulan Februari 2006 saya memutuskan untuk ke Aceh dan Nias sebagai bagian dari program pemulihan perikanan pasca bencana pada satu program dukungan ADB.

Lama juga, selama tiga tahun dan telah merasakan bagaimana diayun gempa di Banca Aceh dan Pulau Nias.

Tapi begitulah saya masih tetap merasa bukan tipe pemberani.

Tiga tahun lalu, saat gempa dan tsunami Palu, saya terpanggil untuk datang ke sana. Naik mobil membawa bantuan untuk warga Palu plus kolega selama bekerja di JICA CD project.

Butuh waktu kurang lebih 24 jam untuk sampai di Kota Palu. Kami datang ke sana pada hari kedelapan pasca bencana.

Kami datang di tengah desas-desus penjarahan dan ketidakpastian keamanan.

Yang saya ingin cerita, betapa menyenangkannya bersua kawan dan ikut memberinya dorongan semangat untuk bertahan di tengah bencana.

Barang-barang yang kami bawa seperti tak menjadi perhatian selain mengobrol atau memilih bercengkerama dengan kolega di Palu dan Donggala.

Di tengah bencana, kami masih bisa mencandai kehidupan.

“Bisa jadi betul cerita dongeng bahwa dalam bumi ada kerbau raksasa yang sedang bergerak hingga gempa.”

Seperti itu seloroh kami saat di Kota Palu manakala merasakan betapa anehnya gempa Palu ini.

Jika gempa, terasa ada bunyi gemuruh dalam tanah. Saya rasakan ini pada malam kami tiba.

Yang aneh dan terasa ‘berani’, kami tetap memilih tidur dalam rumah meski pintu tetap dibuka. Itu cerita dari Palu.

Hari berganti, waktu berlalu, saya dan mungkin seperti anda, kita semua, semakin akrab dengan bencana, semakin terbiasa. Di manapun kita berada, bencana tetap mengintai.

Lalu, kenapa tetap mau ke lokasi bencana? Bisa jadi karena masih banyak sahabat lain yang sedia diajak bareng. Berani karena banyak.

Mamuju, 21 Januari 2021.

Setelah melewati perjalanan 12 jam, kami tiba di Kota Mamuju yang belum lama ini didera gempa 6,2 skala Richter.

Kedatangan kami ke Mamuju ini setelah pengurus IKA Smansa angkatan 89 Makassar memutuskan untuk menggalang dana bagi korban gempa.

Kami membawa sembako dan kebutuhan medis, plus kebutuhan anak-anak dan perempuan.

Di Mamuju dan Majene, sesuai data tersedia, tercatat ada 7 orang alumni Smansa 89 yang bermukim di sana. Semuanya sudah mengungsi ke kabupaten lain kecuali Herdin Ismail dan As’ad.

Jika Herdin tinggal di Kota Mamuju, maka As’ad di Majene.

Saya menulis artikel ini untuk mengenang kebaikan mereka, menceritakan betapa mengesankannya punya kawan yang solider dan punya spirit mencintai tempat tinggal, tentang penghargaan bagi ‘bumi di mana dipijak’.

Herdin adalah Kepala Kesbangpol Sulbar,  pejabat terpandang sebab pernah menjadi Kadis Pariwisata, serta Dinas Pemuda dan Olahraga.

Dia seangkatan dengan saya di Kelas Biologi Smansa 89 Makassar sementara As’ad di kelas Sosial. Tetangga kelas saya.

Bersama anggota tim, saya, Syam, Arie dan Ikky merapat di depan Masjid Raodlatut Tholibin, arah Simpang Tiga Kali Mamuju sesuai info Herdin.

“Kabari kalau sudah di Mamuju,” begitu pesan Herdin, pria yang belum pernah saya temui sejak tamat SMA tahun 1989 atau kurang lebih 30 tahun.

Dia pun tak begitu kenal saya kecuali membaca postingan di Whatsapp grup. Tetapi dengan bencana ini saya jadi terhubung.

Selain karena aktif di kepengurusan IKA Smansa 89 juga karena memang latar belakang pekerjaan yang gandrung kegiatan sosial.

H. Herdin Ismail, alumi Smansa 89 Makassar di psoko bantuan IKA Smansa di Mamuju (dok: istimewa)

Sekitar pukul 7 malam. Saya tiba di depan masjid itu. Saya bergerak ke tenda, posko Herdin. Dia memang bilang kalau sementara bertahan di Mamuju. Tetap bersama warga Mamuju.

Saya merapat ke tenda itu dan mendapat seseorang tidur dengan kepala dekat tepi tenda, kakinya di pintu tenda.

Saya tidak yakin, inikah Herdin itu? Lantaran tak mau keliru orang, saya pun menelpon.

“Halo, di manaki,” kataku via telepon.

Suara serak, suara yang tidak saya kenal, masuk di telinga. “Ini bukan suara Herdin,” batinku.

“Saya Herdin,” balasnya. Belakangan saya tahu kalau dia telah operasi tenggorokan dan berdampak ke suaranya.

Dengan ramah dan mata berbinar dia membuka tenda dan menyilakan kami masuk. “Terima kasih banyak sa’ri sudah datang ke Mamuju,” sambutnya.

Awalnya, saya mengira Herdin adalah asli Mamuju atau anak Mandar yang kembali ke kampung halaman setelah pendidikan STPDN.

“Tidak sa’ri, saya aslinya Takalar, keluarga, dulunya tinggal di Pongtiku, saya sudah hampir 30 tahun di sini, kami nyaman di sini, tetap di sini,” katanya terkait keluarganya dan bagaimana ia melanjutkan hidup setelah gempa yang memporandakan Kota Mamuju ini.

Meski rumahnya ‘hanya’ retak karena gempa namun dia masih tetap memilih tidur di tenda. Istri dan anak-anaknya pun demikian. Dia memilih mengungsi di tenda bersama ribuan warga Mamuju.

“Jadi, apa rencana ke depan,” tanyaku.

“Tetap di sini, di tenda sampai suasana betul-betul aman,” balas Herdin.

Bukan hanya tanggapannya yang mengesankan itu, saya mencatat selama di Mamuju bahwa kontribusi Herdin pada misi kami sungguh luar biasa.

Saat satu truk bantuan IKA Smansa Makassar tiba di Kota Mamuju, dialah yang mengkoordinasikan pembongkaran muatan, pengemasan dan pendistribusian.

Tanpa bantuan Herdin, sangat sulit untuk kami atur pembongkaran dan pendistribusian.

Setidaknya ada tiga desa yang telah diberi bantuan melalui koordinasi dan penanganannya.

Sementara As’ad, kolega kami yang lain di Majene, dia membantu mendistribusikan bantuan kami untuk pengungsi dari Malunda dan Tapalang.

Semoga Sulbar kembali pulih, geliat kehidupan semakin stabil, kita semua, termasuk Herdin dan As’ad, atau warga Sulbar secara umum tetap semangat dan optimis menyongsong hari esok.

 

Tamarunang, 29 Januari 2021

 

K. Azis

Related posts