Catatan penting dari misi SOSBOFI Peduli Sulbar

  • Whatsapp
Tim SOSBOFI saat berada di bangunan Kalla Toyota Mamuju yang terdamapk gempa (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Di mana kita menginap? Jangan di tepi laut. Mari kita ke Puncak, atau kita di teras sekolah atau masjid saja.  Jangan di sini, banyak sekali bangunan dan rapat, apalagi masih dekat laut. Di mana bisa dapat kopi, teh atau mandi?

Seperti itu, saya, Syam, Arie dan Ikky bersahut-sahutan setelah meninggalkan ‘temporary shelter’ yang dihuni Erlan dan Eva di depan kantor Kependudukan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Barat di Mamuju.

Read More

Kedua nama yang disebut itu adalah sepasang suami istri yang mengaku belum berani tinggal di rumah mereka.

“Dinding rumah sebagian retak. Kami di sini saja dulu. Yaaa, sampai suasana dianggap aman,” kata Erlan saat itu sembari mengangkat bahu, tangannya direntang. Dia mengaku kalau anak-anaknya sudah dibawa ke Palu.

Waktu menunjuk pukul 12 malam saat kami – tim SOSBOFI Peduli Sulbar memutuskan untuk tidur di teras satu Taman Kanak-Kanak yang terhubung dengan masjid.

Kami ambil karpet dan membentangnya. Yang pertama tidur Arie, lalu saya. Entah pukul berapa Syam dan Ucca – warga Mamuju yang menuntun kami ke TK ini, tidur.

“Saya baru bisa tidur jelang subuh,” ucap Ikky pagi harinya. Ikkylah yang mengemudikan mobil dan mengantar kami pulang keesokan harinya.

Pembaca sekalian. Begitulah penggalan cerita kami saat tiba di lokasi bencana. Semua terasa tak pasti dan terkesan tidak terencana.

Padahal, sebelum berangkat, saya, sebagai koordinator misi Smansa 89 Makassar ke Mamuju sudah berencana untuk menginap di rumah Ucca atau salah satu rumah alumni Kelautan Unhas di selatan kota.

Rencana yang sudah disiapkan buyar saat tiba di lokasi bencana. Untung saja masih ada tempat nyaman dan ‘religius’ seperti masjid tempat kami mengaso dan lelap setelah mengontak kawan setempat (Ucca).

Di masjid itu, stok air tidak banyak. Keran air sesekali mengalir namun lain waktu tak ada air. Toilet pria tak tersedia air. Untung air di toilet perempuan masih ada air. Saya aman kali ini.

Malam berlalu, pagi tiba.

“Kalau mau mandi di rumah saja. Ada air tapi kalau mandi tidak perlu tutup pintu,” pesan Ucca saat kami meninggalkan TK itu.

Kami mengontak kawan. Mengontak Kolonel Abd Haris, teman SMA, mengontak ustas Kurniawan Jaya yang sedang bertugas untuk Yayasan Kalla, lalu mengontak jejaring Kelautan Unhas di Mamuju lainnya serta saudara sealumni Herdin Ismail, alumni Smansa Makassar angkatan 89 yang sudah hampir 30 tahun mengabdi sebagai ASN di Sulbar.

“Muatan di truk sudah dibongkar semalam. Sudah ada anggota yang aksi cepat, barang disortir dan siap didistribusikan ke tiga desa,” kata Herdin pada pagi pukul 9 pagi tanggal 22 Januari 2021.

Padahal, dia juga sedang nelangsa karena harus tinggal di posko. Dengan suara parau, dia tetap menyambut dan mengikuti permintaan kami.

Dia belum berani untuk tinggal di dalam rumahnya, tidak jauh dari tendanya di depan Masjid Raodlatut Tholibin.

Kami lega. Bahan bantuan yang kami drop pada truk yang disiapkan Pengurus Pusat IKA Smansa Makassar dua hari sebelumnya telah diatur dengan baik dan sedang didistribusikan di dua desa di Mamuju dan satu di Majene.

“Terima kasih kanda Herdin atas koordinasi dan kesiapannya membantu pengorganisasian bantuan IKA Smansa,” kata Sekjen IKA Smansa Makassar, Muhammad Yusri via Whatsapp, 22/1/2021.

Berdasarkan pengalaman membawa bantuan ke lokasi bencana ke Sulbar tersebut maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, pastikan agar tim yang berangkat untuk punya plan B selain plan A. Kalau perlu plan C sebab suasana sulit diprediksi. Yang patut dicatat bahwa jika ada misi ke lokasi bencana maka mindset harus dalam situasi siap pada situasi ketidakpasitian.

Kadang, kita berencana untuk menelpon teman sebelum berangkat atau saat berangkat tetap bisa saja mereka tidak online atau sedang sibuk dengan urusan lain. Secara bencana gitu lho. Pastikan untuk punya team leader yang bisa diikuti keputusannya.

Kedua, di lokasi bencana , persediaan air bersih sangat terbatas. Karenanya perlu dipertimbangkan untuk membawa air dan menyimpannya di mobil atau kendaraan secukup mungkin.

Ini perlu untuk berjaga-jaga, untuk basuh badan, sikat gigi atau untuk keperluan buang hajat. Bawa satu atau dua jerigen isi air sangat dianjurkan. Kemungkinan lainnya adalah menyiapkan tisu pembersih jika harus buang hajat di hulu sungai atau tempat tertentu.

Ketiga, perlunya data atau informasi awal tentang jumlah penerima bantuan dan memastikan bahwa pendistribusian bisa berlangsung dengan aman. Sudah banyak pengalaman bantuan salah sasaran karena tidak adanya data atau informasi awal yang memadai.

Koordinasi, komunikasi dan penentuan focal point atau kontak penanggungjawab penerima sangat diperlukan.

Untuk case Sulbar, penentuan lokasi tiba mobil barang perlu disepakati jauh sebelumnya. Ini untuk memudahkan pendistribusian dan menghindari kerumunan yang tidak perlu atau tidak sesuai dengan target bantuan.

“Kan lucu, kalau pampers balita jatuh ke tangan orang dewasa yang tidak punya balita bukan?”

Keempat, berkoordinasi dengan otoritas setempat seperti Dinas Sosial, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan kabupaten/kota serta pelaporan jika kegiatan sudah berjalan.

Kelima, memastikan kesiapan tim untuk kembali ke lokasi asal. Di lokasi bencana, dengan kondisi atau kecenderungan akan kurang tidur dan keterbatasan bahan pangan membuat fisik kita sangat rentan sakit.

Pastikan untuk membawa obat-obatan dan vitamin serta penambah energi. Jangan main-main dengan ini.

Jangan dipaksakan untuk pulang melalui jalan jauh dan melelahkan jika tidak betul-betul siap. Pastikan ada co-driver jika dirasa perjalanan sangat jauh.

Begitulah, bisa jadi masih banyak yang perlu dibenahi jika hendak ke lokasi bencana. Semoga cerita di atas bisa menginspirasi, atau kalau memang ada rencana ke Sulbar pastikan kelima poin di atas dipertimbangkan dengan seksama.

 

Tamarunang, 29/1/2021

Related posts