Wawancara ekslusif: Seberapa serius BDS membidik kursi Gubernur Sulbar di 2022?

  • Whatsapp
Busman Dahlan Shirat (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Busman Dahlan Shirat (BDS) adalah figur muda yang digadang berpeluang sebagai alternatif pemimpin Sulawesi Barat di 2022.

Pengalamannya sebagai aktivis, praktisi pemberdayaan sekaligus perencana pembangunan daerah – pernah menjadi mitra diskusi tokoh Sulbar Anwar Adnan Saleh, Gubernur Sulbar dua periode  – merupakan alasan mengapa dia pantas untuk itu.

Read More

Kompetensi akademiknya pun tak diragukan. Dia adalah jebolan jurusan Sosiologi Unhas, peraih gelar S2 di Universitas Indonesia serta Doktor Sosiologi dari Universitas Negeri Makassar.

Belakangan ini karirnya kian kinclong karena menjadi salah satu pemuncak di perusahaan tambang ternama di Sulsel. Posisi yang meneguhkan eksistensinya sebagai sosok komplit multitalenta.

Nah, bagi yang berteman dengannya di social media Facebook, pasti sering melihat wall-nya dihiasi ‘baligo mungil’ atau infografis ‘BDS’ sebagai calon Gubernur Sulbar.

Seriuskah itu? Sungguhkah dia tidak main-main mengkampanyekan diri sebagai calon Gubernur Sulawesi Barat, satu provinsi dari enam provinsi di Sulawesi ini?

Kepada Pelakita.ID dia membeberkan motif, tujuan dan langkah-langkah yang bisa ditempuhnya untuk mendorong perubahan di Sulbar.

Simak yuk hasil wawancara via Zoom ini!

Simbol, statement, kuot, di FB, apa motifnya? 

(Wawancara) Ini menarik buat saya. Beberapa pihak memang mencoba menghubungi saya, baik di Sulbar.

Begitu saya dihubungi oleh kita’ (Pelakita.ID), saya merasa tersanjung betul. Ibarat melempar batu ke Danau Matano, sudah sampai ke Desa Nuha (di Luwu Timur), bukanlah lagi lemparan satu depa tapi dua depa.

Pertanyaan apa motivasinya, saya kira background-nya panjang. Ini semacam muncul kegelisahan dari putra daerah.

Nama Busman, ini pemberian orang tua, kasih nama Busman atau ‘Bugis-Mandar’, bukan serba kebetulan. Ikatan batin saya dengan Bugis Mandar sangat kuat sekali.

Nah, kegelisahan itu, muncul sejak awal, di awal-awal saya mempelajari dan mendalami bagaimana Sulbar ketika 2004, sebelum mekar jadi provinsi, boleh dikata, sebagai salah satu tempat pembuangan pegawai mutasi, bawa aja ke sana, ke wilayah Sulbar.

Identik sekali dengan wilayah tertinggal dan jauh, itu terus terang memicu dan sekaligus memotivasi saya secara pribadi, untuk melihat potensi apa sih yang dimiliki Sulbar sebagai dasar untuk memajukan masyarakat yanga ada di sana.

Jadi berdasarkan pengalaman selama ini, dan saya bergelut di sana cukup lama ketika membidangi program pemberdayaan, di sana, oleh Gubernur Anwar Adnan Saleh dan kerjasama Unhas saat itu. Saya punya kesempatan untuk mendalami lebih detail, me-mapping potensi di sana, alam, pertanian dan sebagainya.

Begitu saya melihat potensi itu. Sulbar ini sangat menjanjikan sebagai provinsi yang maju dan bisa lebih berkembang seperti provinsi lain di Indonesia.

Terus terang yang memotivasi, background saya sosiologi, dan di Unhas ikut memperdalam, filsafat di UI, kajian sama di ilmu-ilmu sosial, dan doktoral dengan menggeluti sosiologi.

Jadi setelah 2004, saya melihat potensi itu ada dan di 2010, lalu ada kesempatan ke sana, ke Universitas Indonesia, dua tahun bergelut memantapkan inisiatif saya untuk melihat potensi Sulbar apa sesungguhnya.

Jadi begitu saya dalami, lakukan social mapping, ternyata memang sangat luar biasa, tidak selayaknyalah, provinsi yang lahir sejak 2004 ini seperti ini, tetapi karena kemauan yang belum bisa seperti sebagaimana mestinya.

Tidak sesuai harapan, di mana pembacaannya, di dimensi apa?

Dia bisa dilihat dari lebih banyak di indikator, ekonomi, tetapi saya melihatnya lebih luas, jadi bukan sekadar ekonomi tapi sosial, kedewasaan berpolitik, ada satu titik, ada trigger, provinsi in bisa maju, karena saya melihat di potensi yang paling bagus ada di sana, cuma belum tergali dengan baik.

Sebenarnya adalah dari sisi good governance, bagaimana tata kelola di semua sisi, bayangkan kalau dimensi seperti pertanian, perkebunan, di alam yang begtiu luas, laut, perkebunan, dan sebagianya kalau dikeola dengan baik, mestinya bisa menjadi provinsi yang maju dan bisa disetarakan provinsi lain.

‘Karena dari sisi SDM, tidak kurang SDM pada umumnya mereka ada di luar, sementara secara internal, kita butuh yang punya wawasan, pengetahuan,  punya pengalaman dan luas dan itu bukan hanya dari satu sisi, seperti selama ini lebih banyak seperti politis.

Jadi teman-teman di bidang politik, bukan kekurangan kemampuan sebetulnya, mereka ada kapasitasnya tetapi karena sistem tata kelola belum terbangun dengan baik dan belum diikuti oleh tatanan yang lebih bagus, jadi kesulitan.

Tapi ini lumrah, ada alam, ketimpangan, ada situasi tidak efektif, tidak berjalannya tata kelola, itu menjadi motivas untuk terlibat. Lalu apa yang mau didorong, di-introduce? Pasti orang lain akan biang, kalau cuma itu saya juga. Ada something dfferent from you?

Sebelum ke situ, saya ada analogi begini. Ini lumrah di kalangan aktivis, saya tidak mengakui sebagai akademisi lebih ke praktis, analogi saya bahwa resources sudah ada, kebaruan yang kta mau bangun apa sih?

Potensi ada tapi mengakselerasinya kurang, jadi kebaruan itu adalah akselerasi atau percepatan, ibaratkan mau bikin kopi, kita sudah punya kopi, gelas, air panas sudah ada, ada sendok, cuma untuk mengaduknya ini yang kurang, ah bagaimana melakukan itu, untuk yang saya jalani, ini dibutuhkan leadership tentu.

Saya tidak mengatakan bahwa saya punya leadership bagus, tapi pengalaman belasan tahun me-manage hal-hal seperti ini membuat saya tergerak, mendorong suasana batin saya untuk berkontribusi, karena kalau ini tidak didorong, posisi ini akan jalan di tempat. Karenanya saya melihat dibutuhkan kolaborasi berbagi pihak.

Saya pun menyiapkan, termotvasi oleh ingin mendorong, untuk mengenali potensi yang dimiliki semua sumber daya di sana, baik sumber daya manusia.

Jadi yang mau didorong adalah bagaimana orang-orang melakukan akselerasi ini menyatu, bukan hanya Busman yang ingin jadi calon gubernur tetapi ini bisa memotivasi, memicu kalangan orang-orang di luar untuk kembali memikirkan supaya Sulbar jadi provinsi yang setara dengan provinsi yang lain.

Dari sisi gagasan perubahan, perlukah itu dibicarakan kembali, bahwa mengubah Sulbar, membawa sulbar ke depan, didorong atau segerakan, mengakselerasi, kan sekarang ada perubahan, ada di dokumen perencanaan. Itu, bagaimana, apa tdak sesuai kebutuhan atau sekadar perencanaan?

Dari sisi perencanaan apa yag digagas provinsi, dan kabupaten bukan kurang, saya lihat, saya buka beberap dokumen, sekarang, itu masih memang sebatas di gagasan.

Gagasan, sebuah visi misi, kinerja, rencana kerja yang tertuang dalam dokumen tetapi bagiamana mewujudkan itu yang belum berjalan dengan baik.

Perlu itu tadi, pemahaman, kesatuan tindak, itu tidak bisa hanya sekadar tertuang sebagai cita-cita atau visi tetapi misi yang terimplementasi

Kalau lihat secara detil, bagaimana pengembangan, IPM, ekonomi, tetapi secara umum, dibanding saya di sana 2010, lalu lima tahun kedua. Itu yang terjadi adalah perubahan secara fisik.

Kalau lihat di Mamuju sana, ada perubahan ada tapi tidak sepihak saja, karena kalau fisik semua prvinsi lain juga bisa, tetapi bagaimana tata kelola lebih maju, harus ada sesuatu yang kuat dan itu harus lahir dari seoranag pemimpin yang kuat dan memiliki gagasan, ide, tertuang dalam bentuk implementasi di lapangan,

Pernah nggak mellhat gubernur, yang berlatar sosiologi jadi pemipin yang ‘socially accepted’? ada gak ya contohnya?

Saya belum mendalami sosok atau tokoh seperti itu, yang paling gampang adalah di Banyuwangi dan Nganjuk.

Abdullah Azwar Anas bisa mendorong kabupaten (Banyuwangi) yang selama ini hanya jadi ‘tempat kencing’, ‘tempat pipis’ untuk buang air, tetapi sekarang orang-orang datang dibanding 10 tahun lalu.

Begitu Abdullah Azwar Anas datang, lalu berdatangan orang-orang, itu sebetulnya contoh akselerasi.

Apa yang Busman lihat sebagai faktor pengubah di Banyuwangi?

Yang pentig adalah leadership., dia (Abdullah) seorng yang cerdas,yang taat beribadah, memang bukan orang yang lahir begitu saja tetapi memulai upaya dari kecerdasan dan terkolaborasi, intelektualnya, emotional intellegency, sebagai santri, memperoleh pendididkannya yang luas, wawasan dan diejawantahkan di kabpaten.

Tapi kan tidak semudah itu, ada perangkat yang harus dipahami, kalau Kadis tidak memahami yang diarahkan ya susah, level seperti apa Abdullah Azwar Anas bisa mendorong semua itu.

Dia yang bisa menyatukan, lalu duduk merancang, meredisain semua rencana yang pernah ada, kapasitas yang ada disatukan, itu yang kemudian menjadikan Banyuwangi yang kita kenal sekarang, dengan proses, kontak dan juga diatur di sisi lain. Ini sebuah hal yang nyata tetapi bisa melahirkan sesuatu yang besar, dan mengubah, dari daerah tertinggal menjadi kabupaten yang setara yang lain di Indonesia.

Kalau misalnya, lebih pada kemampuan leadership-nya, dalam hal bagaimana mendorong transformasi, ada perubahan, ada upaya mendorog upaya perubahan, ada speed up. Sejauh mana kalau Sulbar? Kalau ciri khas leadership yang bagus, kalau pandai berkomunikasi, atau diterima di mana-mana?

Kata kunci leadership di situ, di dalamnya menyatu kapasitas yang bukan hanya komunikas, visi yang luas, memahami konteks bukan hanya budaya, tetapi bagiamana tatanan kemasyarakatan dikenali betul dan menyatukan potensi yang ada, adanya di seorang pemimpin yang memahami betul dan memiliki karakter dan kemampuan yang betul-betul mumpuni.

Kan ada sebuah ungkapan, kalau mau pintar sekolah, kalau mau kaya, usaha, kalau mau memajukan wilayah dengan kemampuan yang dimiliki yang ada sekarang, ini tdiak lain dari seorang pemimpin semata, visi, misi, kemampuan karakter, kemampuan leadership oleh seorang pemimpin sangat menentukan tujuan arah pembangunan atau arah yang dituju kabupaten atau provinsi ini.

Salah satuya adalah memberi contoh, tentang proses pengambilan keputusan, menghargai orang, karakter di Sulbar, perlu dipahami, ada politisi, NGO. media. Seberapa jauh membacanya, peta Sulbar saat ini. Membaca peta-peta ini?

Saya tetap yakin bahwa apa yang ada di sana, sesuai dengan karakter yang ada sekarang. Di saat sekarang, kalau lihat kemajauan, kembali lagi ke kata kunci, kita butuh akselerasi.

Saya coba bagaimana memetakan, seperti peran NGO yang sangat maksimal, di demokrasi, bidang sosal, kebudayaan, di bidang hukum, itu luar biasa, teman media Sulbar menjadi sesuatu baik.

Pemerhati sosial dan sebagainya, itu sangat banyak tetapi kan kemampuan itu tidak bisa hanya didorong dengan seolah-olah kita punya kemampuan tetapi pada level ke kepempimpian di tingkat provinsi dan kabupaten, jika tidak bisa tembus ke dalam, gagasan yang ditawarkan tidak bisa masuk pemikiran pemimpin kita di sana.

Karena kita juga tidak bisa menafikan, karena pejuang dulu yang membentuk Sulbar dan membentuk provinsi dan kabupaten itu sebuah kenyataan yang ada.

Kita tentu sebagai generasi muda melihat pemerintah provinsi punya kewajiban untuk mendorong kepemimpinan ini untuk menelurkan gagasan yang lebih maju. Ini saya lihat belum cukup mumpuni apa yang ada sekarang, butuh kolaborasi.

Mungkin kalau kita satu sampai sepuluh, kalau kita punya 7 bisa genapkan jadi 8,9. 10.

Kita butuh akselerasi. seperti yang saya sebut di Pilgu 2022, dengan model yang masih sama hasilnya pasti akan perlu perubahan dan itu adalah dengan masuk ke dalam pemeritahan gubernur sebagai penentu.

Gagasan sudah disampaikan ke mitra di Sulbar? Sudah disampaikan konsep-konsep atau masih sekadar social media. FB atau apa?

Sebetulnya secara mendalam, sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya gitu ya.

Di awal, di 2010, saat bergelut dunia pemberdayaan, konsep yang digagas pleh pak Gubernur (Anwar Adnan Saleh) pada saat itu sering berdiskusi dengan beliau, Pak Gubernur seorang yang sangat visoner dan sangat mumpuni kemapuannya, tetapi saat disampaikan atau diejawantahkan ke level kepala dinas tertahan

Karena apa?

Bukan menafikan kepala dinas, pada saat provinsi ini dibangun, tetapi ini, koneksnya dengan struktur leve; ke provinsinya masih pada belajar saat itu, tapi belajarnya jangan kelamaan. Ini perlu akseleras, dan kalau kelamaan belajar malah tertinggal.

Kita ini pergantian kekuasaan, itu kemudian memundurkan niat dan cita-cita tadi, berubah rezim, berubah lagi, tidak ada konetivitas, yang digagas di awal oleh pendiri provinsi dan dengan leader berikutnya.

Konteks berbeda? dari waktu ke waktu?

Sambil mendiskusikan itu, berusaha menyiapkan diri, bukan ingn berkuasa, cita-cita gubernur itu, bayangan saya kalau provinsi mau maju bukan berpikir kekuasaan, tetapi kemakmuran, kemajuan, jadi siapaun yang dipilih, pada level manapun harus didorong oleh siapapun.

Sebagai trigger untuk mendorg tokoh-tokoh, mendorong kemampuan, untuk kembali ke kampung dan mempublikasikan gagasan ini, tidak harus berseberangan dengan tokoh tua, dengan pendiri provinsi, tetapi menawarkan diri, gagasan, bulatkan dan dorong sama-sama dan para tokoh-tokoh penggagas lama jadi adviser, ini bisa duduk bersama

Sudah diupayakan?

Beberapa sudah saya hubungi, dengan konteks sama tadi, tapi kadang-kadang dianggap anak muda ini sebatas gagasan, atau coba-coba, hanya sekadar testing the water.

Tapi saya bilang, itu juga tujuan utamanya adalah meyatukan bounding di antara komponen, memajukan, apapun suku, agama dan bagaimana provinsi ini harus maju dan untuk memajukan ini harus ada pihak pihak yang berdiri.

Tentang dewan (DPRD), kurang apa kita semua? Mereka adalah tokoh-tokoh yang handal dan terbaik di wilayahnya, tetapi karena berjuang dengan kepentingan masing-masing akan sulit dan perlu disatukan dalam satu wadah dan didorong.

Tapi kalau ditanya berapa uangmu, uang berapa, atau pertanyaannya masih begitu, tidak akan bisa maju.

Kalau memang optimis mendorng perubahan itu, ternyata itu ranah ketika harus ada uang, masih yakin gak degan civil society? Yang menghargai gagasan ketimbang uang?

Oh iya, menurut saya kebaruan Sulbar punya resources itu, ini sebatas coba-coba, saya coba via onlne dengan melempar isu, kalau saya sebut angka satu sampai sepuluh, masih ada delapan orang siap mendukung, jadi tidak lagi melulu uang.

Ada dua yang nanya memang dia bisa bawa apa ke sini, ada uangkah. Tetapi masih ada kearifan sebetulnya, mereka masih ada pengecualian pada misalnya timses untuk 2020 yang memajukan calon-calon.

Mayoritas masyarakat kita masih sangat kental dengan nuansa keagamaan, pada siapa yang memimpin shalat, siapa bisa baca alquran.

Uang itu penting iya, tetapi tidak akan maju dengan modal kosong, ada cost dan semacamnya, kalau memang masih seperti itu.

Perlu menyadarkan masyarakat bahawa tidak pada itu sebetulnya, kalau itu jadi modal atau target, maka dijamin provinsi ini tidak maju.

Apa skenario untuk sampai ke sana? Sudah punya pendekatan?

Terus terang yang saya lakukan adalah personal approach, dengan kekuaan personal approach, belum masuk secara institusi, meski nama-nama itu pasti berafiliasi ke institusi, saat ini tidak baik untuk masuk ke situ.

Saya semakin yakin bahwa kita punya modal sosial sangat besar di provinsi ini untuk kita kembangkan di Sulbar, bukan hanya untuk 2020, di 2021, tetapi akan menjadi legacy, siapa yang akan ke sana akan menjadi catatan sejarah, bahwa ada masa di 2020, 2021, ada sebuah gagasan oleh  sekumpulan orang yang ingin membangun daerah, siapapun yang akan ke sana, atau ditentukan ke masyarakat, menjadi trigger kuat siapapun nanti, terlepas akan dtentukan oleh masyarakat.

Sudah dirintis Di FB kan untuk gubernur ini?

Soal itu ada jejak digitalnya, ini sudah sejak 2010 sudah menggagas.

Sebatas ide, calonnya calon, spesialis calon, untuk meng-impact, untuk menagih, bukan mempengaruh tetapi mengajak orang, untuk berpikiran jauh ke sana, tidak harus si A, B, C.

Penyunting: Redaksi Pelakita.ID

 

Related posts